Wartawan Senior Kompas
PADA tanggal 22
Juli lalu pukul 21.33, Komisi Pemilihan Umum secara resmi menetapkan calon
presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Joko Widodo dan Jusuf Kalla,
sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019. Joko Widodo,
yang akrab disapa dengan Jokowi, dan Jusuf Kalla unggul atas pasangan nomor
urut 1, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Saat mendengar
penetapan itu, pikiran langsung melayang ke kata-kata bijak yang diucapkan pada
tahun 1941 oleh Presiden Filipina Manuel Quezon (1878-1944), ”Kesetiaan saya
pada partai berakhir ketika kesetiaan saya pada negara dimulai (Aking katapatan
sa partido ay nagtatapos kapag ang aking katapatan sa estado ay nagsisimula)”.
Sengaja yang dikutip pernyataan dalam bahasa Tagalog, dan bukan bahasa Inggris,
untuk menunjukkan bahwa kata-kata bijak itu diucapkan oleh seorang kepala
negara dari Asia Tenggara.
Kata-kata
bijak yang diucapkan Presiden Manuel Quezon itu sangat relevan bagi Jokowi
ketika dilantik sebagai presiden untuk periode 2014-2019. Ia harus mengambil
jarak dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan menjadi bapak bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Jokowi tidak
boleh melupakan bahwa ia hanya dipilih oleh 70.997.833 orang (53,15 persen dari
pemilih), di luar sana masih ada 62.576.444 orang (46,85 persen) yang tidak
memilihnya. Sebagai Presiden Indonesia, Jokowi harus dapat mengayomi semuanya.
Oleh karena itu, hanya dengan cara itulah Jokowi dapat membangun karisma
sebagai bapak bangsa.
Namun, hal itu
tentunya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, apalagi Prabowo belum mau
mengakui kekalahannya, apa pun alasan yang dikemukakannya untuk membungkusnya.
Meskipun demikian, tentunya itu juga bukan berarti, hal itu tidak mungkin
dilakukan.
Dalam pidato
kemenangannya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa,
Jakarta, seusai penetapan KPU, 22 Juli lalu, Jokowi telah mengisyaratkan
keinginan untuk menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun,
tentunya, yang diperlukan bukan pernyataan, melainkan perbuatan.
Megawati
Soekarnoputri pernah berada dalam posisi itu saat ia menjabat sebagai presiden
(2001-2004). Tidak dapatnya Mega melepaskan diri dari PDI-P membuatnya gagal
membangun karisma sebagai ibu bangsa. Itu sebabnya, ketika ia memerlukan
dukungan mayoritas rakyat untuk membuatnya unggul dalam pemilihan presiden,
dukungan itu tidak diperolehnya. Ia kalah dari calon presiden pendatang baru, Susilo
Bambang Yudhoyono.
Namun, 10
tahun sesudahnya, Mega membayar kegagalannya. Ia menunjukkan kualitasnya
sebagai ibu bangsa ketika ia pada akhirnya menunjuk Jokowi dan Jusuf Kalla
sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dari PDI-P untuk periode 2014-2019.
Keputusan itu tentunya tidak mudah diambil Megawati mengingat pada desakan
untuk mengajukan trah (garis keturunan) Soekarno amat sangat besar. Baik itu
sebagai calon presiden maupun sebagai calon wakil presiden.
Mega melampaui
perannya sebagai Ketua Umum PDI-P dan mantan presiden pilihan MPR ketika ia
menangkap tanda-tanda zaman, yang ditunjukkan dengan fenomena Jokowi. Mega
bahkan menyadari bahwa garis keturunan Soekarno itu tidak harus diartikan
melalui hubungan darah, melainkan juga melalui gagasan, ide, atau cita-cita.
Saat
berkunjung ke kantor harian Kompas, 11 Juli lalu, dua hari setelah dinyatakan
unggul oleh hasil hitung cepat, Jokowi mengatakan, ia masih sulit mencerna
fenomena perjalanan hidupnya yang tiba-tiba meningkatkan begitu cepat. Rasanya
baru kemarin menjadi Wali Kota Solo, tiba-tiba sudah menjadi Gubernur DKI
Jakarta, dan kini menjadi presiden terpilih, jabatan tertinggi di negara ini.
Sama seperti Jokowi, kita pun masih sulit mencerna fenomena itu.
Prihatin
Bersamaan
dengan itu, kita juga prihatin mengikuti perilaku Prabowo Subianto. Prabowo
yang sebelum pelaksanaan pemilu presiden langsung dengan gagahnya menyatakan,
siap kalah, tiba-tiba menunjukkan sikap sangat berbeda ketika hasil hitung
cepat (quick count) yang diadakan beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa
Jokowi-Jusuf Kalla unggul.
Prabowo
memilih untuk mengabaikan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga-lembaga
yang telah memiliki reputasi yang baik dan kredibilitas yang tinggi, yang
mengunggulkan Jokowi dan memilih untuk lebih memercayai hasil hitung cepat yang
dilakukan lembaga yang tidak memiliki reputasi yang baik dan kredibilitas yang
tinggi dalam hitung cepat yang mengunggulkan dirinya.
Sikap ini
berbeda jauh dengan yang ditunjukkan Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, yang
dikalahkan oleh Jokowi dalam hitung cepat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta 2012. Padahal sebelumnya, Fauzi Bowo, yang akrab disapa Foke, yakin
seyakin-yakinnya bahwa ia dapat mengalahkan Jokowi. Foke bahkan yakin akan
menang dalam satu putaran. Namun, ketika semua hasil hitung cepat menunjukkan bahwa
Jokowi unggul, Foke langsung memberikan selamat kepada Jokowi. Padahal, pada
saat itu hasil hitung cepat baru mendekati 90 persen, belum mencapai 100
persen.
”Metode hitung
cepat adalah metode ilmiah yang digunakan di mana saja, kita patut menghargainya.
Dari berbagai hitung cepat yang diumumkan, kami berdua tertinggal. Oleh karena
itu, sambil menunggu proses final KPU DKI Jakarta, kami sampaikan penghargaan
bagi pasangan nomor 3 selaku pemenang dalam hitung cepat,” kata Foke, saat itu.
Ia menambahkan,
”Kami sadar, dalam setiap kompetisi ada yang menang, ada yang kalah. Ada yang
terpilih dan tidak terpilih. Mari kita junjung proses demokrasi yang menentukan
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012-2017.”
Bahwa ada
kecurangan atau ketidaksempurnaan di sana sini itu memang bisa terjadi, tetapi
soal tuduhan bahwa kecurangan itu berlangsung secara masif dan terstruktur, itu
masih memerlukan pembuktian. Namun, haruskah ia mendeklarasikan menolak
pelaksanaan Pemilu Presiden 2014 dan menarik diri dari proses yang sedang
berlangsung?
Kembali ke
Jokowi. Ia harus menyadari, terpilih sebagai presiden baru langkah awal.
Perjalanan panjang masih membentang di hadapannya. Kita berharap Jokowi
hati-hati menunjuk anggota kabinetnya, jangan sampai mengulangi kesalahan dari
presiden sebelumnya…
Sumber: Kompas,
26 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!