Oleh Ahmad Syafii Maarif
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
SEKALIPUN pelantikan
presiden dan wakil presiden terpilih masih menanti sampai 20 Oktober 2014,
tentunya persiapan pembentukan kabinet baru sudah dalam proses. Pertama kali
sepanjang sejarah Indonesia sejak proklamasi, publik diminta memberi masukan
dan usul untuk anggota-anggota kabinet yang sedang dirancang itu.
Sesuai
janji-janji kampanye pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai
presiden-wapres terpilih, maka kabinet yang akan datang mestilah profesional
dan punya integritas moral. Saya pun menambahkan: punya potensi menjadi
negarawan.
Panggung
akrobat politik
Tentu tidak
tertutup kemungkinan para menteri itu berasal dari partai. Akan tetapi, harus
memenuhi tiga kategori tadi agar kepentingan bangsa dan negara lebih diutamakan
di atas semua kepentingan yang lain. Indonesia tercinta ini sudah terlalu lama
dijadikan panggung akrobat politik oleh para politisi tuna-integritas moral
dengan menjadikan negara sebagai sapi perahan.
Jokowi-JK
pasti telah menyadari semua borok politik ini untuk tidak dibiarkan berlarut.
Di era Demokrasi Liberal (1950-1959) pernah dibentuk kabinet-kabinet
profesional, tetapi usianya tidak pernah lama karena selalu dibunuh oleh
sengketa politik para elite yang mengabaikan
kepentingan yang lebih besar.
Akibatnya,
banyak keputusan politik penting tidak ditentukan oleh sidang kabinet, tetapi
oleh agenda partai-partai koalisi untuk tujuan jangka pendek.
Di era
Demokrasi Terpimpin (1959-1966), di bawah sistem kekuasaan tunggal, pembangunan
nasional tidak berjalan sama sekali. Semuanya serba bercorak mercusuar. Politik
luar negeri yang bebas aktif dikorbankan karena negara terseret oleh suasana
Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis.
Oleh berbagai
pertimbangan yang belum tentu rasional dan obyektif, posisi Indonesia berada
dalam tarikan kiri, sampai sistem yang diujicobakan itu menggali kuburnya
sendiri karena gagal melawan inflasi yang sangat parah untuk kemudian
digantikan rezim Orde Baru (1966-1998).
Jika di era
Demokrasi Liberal peran partai dalam proses pembentukan kabinet sangatlah
besar, di era Demokrasi Terpimpin peran partai dihabisi sama sekali, kecuali
PKI yang memang diberi angin segar. Tumbangnya Demokrasi Terpimpin pada 1966
telah menyeret PKI untuk berkubur bersama-sama, sesuatu yang tak terbayangkan
ketika partai ini terasa begitu mendominasi panggung politik nasional selama
era itu. Partai-partai lain ketika itu hanyalah bisa gigit jari atau menari
menurut irama genderang yang ditabuh pihak lain.
Di era Orde
Baru, peran militer begitu dahsyat, tetapi harus tunduk kepada pemimpin tunggal
tertinggi, sampai pemimpin itu kehabisan stamina untuk berkuasa lebih lama.
Diterpa oleh krisis moneter Asia Timur pada 1997/1998, fundamental ekonomi
Indonesia yang semula demikian dipuji oleh Bank Dunia dan IMF ternyata rapuh
sekali. Rezim Orde Baru gagal menghadapi desakan IMF untuk menalangi bank-bank
swasta yang bangkrut, yang berujung pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) sebesar Rp 650 triliun, yang sampai hari ini tetap saja belum teratasi, sementara
bank-bank yang dibantu telah berkibar kembali.
Lagi-lagi
negara di era Reformasi tak berdaya mengatasi masalah gawat ini. Saya pun ragu,
apakah kabinet Jokowi-JK akan bisa berbuat banyak dalam tempo lima tahun
mendatang, karena beratnya persoalan bangsa dan negara yang serba terbengkalai.
Memberi
harapan
Lambannya
proses reformasi birokrasi selama ini akan jadi kendala utama bagi kabinet
Jokowi-JK untuk tancap gas, demi mewujudkan semboyan: makin cepat makin baik.
Perkara kemungkinan rintangan di parlemen, menurut hemat saya, akan bisa
diatur. JK sebagai wakil presiden sangat piawai dalam masalah ini.
Belum lagi
masalah Bank Century dengan talangan dana Rp 7 triliun lebih masih saja
diperdebatkan di antara berbagai pihak. Baik BLBI maupun Century je- las-jelas
telah mengemplang pundi-pundi negara di tengah lautan kemiskinan rakyat yang
belum tertanggulangi secara baik dan efektif. Sekiranya Jokowi-JK berhasil
membangun landasan pemerintahan yang kuat-kokoh selama masa kerjanya nanti,
tentu akan memudahkan pemerintah-pemerintah selanjutnya menjadikan Indonesia
sebuah bangsa dan negara yang adil, bermartabat, dan dihormati dunia. Niat baik
kedua tokoh itu memberikan harapan kepada kita untuk tidak pesimistis.
Nah, untuk
susunan cabinet —apa pun namanya nanti— perlu benar dipertimbangkan tiga
kriteria di atas. Stok calon menteri yang memenuhi syarat itu tidak kurang
jumlahnya di seluruh Nusantara. Jika perlu, melalui fit and proper test,
sehingga mereka yang terpilih benar-benar meyakinkan, di samping perlu pula
menandatangani fakta integritas.
Untuk
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya mengusulkan agar dipecah menjadi
dua: pertama untuk perguruan tinggi dan ristek (riset-teknologi), kedua untuk
kementerian yang mengurus SMA ke bawah. Khusus untuk pemilihan rektor perguruan
tinggi yang selama ini memberi hak 35 persen suara kepada menteri harus segera
ditiadakan karena itu merupakan penghinaan kepada martabat perguruan tinggi.
Adalah ironis sebuah perguruan tinggi masih harus diajar berdemokrasi. Berilah
perguruan tinggi hak penuh menentukan dan menetapkan siapa yang akan memimpin lembaganya,
menteri tidak perlu campur tangan.
Akhirnya,
kepada Jokowi-JK, saya ucapkan selamat untuk membentuk sebuah kabinet Indonesia
yang benar-benar pro rakyat kecil, dan carilah calon menteri yang tidak
partisan. Janji Jokowi-JK untuk tidak terlibat dalam dagang sapi pembentukan
kabinet semoga akan menjadi kenyataan dalam tempo dekat ini. Bangsa ini sedang
menunggu!
Sumber: Kompas, 4 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!