Oleh Ansel Deri
Warga asal Lembata, tinggal di Jakarta
KEPEMIMPINAN
Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur pada Senin, 25 Agustus 2014, ini genap tiga
tahun. Masyarakat selayaknya perlu mengevaluasi apakah Lembata selama tiga
tahun ini sudah sedikit makin maju, biasa-biasa atau sebaliknya. Hal ini
penting karena sejak memimpin, masyarakat sudah menggantungkan harapan besar
agar Lembata lebih maju dan manusianya tambah sejahtera.
Apakah
kepariwisataan sebagai leading sector pembangunan daerah sudah mulai
menampakkan hasil nyata sesuai cita-cita penggagasnya? Apakah janji ‘Lembata
Baru’ selama kampanye sudah mulai terwujud atau sebaliknya? Bila belum
terwujud, saatnya masyarakat menagih janji.
Pertanyaan
lain bisa ditambah. Apakah tugas dan kepercayaan sungguh dijalankan pemimpin
yang dipilih rakyat? Refleksi dan pertanyaan penting. Publik tentu tahu apa
saja yang sudah dikerjakan sebagai wujud tanggung jawabnya. Masyarakat tentu
ingin tahu realisasi rencana bupati membangun sektor pariwisata di samping
sektor lain seperti pertanian, kelautan, perikanan, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain.
Masyarakat di
seluruh Ile Ape dan Ile Ape Timur, misalnya. Saat syukuran kemenangan
Sunur-Watun di kampung wakil bupati, bupati menjanjikan bahwa dalam setahun
kepemimpinannya dua wilayah kecamatan itu dipastikan menikmati air bersih.
Janji ini, menurut seorang anggota DPRD Lembata, disampaikan langsung bupati
saat syukuran. Nah, apakah janji itu sudah terealisasi dan masyarakat di wilayah yang
terkenal kerontang itu sudah menikmati air bersih, hanya bupati yang tahu.
Tak Harmonis
Publik tentu
tahu. Sejak memimpin Lembata relasi bupati-wakil bupati nampak mesra. Namun,
hanya dalam waktu singkat keduanya ‘berbagi jalan’. Misalnya, dalam urusan
promosi kepala dinas/badan dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena lahirnya
Peraturan Bupati Lembata yang ‘melumpuhkan’ tugas dan fungsi wakil bupati.
Urusan mutasi pegawai/pejabat dimonopoli bupati dan jarang didiskusikan dengan
wakilnya.
Bahkan ada
kebijakan penting dan strategis jauh dari perencanaan matang, malah saling
lempar tanggungjawab. Parahnya, DPRD pun tak tahu-menahu. Sebut saja
pelaksanaan motorcross di Waiara, Desa Muruona, Ile Ape yang menewaskan Petrus
Alfons Hita (11), Ahad, 29 September 2013. “Proyek itu tidak ada dalam Rencana
dan Anggaran Dinas Pariwisata, itu kebijakan bupati. Saya tidak pernah
perintahkan orang lain untuk kerja,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Longginus
Lega.
“Proyek itu
tidak ada dalam perencanaan. Itu ambisi pribadi Bupati Yance Sunur jadi bukan
pemerintah yang bertanggungjawab, tetapi Bupati Yance yang harus bertanggungjawab
atas meninggalnya Alfons Hita,” timpal Servas Suban Ladoangin, anggota DPRD
Lembata (floresbangkit.com, 10 Februari 2013. Buntut kematian Hita, Polres
Lembata menetapkan kepala dinas bersangkutan sebagai tersangka hingga saat ini.
Tak hanya itu,
relasi bupati dengan DPRD juga tak harmonis. Tak tanggung-tanggung, bupati
melakukan kriminalisasi Yakobus Liwa, anggota DPRD setempat. Dalam rapat
paripurna, Yakobus menuding bupati melakukan pembohongan publik terkait tender
proyek tahun jamak. Polres Lembata seperti kejar tayang dan Yakobus pun
tersangka. Meski tak patut dan jauh dari kesantunan politik, toh, wakil rakyat
ini tengah menunaikan tugas formal sesuai perintah UU MD3.
Ia mesti
“diadili” oleh Badan Kehormatan DPRD selaku alat kelengkapan DPRD yang punya
tugas untuk itu. Anehnya, Polres Lembata terkesan kejar tayang sesuai “pesan
sponsor”. Yakobus akhirnya dikenakan status tersangka. Padahal, status itu
sekurang-kurangnya didahului argumentasi bersangkutan, kuasa hukum atau ahli
bahasa guna menguji kebenaran pernyataan yang dianggap menghina bupati.
Relasi dengan
DPRD kian memburuk. Pada 26 Februari lalu, 21 dari 25 anggota DPRD memutuskan
untuk mengusulkan pemberhentian atau pemakzulan bupati ke Mahkamah Agung (MA)
Republik Indonesia melalui Keputusan Nomor 2/DPRD.Kab/Lbt/2014. Namun, proses
menuju ke MA ternyata melawati jalan terjal. Belum sempat usulan diproses,
bupati melaporkan sejumlah anggota DPRD ke Polres setempat dengan dugaan
memalsukan dokumen pemakzulan. Sejumlah anggota DPRD akhirnya bernasib serupa
Yakobus Liwa yakni penetapan status tersangka. Kondisi ini menggambarkan sisi
lain bagaimana seorang pemimpin kian terisolasi dari sejumlah persoalan yang
dihadapi rakyat. Bahkan tak lebih sebagai seorang pemimpin pembohong. Ia terang-terangan
melakukan kebohongan komunikasi politik.
Kebohongan
Tipikal
pemimpin seperti itu kini mudah ditemukan. Apa yang dikomunikasikan kepada
rakyat berbeda tatkala ia berada di belakang panggung kekuasaan. Di belakang,
ia lebih enjoy bergerilya dengan konco-konconya bagaimana bisa menggasak uang
daerah atau uang rakyat sebanyak-banyaknya. Masyarakat ditelantarkan dan
perencanaan pembangunan asal jadi. Kebohongan komunikasi politik itulah membuat
masyarakat saban hari muak melihat perilaku pemimpinnya.
Menurut David
Buller dan Judee Burgon, pencetus teori kebohongan interpersonal, interpersonal
deception theory, pemimpin yang suka berbohong tak jauh seperti pemasar. Para
pemasar telah lama mengetahui dan melakukan praktik kebohongan. Celakanya,
rakyat cenderung bersikap permisif dan toleran pada perilaku kebohongan karena
dianggap tidak punya dampak sosial. Kelihaian dan kecanggihan cara berbohong
pemimpin dianggap bagian kesehariannya dan biasa-biasa saja. Rakyat memaklumi
pemimpin seperti itu sekalipun mengingkari esensi jabatan yang diemban sebagai
pelayan.
Sesungguhnya,
tipikal pemimpin bersangkutan sulit dan bingung darimana memulai memajukan
masyarakat dan daerahnya. Padahal, pemimpin yang jujur dibutuhkan bahkan
dituntut meningkatkan taraf hidup warganya. Karena itu, sepak terjang pemimpin
seperti itu pada akhirnya tetap mendapat sorotan publik dalam berbagai kasus
lain. Misalnya, mark-up anggaran, pemerasan kontraktor, pengadaan barang dan
jasa abal-abalan, merekayasa bantuan sosial hingga memanipulasi anggaran
pendidikan dan kesehatan. Inilah modus korupsi yang kerap terjadi para pemimpin
atau segelintir kepala daerah.
Peneliti Pusat
Kajian Antikorupsi FH UGM Hifdzil Alim menguraikan, kepala daerah yang
diharapkan sebagai satrio piningit –yang lahir membawa keberkahan dan
kemanfaatan– berganti rupa jadi butho ijo atau raksasa jahat. Butho ijo
mencengkeram dana publik, anggaran negara, menggarong sumber daya alam untuk
kepuasan dirinya sendiri dan pengikutnya. Inilah potret buram kepala daerah (Suara
Pembaruan, 18 Agustus 2014. Kini, tiga tahun usia ”Lembata Baru”. Artinya,
tersisa dua tahun lagi. Tak lama lagi Lembata juga akan mendapatkan 25 anggota
DPRD baru baik dari petahana maupun wajah baru.
Selain ikut
mengawal dan mengawasi sepak terjang para wakil rakyat dalam memperjuangkan
aspirasi masyarakat, ada hal panting yang tak boleh dilupakan. Publik perlu
mewaspadahi terjadinya kebohongan-demi kebohongan baru. Pemimpin dan elite
politik yang mengemban mandat rakyat harus dibantu sekaligus diawasi dalam
menjalankan tugas memajukan rakyat dan daerah ini. Jangan sampai rakyat kembali
menghadapi pemimpin maupun elite yang hanya memainkan kebohongan untuk memenuhi
kepentingannya dan abai pada tugas pokoknya.
Kita tahu,
korupsi, manipulasi, penggelapan, transaksi gelap, persekongkolan, negosiasi
ilegal, dan konsensus jahat masih mewarnai gerak-gerik pemimpin dan elite
politik. Karena itu rakyat perlu waspada menghadapi pemimpin atau elite politik
seperti ini. Kalau tidak diawasi, bukan tidak mungkin kebohongan baru bakal
muncul. Siapa tahu.
Sumber: Flores
Pos, 26 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!