Oleh Neles Tebay
Dosen STFT Fajar Timur &
Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
MUNGKIN
karena perhatian terfokus pada perkara gugatan pemilihan umum presiden di
Mahkamah Konstitusi, banyak pihak tidak mengetahui aksi baku tembak antara
Polri-TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, yang merupakan sayap
militer dari Organisasi Papua Merdeka, di ujung timur persada nusantara Papua.
Dalam aksi baku tembak yang berlangsung
sejak 28 Juli hingga 4 Agustus 2014, dua anggota Polri tewas tertembak.
Sebanyak 5 anggota Polri, 1 anggota Brimob, dan 2 anggota TNI menderita luka
tembak. Rangkaian aksi penembakan ini sekali lagi memperlihatkan bahwa konflik
Papua masih membara. Konflik bisa menyala kapan saja. Nyalanya dapat
mengganggu, membakar, dan bahkan menghanguskan siapa saja.
Pemerintah sudah mengetahui ada bara
konflik Papua. Oleh karena itu, sejak Papua berintegrasi ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963 hingga kini, pemerintah
sudah melakukan banyak hal untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) dengan berbagai cara, termasuk pendekatan keamanan. Namun, semua upaya
yang dilakukan pemerintah selama 51 tahun belum membuahkan hasil maksimal.
Buktinya adalah TPN/OPM masih aktif hingga kini.
Keberadaan dan perlawanan OPM masih
merupakan tantangan yang akan dihadapi presiden pengganti Susilo Bambang
Yudhoyono. Apabila tidak diselesaikan secara komprehensif, masalah Papua terus
menjadi beban politik bagi pemerintah, entah siapa pun presidennya.
Tiga rekomendasi
Untuk menyelesaikan masalah Papua, tiga
hal direkomendasikan di sini. Pertama, diperlukan suatu kebijakan politik.
Perlu ditegaskan di sini bahwa TPN-Papua Barat/OPM bukanlah sebuah kelompok
kriminal bersenjata. Mereka sering melakukan aksi kriminal seperti penembakan,
tetapi motivasi dan tujuannya politik.
TPN merupakan kelompok yang
memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia dan mempunyai bendera
Bintang Kejora sebagai lambangnya. Oleh karena itu, TPN melakukan perlawanan
politik terhadap NKRI.
Keberadaan anggota Polri dan TNI
ditafsirkan sebagai simbol kehadiran negara Indonesia di Bumi Cenderawasih.
Oleh karena itu, sekalipun anggotanya bisa saja adalah orang asli Papua,
anggota TNI dan Polri menjadi sasaran penembakan TPN.
Tak perlu sepihak
Solusi politik dalam bentuk kebijakan
tidak perlu ditetapkan sepihak dan pihak lain dipaksakan untuk menerimanya,
seperti kebijakan otonomi khusus Papua. Solusi politik, entah apa pun isi dan
bentuknya, mesti dicari bersama oleh pemerintah dan OPM.
Kedua pihak perlu dibantu untuk
mengadakan pertemuan informal guna mengurangi kecurigaan dan meningkatkan
kepercayaan antara mereka. Apabila kepercayaan sudah terbangun, lebih mudah
bagi kedua pihak mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi politik secara
bersama.
Kedua, suatu kebijakan diperlukan untuk
menyembuhkan memori yang terluka sebagai akibat implementasi pendekatan
keamanan pada masa lampau. Sekalipun pendekatan keamanan sudah ditinggalkan dan
kini dikedepankan pendekatan kesejahteraan, dampak dari operasi militer masih
dirasakan hingga kini.
Pada 1977-1978, sebuah operasi militer
yang besar dilaksanakan di Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Lanny Jaya, yang
kini di sana berlangsung aksi-aksi penembakan, merupakan daerah sasaran operasi
militer itu. Operasi tersebut secara populer dikenal dengan nama Peristiwa 77.
Komisi Hak Asasi Manusia Asia (AHRC) di
Hongkong dalam investigasinya mengidentifikasi 4.146 orang asli Papua sebagai
korban yang tewas dalam Peristiwa 77. Semua nama korban dapat ditemukan dalam
laporan The Neglected Genocide: Human Rights Abuses against Papuans in the
Central Highlands, 1977-1978 yang diterbitkan pada 2013.
Sebagai akibat dari operasi militer ini,
semua orang Papua di Kabupaten Lanny Jaya mempunyai pengalaman traumatis.
Mereka hidup dengan memori yang terluka. Mereka mengalami trauma karena
kehilangan orangtua dan sanak saudaranya serta menyaksikan bagaimana anggota
keluarganya diperlakukan secara tidak manusiawi.
Puron Wenda dan Enden Wanimbo, dua tokoh
yang memimpin aksi-aksi penembakan TPN terhadap aparat keamanan di Lanny Jaya
kini, mewarisi dan menghidupi pengalaman traumatis dari Peristiwa 77. Mereka
hidup dengan memori yang terluka ini. Oleh karena itu, memori yang terluka
merupakan satu faktor penyebab dari penembakan terhadap aparat keamanan.
Pengalaman trauma seperti ini dirasakan
juga oleh orang Papua di semua kabupaten yang pernah mengalami operasi militer.
Jadi, banyak orang Papua yang hidup dengan memori yang terluka.
Memori terluka
Selama memori yang terluka ini belum
disembuhkan, selama itu pula anggota Polri dan TNI akan dipandang sebagai
musuh. Jadi, aksi baku tembak antara aparat keamanan dan TPN akan berlangsung
di Tanah Papua.
Ketiga, pemerintah perlu mempercepat
pembangunan sambil mencari solusi politik dan berupaya menyembuhkan memori yang
terluka. Kabupaten Lanny Jaya merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Jayawijaya.
Wilayahnya terletak di daerah
terisolasi. Fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi
rakyat, dan ketahanan pangan masih minim.
Implementasi Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua belum berhasil
mendongkrak tingkat kesejahteraan rakyat. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat belum berhasil merebut kepercayaan rakyat Papua.
Guna mengurus ketiga rekomendasi di atas
secara simultan, presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono, entah Joko Widodo
entah Prabowo Subianto, perlu membentuk satu unit kerja di Kantor Presiden.
Unit ini bersifat ad hoc, bertanggung jawab langsung kepada presiden, dan
berfungsi sementara hingga Papua menjadi tanah damai dan pembangunan
dilaksanakan tanpa gangguan. Berharap demikian.
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!