Oleh Sri Palupi
Peneliti Institute Ecosoc
KECEWA atas sikap partainya yang bersikukuh
menghapus pemilihan kepala daerah oleh rakyat, Wakil Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama memutuskan mundur dari keanggotaan Partai Gerindra. Tak urung
pihak Partai Gerindra menyebut Basuki Tjahaja Purnama sebagai Malin Kundang.
Padahal, Malin
Kundang yang sesungguhnya adalah koalisi partai yang tengah berkonspirasi
membungkam suara rakyat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Betapa tidak.
Rakyatlah yang mengangkat mereka sebagai anggota DPR. Suara rakyat yang membuat
mereka bisa menikmati fasilitas dan kemewahan sebagai wakil rakyat. Ironisnya,
mereka kini hendak mencabut hak politik rakyat dalam menentukan kepala daerah.
Bukan hanya
dalam kebijakan pilkada para politisi berlaku bak Malin Kundang. Selama ini mayoritas
politisi, pejabat, dan penguasa di pusat dan daerah menjalankan politik Malin
Kundang. Segera setelah dilantik mereka mengingkari kepentingan rakyat dan
bersekutu merampas hak-hak rakyat.
Mereka si
Malin Kundang
Perilaku Malin
Kundang kebanyakan politisi di lembaga legislatif bisa dinilai dari korupsi dan
demoralisasi yang kian menggejala. Juga tingginya kesenjangan kinerja dan gaji
serta fasilitas yang mereka dapatkan. Keputusan politik mereka cenderung
menjauh dari kepentingan rakyat.
Gaji anggota
DPR totalnya mencapai 18 kali dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
Data yang dilansir Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan
Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, gaji anggota DPR RI berada di
peringkat keempat terbesar di dunia setelah Nigeria (116 kali pendapatan per
kapita penduduknya), Kenya (76 kali pendapatan per kapita penduduk), dan Ghana
(30 kali). Menurut IPSA dan IMF, seorang anggota DPR RI dalam setahun bisa
mendapatkan 65.000 dollar AS atau sekitar Rp 780 juta di luar gaji ke-13, dana
reses atau dana aspirasi daerah pemilihan, serta insentif setiap ikut membahas
rancangan undang-undang. Jika ditotal dalam satu tahun, pendapatan anggota DPR
bisa lebih dari Rp 1 miliar. Belum lagi jaminan privilese hukum dan privasi
sebagai anggota Dewan.
Gaji besar dan
banyaknya fasilitas yang diterima anggota DPR tak sebanding dengan kinerja
mereka. Hasil penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia tahun 2014
menunjukkan, 435 (83,3 persen) anggota Dewan berkinerja buruk. Ini terlihat
dari beberapa indikasi, di antaranya 90 persen target legislasi meleset,
banyaknya produk undang-undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, banyaknya
anggota Dewan yang terlibat korupsi, serta kapasitas dan tingkat kehadiran yang
rendah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat, 69,7 persen
anggota Dewan terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan kinerja
serendah itu, tidak heran kalau di mata rakyat citra anggota DPR terus merosot.
Indonesia Network Election Survey (INES) dalam surveinya pada 2013 mencatat,
masyarakat menilai 89,3 persen anggota DPR tukang bohong dan tidak jujur, 87,3
persen berperilaku korup, dan 78,6 persen malas mengikuti sidang. Belum lagi
banyak anggota DPR yang tertangkap kamera tengah tertidur pulas di saat sidang
dan ditemukannya kondom yang berserakan di area Gedung DPR.
Fasilitas yang
diterima anggota Dewan kian meningkat, tetapi kinerja justru merosot. Pada
periode 1999-2004 tak banyak anggota DPR yang memiliki staf ahli dan asisten.
Sekarang, setiap anggota Dewan didampingi dua staf ahli dan seorang asisten.
Namun, kinerja DPR jauh di bawah target. Pembahasan RUU Perlindungan TKI,
misalnya, sudah berlangsung tiga tahun, tetapi belum juga selesai.
Menghukum
rakyat
Mayoritas
fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih hendak mengembalikan
pilkada ke DPRD. Alasannya, pilkada langsung biayanya mahal, memicu konflik
horizontal, politik uang, dan sebagainya. Apabila dikaji lebih lanjut, sikap
menolak pilkada langsung dengan berbagai alasan justru membongkar borok partai.
Sikap itu kian mempertegas politik Malin Kundang yang dimainkan partai dan
kadernya. Mengapa?
Pertama,
mengembalikan pilkada pada DPRD merupakan pengkhianatan terhadap reformasi.
Salah satu inti semangat reformasi adalah mendorong demokratisasi secara
substansial diikuti dengan perbaikan prosedurnya. Semangat ini melahirkan
pemilihan presiden langsung yang memperkuat sistem presidensial dan
mengembalikan kedaulatan rakyat dengan memperluas partisipasi politik rakyat.
Semangat itu pula yang melahirkan otonomi daerah dan pilkada langsung.
Kedua,
mengembalikan pilkada pada DPRD dengan alasan biaya tinggi, politik uang, dan
konflik horizontal merupakan pengakuan partai akan borok mereka. Dengan
mengajukan alasan "biaya tinggi", mereka mencampuradukkan antara
biaya penyelenggaraan pilkada dan biaya yang dikeluarkan politisi yang
berkompetisi dalam pilkada. Biaya penyelenggaraan pilkada bisa diminimalkan
dengan regulasi dan sistem yang lebih baik. Sistem pilkada serentak menjadi
salah satu solusi. Sementara klaim "biaya tinggi" merupakan pengakuan
akan biaya ekstra yang dikeluarkan calon kepala daerah dalam pilkada. Biaya
ekstra yang tinggi ini terjadi karena politik uang.
Lemahnya kerja
politik parpol di tengah masyarakat membuat mereka menempuh jalan pintas dengan
menyuap rakyat. Selain itu, partai cenderung mewajibkan calon kepala daerah
untuk membayar "upeti" jika menggunakan parpol sebagai kendaraan
politik. Akibatnya, korupsi dan bagi-bagi proyek dilakukan kepala daerah
terpilih untuk membayar utang. Padahal, tidak sedikit kepala daerah yang
berasal dari rakyat mampu meraih suara tanpa harus menyuap rakyat.
Persoalan
muncul ketika calon kepala daerah gagal meraih suara. Mereka kemudian membuat
siasat dan mengadu domba rakyat. Itulah mengapa konflik yang muncul selama
pilkada cenderung elitis dan bukan konfliknya rakyat.
Mengembalikan
pilkada kepada DPRD tidak menjamin biaya politik berkurang. Yang terjadi,
politik uang justru lebih mudah dilakukan kepada DPRD dibandingkan dengan
kepada rakyat. Bahkan biaya politik pilkada oleh DPRD bisa lebih besar ketika
kepala daerah sibuk mengurus DPRD yang memilihnya, aktivitas kepala daerah
direcoki DPRD karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.
Ketiga, usulan
mengembalikan pilkada kepada DPRD sarat kepentingan. Dengan itu, akan sangat
mudah bagi partai koalisi meraih posisi kepala daerah. Hal itu karena partai
yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menguasai mayoritas DPRD di seluruh
Indonesia.
Keempat,
mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan hukuman terhadap rakyat. Yang
korupsi dan menghamburkan anggaran adalah DPR dan penguasa, yang melakukan
politik uang partai dan politisinya, dan yang memicu konflik para elite, tetapi
kenapa rakyat yang dihukum dan dicabut hak politiknya?
Sulit
dimungkiri, keputusan Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pilkada kepada
DPRD tak terlepas dari pertarungan dalam pilpres. Mereka menyadari telah
dikalahkan oleh rakyat dan kini mereka hendak menghukum rakyat dengan mencabut
kedaulatannya. Dengan itu, rakyat sebagai ibu tak kuasa lagi mengutuk Malin
Kundang menjadi batu.
Sumber: Kompas, 20 September 2014.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!