Oleh Fidelis Regi Waton
Pamong Rohani KMKI Berlin;
Belajar Filsafat Politik di
Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman
BENANG merah program
pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo dipadatkannya dalam wacana Revolusi
Mental. Perubahan mental sangat penting bagi pembaharuan politik. Satu aspek
strategis dan vital dalam mengimplementasikan revolusi mental dan reformasi
politik adalah pergaulan dengan masa lalu.
Kuman amnesia (lupa) sejarah
tetap berkembang biak di negeri kita.
Upaya sistematis untuk mengkhianati sejarah belum berhasil dibendung.
Pengolahan masa lalu masih menjadi proyek yang kompleks dan komplit.
'Jasmerah" (jangan
sekali-sekali melupakan sejarah), wasiat fundator negara kita, Soekarno. Secara
ontologis sejarah merupakan tenunan kejadian masa lampau, masa kini dan masa
depan yang mengonstruksi bangunan eksistensi kita. Masa lalu adalah bagian
hakikih kehidupan berbangsa dan bernegara.
"The past is never dead.
It's not even past" (masa lalu tidak pernah mati. Ia tidak pernah sirna),
tandas William Faulkner. Pengaruh dan akibat masa lalu senantiasa relevan.
Siapa yang menutup mata terhadap masa lalu, ia akan buta terhadap masa kini dan
kelak. Diktum ini bukanlah sugesi dan harus dilegitimasi secara yuridis. Di
Jerman penyangkalan terhadap kejadian tragis Holocaust-Auschwitz dikategorikan
sebagai pelanggaran hukum.
Setiap transformasi dari rezim
otoriter ke demokrasi tidak boleh melalaikan pertanyaan seputar pergaulan
dengan masa lalu. Demokratisasi yang benar dan jujur mesti mengelola masa lalu
dengan segala risiko dan konsekuensinya. Kebenaran harus ditegakkan. Mitos
diganti dengan fakta. Proses ini sempat dimulai Gus Dur melalui gagasan
rekonsiliasi nasional yang kelak pudar di balik eufori kebebasan. Geliat
reformasi politik justru bersarang pada kamuflase dan sikap inkonsistensi.
Esensi penanggulangan masa
lalu adalah penyelesaian hukum: penetapan pelaku dan identifikasi korban (aktor
kejahatan harus dihukum dan korban direhabilitasi), tata hukum direvisi, latar
belakang kebiadaban dijelaskan dan didokumentasikan sebagai awasan dan
peringatan. Institusi sipil maupun militer yang mendongkrak rezim lama harus
dibersihkan. Pertanyaan tentang kesalahan dan tanggung jawab wajib dilontarkan.
Apa yang terjadi di Indonesia?
Pertama, secara mendadak mencuat fenomen ekdisis (pergantian kulit). Kromosom
tidak pernah digugat. Militer dan Golkar sebagai pendongkrak Orde Baru
mengganti kemasan, mengelak dari kesalahan dan tanggung jawab sekaligus
meloloskan diri dari jeratan hukum.
Setelah ambruknya rezim
Hitler, Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman bersama dengan segala
organisasi pendukungnya dilarang (10/10/1945) dan ditetapkan sebagai organisasi
kejahatan. Tamatnya dinasti Saddam Hussein berakibat pelarangan Partai Baath
dan pembersihan segala unsur birokrasi dan struktur yang berkaitan dengannya.
Spirit Orde Baru yang
militeris dan Golkaris tetap dilestarikan dalam cara berpikir dan hidup nasional. Stigmatisasi dan tuduhan komunis
begitu gampang dilontarkan. Komentar berbau rasis-agamis terus terpupuk.
Penyeragaman, uniformitas, ritual upacara bendera, kekerasan, ketertiban dan
kedisiplinan ala militer tetap diidealisasikan, diapresiasi dan diejawantahkan
sebagai takaran hidup bersama. Reformasi politik belum menyentuh zona mental,
karakter dan akhlak.
Kedua, Hitler tidak sempat
diadili karena ia telah melakukan suicide, namun para aktor dan arsitek
kejahatan semasa Nazi diproses secara hukum: Proses Nuernberg (1946-1949),
pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem (1961) dan proses Auschwitz (1963-1965)
di Frankfurt am Main.
Di Indonesia merajalela
realitas impunitas dan ketiadaan itikad untuk memproses aneka kasus pelanggaran
hak-hak asasi manusia. Para aktor kejahatan sipil dan militer masa lalu tidak
pernah diperiksa, diseret ke pengadilan dan dihukum. Mereka malah secara leluasa melancarkan aksi penghilangan jejak hitam
sejarah dan menampilkan diri bagaikan pahlawan. Tanpa rasa salah dan malu
mereka menduduki, getol memperebutkan atau mempengruhi tampuk kekuasaan.
Ketiga, korban tidak pernah
direhabilitasi, malah diledek dan kembali dikorbankan dengan cara penghalangan
investigasi, pembalikkan fakta dan penghilangan bukti yang dilancarkan para
pelaku kejahatan bersama antek-anteknya yang berkolaborasi dengan aparat hukum
yang korup. Penghargaan kita terhadap korban sangat rentan.
Keempat, dekonstruksi
penulisan sejarah sebagai sejarah pemenang tetap terpenjara dalam tagihan.
Penulisan kembali sejarah harus berorientasi pada perspektif korban.
Kelima, mentalitas pencitraan
masih bertengger megah. Kritik dan pengungkitan sejarah gelap serta-merta dicap
sebagai desakralisasi negara dan pencorengan nama bangsa. Kebanggaan nasional
justru juga harus ditunjukkan dengan ketulusan untuk mengakui dan menerima
realitas kebiadaban dan ketidakberesan.
Pergaulan yang sehat dan fair terhadap noktah-noktah hitam sejarah menjadi tanda kualitas kedewasaan dan integritas moral suatu bangsa. Segelap apapun lembaran hitam sejarah, kita tidak boleh malu untuk mengakui dan menerimanya sebagai bagian identitas bangsa dan berani mengelolanya secara sportif.
Pergaulan yang sehat dan fair terhadap noktah-noktah hitam sejarah menjadi tanda kualitas kedewasaan dan integritas moral suatu bangsa. Segelap apapun lembaran hitam sejarah, kita tidak boleh malu untuk mengakui dan menerimanya sebagai bagian identitas bangsa dan berani mengelolanya secara sportif.
Sejarah memang tidak bisa lagi
diubah, direparasi dan dikoreksi, tetapi ia harus diterima dan segala
rongsokannya dibenahi. Kutukan sejarah terus mengakrabi bangsa dan negara kita,
jika kita tidak serius untuk mengolah sejarah dan belajar darinya.
Sejarah tetaplah guru terbaik,
namun guru cerdas ini selalu memiliki murid-murid edan yang tidak mau belajar
darinya. Era baru bersama Presiden Jokowi dengan tekad luhur revolusi mental
kiranya tidak mengesampingkan pengolahan masa lalu. Inilah kesempatan emas
untuk menguji seberapa jauh kecerdasan kita sebagai murid sejarah.
Sumber: Pos
Kupang, 3 September 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!