Headlines News :
Home » , » Nyanyi Sunyi dari Lembah Hedaria

Nyanyi Sunyi dari Lembah Hedaria

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 25, 2014 | 8:37 PM

Oleh Honing Sanny 
Pekerja Politik & Anggota DPR RI Komisi IV

SEPERTI biasa saya selalu menikmati kunjungan pribadi ke desa-desa terpencil yang oleh banyak politisi tidak menarik untuk dikunjungi. Selain tempatnya jauh, harus jalan kaki sekitar sejam (tapi pengalaman saya waktu ke sana bahkan membutuhkan waktu lebih dari dua jam), jumlah penduduknya pun tidak banyak. Bisa dimaklumi karena jalan menuju Hedaria hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati topografi yang relatif terjal. Jauh lebih terjal bila dibandingkan perjalanan pulang kampung ke Nggela dari Ngaluroga. Sebetulnya ada jalan lain namun menurut informasi dari masyarakat setempat jalannya lebih mendaki.

Perjalanan ke Hadaria merupakan titik terakhir rute ketemu petani yang saya lakukan selama tiga hari dimulai dari Nangapanda-Wewaria-Maurole-Sokoloo-Marapele dan Hedaria.

Perjalanan ke Hedaria ditempuh dari Marapele. Bersama rombongan setelah beberapa kali berhenti akhirnya sampai juga ke dusun kecil di Desa Nira Mesi, Kecamatan Wolowaru. Hadaria berdampingan dengan dusun kecil Kembo. Di lembah yang sunyi ini kami disambut dengan keakraban tanpa basa basi meskipun telah menunggu hampir dua jam.

Seperti di awal tulisan ini, apabila pendekatan yang dipakai semata-mata politik, Hadaria bukanlah tujuan para pencari suara. Dalam kalkulasi matematika politik, Hadaria istilah anak muda sekarang berat diongkos. Terbukti dalam setiap pemilu, baik legislatif, pilpres maupun pemilukada Hadaria tidak pernah didatangi para pemburu suara. Jangankan sesudah terpilih, pada masa kampanye saja tidak ada calon yang mau berkunjung dan kampanye di sana.

Dapat disimpulkan yang bertahan tinggal di Hadaria adalah orang-orang hebat mengingat tantangannya terlampau berat. Seperti dituturkan, siang hari sebagian besar masyarakat menghabiskan waktu di kebun bukan sekadar bertani namun harus mengawasi kebun dari ancaman hama kera yang sudah melampaui ambang batas. Dari sebelum mahatari terbit sampai matahari benar-benar hilang baru mereka kembali ke rumah.

Apakah malam bisa tidur nyenyak? Ternyata tidak juga, karena pada malam hari babi hutan akan menyerang kebun. Masyarakat harus kembali ke kebun sekitar jam 9 atau sepuluh malam dan baru sekitar jam tiga pagi kembali ke rumah setelah dipastikan bahwa babi hutan tidak akan menyerang lagi kalau sudah menjelang pagi.

Lalu bagaimana kalau ada yang sakit atau meninggal? Hadir dan terlibat pada saat ada yang sakit atau meninggal sebagai bentuk dari solidaritas sosial, namun tetap ke kebun bila tidak ingin dihabisi roa (kera) dan wawi ndua (babi hutan). Cerita pilu yang lain adalah banyak ibu-ibu yang akhirnya melahirkan anak di jalan sebelum sampai puskesmas.

Potret ini akan semakin lama bertahan kalau tidak segera dilakukan affirmative action. Perlu ada langkah darurat untuk memutus keterpencilan yang sudah terlalu lama. Bayangkan saja hanya sekadar membangun rumah berlantai semen mereka membutuhkan anggaran dua kali lipat. Kalau satu sak semen lima puluh ribu, maka ongkos angkut dari Marapele ke Hedaria biayanya satu sak juga lima puuh ribu. Jadi sampai di sana satu sak semen 100.000 rupiah. Pada musim hujan sebagian anak-anak memilih untuk tidak ke sekolah karena alamnya tidak mendukung. Kondisi ini mengakibatkan banyak sekali anak-anak putus sekolah.

Bagi sebagian orang boleh jadi cerita ini tidak menarik bila dibandingkan banyak tempat lain yang jauh lebih sulit geografisnya. Sebut saja Nila, Reka, Kekasewa atau desa-desa terpencil lainnya yang ada di Kabupaten Ende. Namun bagi saya, Hadaria menarik karena penyelesaiannya tidak butuh banyak dana untuk membuka isolasi mengingat komposisi badan jalannya bertanah bukan bebatuan seperti desa-desa di atas. Dengan alat berat milik pemerintah hanya butuh waktu sekitar seminggu sudah terbuka jalan sampai ke sana.

Harus diakui sekecil apapun pembangunan selalu membutuhkan anggaran. Apalagi daerah kita termasuk kategori miskin dengan daya dukung anggaran yang terbatas seperti tercemin dari kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi mengikuti ajaran Bung Karno, dengan semangat gotong royong kita bisa bersama-sama untuk bahu membahu. Setidaknya dalam benak saya, bagaimana kalau semua orang Ende baik yang di Ende maupun di luar Ende bisa mendonasikan sedikit kelebihan rejeki untuk membantu masyarakat dengan kategori Hadaria. Dianjurkan kepada mereka agar membuat permohonan resmi kepada pemerintah untuk meminjam alat berat. Semua prasyarat sudah mereka siapkan sejak lama. Kerja sama antar mosalaki berkaitan dengan pelepasan tanah untuk jalan sudah mereka lakukan. Tentu saja ada biaya agar alat berat bisa beroperasi. Berkaitan dengan biaya, semua yang peduli diajak untuk berpartisipasi, paling tidak untuk biaya BBM dan honor operator. Dari Hadaria kita mulai menghidupkan kembali semangat gotong royong untuk kemanusiaan.

Sebagai anggota DPR yang membidangi pertanian, saya agak kesulitan untuk mencari program berkaitan dengan pembukaan jalan baru. Saya sedang mengupayakan agar mendapatkan tambahan anggaran berkaitan dengan Jalan Usaha Tani yang secara khusus akan dialokasikan untuk itu. Yang pasti sebagai bukti kebersaman sedang diupayakan program Desa Konservasi khusus untuk ternak kambing karena kondisi alamnya sangat mendukung untuk program tersebut.

Kebersamaan adalah bentuk tanggungjawab untuk melepaskan masyarakat dari keterbelakangan.

Gagasan gotong royong ini juga pernah saya diskusikan dengan kawan-kawan yang kebetulan pengusaha. Mereka justru tertarik dan mau terlibat membantu, namun mereka belum pernah diajak omong untuk hal-hal yang seperti ini. Kita butuh pemersatu yang punya kapasitas dan integritas untuk melakukan hal-hal kecil namun berdampak besar.

Hentikan sudah perdebatan tidak bermutu, berpolitik sekadar urusan kekuasaan, berkonflik karena hal-hal remeh temeh. Hadaria adalah stigma ketertinggalan kita hari ini. Marilah kita jadikan Hadaria sebagai pilot project sosial untuk menyelesaikan banyak hal lain yang melilit masyarakat. Kita perlu sadar bahwa pembangunan adalah hak, namun juga keliru bila saja semua seolah-olah tanggungjawab tunggal pemerintah. Sudah saatnya untuk menghadirkan semua stakeholder di antaranya pengusaha, institusi agama, masyarakat baik di Ende atau di luar Ende dengan pemerintah beserta DPRD mengambil peran sebagai pemersatu.

Cukup sudah pendekatan pembangunan yang sekadar business as usual di mana masing-masing kelompok kepentingan berjalan sendiri-sendiri. Pengusaha hanya sekadar menyedia dana ketika para bos dan keluarganya hendak berangkat keluar kota atau tempat para pembuat keputusan meminta upeti. Tokoh agama tidak sekedar pemimpin rutin ritual harian. Tokoh masyarakat sudah harus tanggalkan sifat feodal yang sudah out of date yang dalam sejarah peradaban modern justru menjadi menghambat serius mobilitas sosial. Pemerintah dan DPRD sebagai pengambil kebijakan perlu duduk bersama dalam suasana harmoni. Hentikan sudah perilaku anti komunikasi yang hanya merugikan masyarakat. Para pemimpin perlu kompak terlebih dahulu sebelum bersama-sama menyelesaikan problem masyarakat. Alangkah malunya bila saja para pemimpin berantem sendiri, kapan waktu untuk rakyat.

Akhirnya kita perlu menegakkan kembali martabat kemanusiaan agar mampu melahirkan individu-individu yang tangguh. Pemimpin yang tidak disandera pengusaha yang ikut serta membiayai pemilukada. Pengusaha yang mengerjakan projek dengan sungguh-sungguh memperhatikan kualitas pekerjaannya. Tidak ada lagi wakil rakyat yg kehilangan wibawa karena urusan minta tiket pesawat dan uang pulsa kepada para kepala dinas. Dari Hedaria kita mulai. Mudah-mudahan........ 
Sumber: Fb Honing Sanny
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger