Pekerja Politik & Anggota DPR RI Komisi IV
SEPERTI
biasa saya selalu menikmati kunjungan pribadi ke desa-desa terpencil yang oleh
banyak politisi tidak menarik untuk dikunjungi. Selain tempatnya jauh, harus
jalan kaki sekitar sejam (tapi pengalaman saya waktu ke sana bahkan membutuhkan
waktu lebih dari dua jam), jumlah penduduknya pun tidak banyak. Bisa dimaklumi
karena jalan menuju Hedaria hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati
topografi yang relatif terjal. Jauh lebih terjal bila dibandingkan perjalanan
pulang kampung ke Nggela dari Ngaluroga. Sebetulnya ada jalan lain namun
menurut informasi dari masyarakat setempat jalannya lebih mendaki.
Perjalanan ke
Hadaria merupakan titik terakhir rute ketemu petani yang saya lakukan selama
tiga hari dimulai dari Nangapanda-Wewaria-Maurole-Sokoloo-Marapele dan Hedaria.
Perjalanan ke
Hedaria ditempuh dari Marapele. Bersama rombongan setelah beberapa kali
berhenti akhirnya sampai juga ke dusun kecil di Desa Nira Mesi, Kecamatan
Wolowaru. Hadaria berdampingan dengan dusun kecil Kembo. Di lembah yang sunyi
ini kami disambut dengan keakraban tanpa basa basi meskipun telah menunggu
hampir dua jam.
Seperti di awal
tulisan ini, apabila pendekatan yang dipakai semata-mata politik, Hadaria
bukanlah tujuan para pencari suara. Dalam kalkulasi matematika politik, Hadaria
istilah anak muda sekarang berat diongkos. Terbukti dalam setiap pemilu, baik
legislatif, pilpres maupun pemilukada Hadaria tidak pernah didatangi para
pemburu suara. Jangankan sesudah terpilih, pada masa kampanye saja tidak ada
calon yang mau berkunjung dan kampanye di sana.
Dapat disimpulkan
yang bertahan tinggal di Hadaria adalah orang-orang hebat mengingat
tantangannya terlampau berat. Seperti dituturkan, siang hari sebagian besar
masyarakat menghabiskan waktu di kebun bukan sekadar bertani namun harus
mengawasi kebun dari ancaman hama kera yang sudah melampaui ambang batas. Dari
sebelum mahatari terbit sampai matahari benar-benar hilang baru mereka kembali
ke rumah.
Apakah malam bisa
tidur nyenyak? Ternyata tidak juga, karena pada malam hari babi hutan akan
menyerang kebun. Masyarakat harus kembali ke kebun sekitar jam 9 atau sepuluh
malam dan baru sekitar jam tiga pagi kembali ke rumah setelah dipastikan bahwa
babi hutan tidak akan menyerang lagi kalau sudah menjelang pagi.
Lalu bagaimana kalau
ada yang sakit atau meninggal? Hadir dan terlibat pada saat ada yang sakit atau
meninggal sebagai bentuk dari solidaritas sosial, namun tetap ke kebun bila
tidak ingin dihabisi roa (kera) dan wawi ndua (babi hutan). Cerita pilu
yang lain adalah banyak ibu-ibu yang akhirnya melahirkan anak di jalan sebelum
sampai puskesmas.
Potret ini akan
semakin lama bertahan kalau tidak segera dilakukan affirmative action. Perlu ada langkah darurat untuk memutus
keterpencilan yang sudah terlalu lama. Bayangkan saja hanya sekadar membangun
rumah berlantai semen mereka membutuhkan anggaran dua kali lipat. Kalau satu
sak semen lima puluh ribu, maka ongkos angkut dari Marapele ke Hedaria biayanya
satu sak juga lima puuh ribu. Jadi sampai di sana satu sak semen 100.000
rupiah. Pada musim hujan sebagian anak-anak memilih untuk tidak ke sekolah
karena alamnya tidak mendukung. Kondisi ini mengakibatkan banyak sekali anak-anak
putus sekolah.
Bagi sebagian orang
boleh jadi cerita ini tidak menarik bila dibandingkan banyak tempat lain yang
jauh lebih sulit geografisnya. Sebut saja Nila, Reka, Kekasewa atau desa-desa
terpencil lainnya yang ada di Kabupaten Ende. Namun bagi saya, Hadaria menarik
karena penyelesaiannya tidak butuh banyak dana untuk membuka isolasi mengingat
komposisi badan jalannya bertanah bukan bebatuan seperti desa-desa di atas.
Dengan alat berat milik pemerintah hanya butuh waktu sekitar seminggu sudah
terbuka jalan sampai ke sana.
Harus diakui
sekecil apapun pembangunan selalu membutuhkan anggaran. Apalagi daerah kita
termasuk kategori miskin dengan daya dukung anggaran yang terbatas seperti
tercemin dari kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi mengikuti
ajaran Bung Karno, dengan semangat gotong royong kita bisa bersama-sama untuk
bahu membahu. Setidaknya dalam benak saya, bagaimana kalau semua orang Ende
baik yang di Ende maupun di luar Ende bisa mendonasikan sedikit kelebihan
rejeki untuk membantu masyarakat dengan kategori Hadaria. Dianjurkan kepada
mereka agar membuat permohonan resmi kepada pemerintah untuk meminjam alat
berat. Semua prasyarat sudah mereka siapkan sejak lama. Kerja sama antar
mosalaki berkaitan dengan pelepasan tanah untuk jalan sudah mereka lakukan.
Tentu saja ada biaya agar alat berat bisa beroperasi. Berkaitan dengan biaya,
semua yang peduli diajak untuk berpartisipasi, paling tidak untuk biaya BBM dan
honor operator. Dari Hadaria kita mulai menghidupkan kembali semangat gotong
royong untuk kemanusiaan.
Sebagai anggota DPR
yang membidangi pertanian, saya agak kesulitan untuk mencari program berkaitan
dengan pembukaan jalan baru. Saya sedang mengupayakan agar mendapatkan tambahan
anggaran berkaitan dengan Jalan Usaha Tani yang secara khusus akan dialokasikan
untuk itu. Yang pasti sebagai bukti kebersaman sedang diupayakan program Desa
Konservasi khusus untuk ternak kambing karena kondisi alamnya sangat mendukung
untuk program tersebut.
Kebersamaan adalah
bentuk tanggungjawab untuk melepaskan masyarakat dari keterbelakangan.
Gagasan gotong
royong ini juga pernah saya diskusikan dengan kawan-kawan yang kebetulan
pengusaha. Mereka justru tertarik dan mau terlibat membantu, namun mereka belum
pernah diajak omong untuk hal-hal yang seperti ini. Kita butuh pemersatu yang
punya kapasitas dan integritas untuk melakukan hal-hal kecil namun berdampak
besar.
Hentikan sudah
perdebatan tidak bermutu, berpolitik sekadar urusan kekuasaan, berkonflik
karena hal-hal remeh temeh. Hadaria adalah stigma ketertinggalan kita hari ini.
Marilah kita jadikan Hadaria sebagai pilot
project sosial untuk menyelesaikan banyak hal lain yang melilit masyarakat.
Kita perlu sadar bahwa pembangunan adalah hak, namun juga keliru bila saja
semua seolah-olah tanggungjawab tunggal pemerintah. Sudah saatnya untuk
menghadirkan semua stakeholder di antaranya
pengusaha, institusi agama, masyarakat baik di Ende atau di luar Ende dengan pemerintah
beserta DPRD mengambil peran sebagai pemersatu.
Cukup sudah
pendekatan pembangunan yang sekadar business
as usual di mana masing-masing kelompok kepentingan berjalan sendiri-sendiri.
Pengusaha hanya sekadar menyedia dana ketika para bos dan keluarganya hendak
berangkat keluar kota atau tempat para pembuat keputusan meminta upeti. Tokoh
agama tidak sekedar pemimpin rutin ritual harian. Tokoh masyarakat sudah harus
tanggalkan sifat feodal yang sudah out of
date yang dalam sejarah peradaban modern justru menjadi menghambat serius
mobilitas sosial. Pemerintah dan DPRD sebagai pengambil kebijakan perlu duduk
bersama dalam suasana harmoni. Hentikan sudah perilaku anti komunikasi yang
hanya merugikan masyarakat. Para pemimpin perlu kompak terlebih dahulu sebelum
bersama-sama menyelesaikan problem masyarakat. Alangkah malunya bila saja para
pemimpin berantem sendiri, kapan waktu untuk rakyat.
Akhirnya kita perlu
menegakkan kembali martabat kemanusiaan agar mampu melahirkan individu-individu
yang tangguh. Pemimpin yang tidak disandera pengusaha yang ikut serta membiayai
pemilukada. Pengusaha yang mengerjakan projek dengan sungguh-sungguh
memperhatikan kualitas pekerjaannya. Tidak ada lagi wakil rakyat yg kehilangan
wibawa karena urusan minta tiket pesawat dan uang pulsa kepada para kepala
dinas. Dari Hedaria kita mulai. Mudah-mudahan........
Sumber: Fb Honing Sanny

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!