Oleh Rhenald Kasali
Akademisi, Praktisi Bisnis &
Guru Besar Bidang
Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi UI
DARI luar, kita bisa melihat kentalnya
”warna Jokowi” dalam kerja pemerintahan kali ini. Itu setidak-tidaknya tampak
dari aksi para menterinya hanya beberapa hari setelah dilantik. Dan itu
seharusnya membuat malu kalangan akademisi atau mereka yang mengedepankan gelar
atau birokrat priyayi.
Indonesia saat ini
sedang membutuhkan orang yang berani bertindak, bukan jagoan bicara yang cuma
bisa berwacana. Dan untuk bergerak itu, diperlukan manusia bermata elang yang cepat
membaca the brightest spot. Titik penyumbat yang berkelap-kelip dan harus
segera dipotong atau diterobos.
Apa saja aksi
tersebut? Kita lihat satu per satu.
Orang bisa saja
memandang sebelah mata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang namanya sebelumnya
tak pernah kita dengar. Namun, begitu berkenalan saat memberikan penghargaan
SNI Award minggu lalu, saya bisa membaca ke mana dia akan membawa kementerian
itu.
Juga, ketika dia
melakukan inspeksi mendadak ke rumah penampungan calon tenaga kerja Indonesia
(TKI) di kawasan Tebet, Jakarta, kita bisa melihat iramanya. Kepada saya, dia
juga bercerita tentang mata rantai nilai yang mau dibangunnya dalam dunia
ketenagakerjaan. Saya tertegun, begitu cepat dia belajar mengenali masalah
bidang yang baru ditekuninya.
Kalau Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel, saya tak terlalu heran. Sejak dulu, dia biasa turun
ke bawah. Demikian juga Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo yang lebih
mementingkan kerja daripada memusingkan kantornya. Apalagi Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti atau Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Bagi saya,
mereka benar-benar bertekad melakukan perubahan.
Kalau Menteri Hanif
tidak lompat pagar dan memilih duduk manis di kantor, mungkin kondisi tempat
penampungan calon TKI yang sangat memprihatinkan tersebut tak pernah terungkap.
Policy-nya juga tak akan menyentuh hak-hak dasar yang terabaikan itu. Padahal,
mereka yang tinggal di dekat rumah penampungan TKI sudah biasa mendengar dan
menyaksikan calon TKI yang melompat kabur gara-gara diperlakukan tidak
manusiawi.
Blusukan adalah
cara jitu untuk menangkal laporan yang ABS (asal bapak senang). Kita tentu
terheran-heran menyaksikan komentar miring sejumlah orang, termasuk para artis,
yang menilai blusukan para menteri tersebut hanya pencitraan. Mereka menganggap
blusukan bukan kerja. Komentar yang aneh.
Memang soal
blusukan itu, saya juga punya catatan. Pertama, dengan turun langsung ke
lapangan, mereka bisa mengecek kebenaran laporan dan kinerja bawahan. Kedua,
kalau sistemnya jalan, mestinya yang banyak turun ke lapangan memang bawahan
para menteri tersebut. Bisa direktur atau para Dirjen. Merekalah yang mestinya
gesit memeriksa keadaan di lapangan, lalu mengusulkan kebijakan untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Jadi, kita tunggu,
setelah para menteri blusukan, apakah itu akan ditindaklanjuti oleh bawahan
mereka. Kalau itu tidak terjadi, mungkin betul blusukan yang dilakukan para
menteri hanya pencitraan. Bukan shock therapy dan membangunkan sistem agar
bawahan bekerja sebagaimana mestinya.
Lelang Jabatan
Gaya kedua Jokowi
yang kelihatannya mulai ditiru oleh bawahannya adalah lelang jabatan. Ketika
menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi melelang ratusan posisi. Di antaranya,
lurah dan camat, kepala sekolah, kepala puskesmas, dan berbagai posisi lain.
Melalui cara itu, Pemprov DKI Jakarta bisa memperoleh pejabat-pejabat yang
kompeten pada bidang masing-masing.
Kita juga bisa
melihat hasilnya. Misalnya, ada perbaikan pelayanan di kantor-kantor kelurahan
dan kecamatan yang lurah dan camatnya diangkat dari hasil lelang jabatan.
Kinerja Kelurahan Lenteng Agung, misalnya, naik setelah masuknya Susan Jasmine
Zulkifli sebagai lurah. Susan terpilih menjadi lurah melalui proses lelang
jabatan. Lalu, ada beberapa pejabat lain dari hasil lelang jabatan yang dengan
cepat dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi karena kinerja mereka dinilai
memuaskan.
Keberhasilan lelang
jabatan tersebut kini akan diadopsi di tingkat pusat. Mulanya, sebagaimana kita
baca, lelang jabatan hanya digunakan untuk mencari pengganti Dirjen Migas
Kementerian ESDM serta empat posisi di lingkungan Kementerian Keuangan. Namun,
Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi sudah mengatakan akan
memperluas ke seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya. Bahkan,
kabarnya, regulasi baru tengah dipersiapkan. Kelak, kabarnya, lelang jabatan
terbuka untuk kandidat non-PNS.
Jangan Kebablasan
Saya tentu
menghargai upaya seperti itu. Kita harus menjadi bangsa yang mengedepankan
kompetensi dan hasil kerja ketimbang ukuran-ukuran primordial ataupun ”urut
kacang”.
Meski begitu,
menempatkan kompetensi sebagai satu-satunya alat ukur juga kurang pas. Sebab,
prestasi kerja juga ditentukan oleh beberapa indikator. Misalnya, disiplin
kerja, kesetiaan, masa kerja, pengalaman, kemampuan menjalin kerja sama, dapat
dipercaya, dan berbagai indikator lain. Nah, bicara soal itu, kita butuh
organisasi penyeleksi yang berani dan pintar, bukan yang ”bermain” atau mudah
ditakut-takuti atau dikendalikan kelompok yang bermain. Sudah sering kita
dengar ”selera” mengalahkan kinerja.
Selain itu, ada
faktor psikologis yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, bagaimana kepastian
berkarir di kalangan PNS. Sebab, setiap orang tentu berharap posisinya kelak
terus meningkat.
Mengatur
keseimbangan antara kompetensi dan berbagai indikator lain adalah bagian dari
art of management. Manajemen itu bukan hanya ilmu, tetapi juga seni. Itu adalah
salah satu tugas seorang pemimpin. Mudah-mudahan hasilnya kelak bagus.
Sumber:
Jawa Pos, 24 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!