Oleh Max Regus
Rohaniwan Katolik;
Kandidat Doktor, The Graduate
School of
Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
TAHUN ini, Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
menulis pesan Natal dengan tema Berjumpa dengan Allah dalam keluarga dengan
inspirasi pada Injil Lukas Pasal 2, ayat 16. Di level paling pertama, keluarga
selalu memiliki sisi emosional. Tidak ada manusia yang tiba-tiba muncul dari
ruang kosong. Semuanya selalu berawal dari keluarga.
Tidak ada manusia
yang lahir seragam, bahkan di dalam satu keluarga sekalipun. Dengan ungkapan
yang lebih lugas, Allah berjumpa dengan manusia yang tidak seragam, dan manusia
berjumpa dengan Allah dalam ketidakseragaman.
Empedu sosial
Namun, tidak tersangkalkan,
ketika Allah tinggal di dalam agama-agama, dan bagaimana Dia diperlakukan para
pemeluknya, di belakang dari semua rasa takjub tentang-Nya, banyak cerita keji
yang terekam dalam sejarah. Sudah menjadi kisah yang umum, bagaimana para
pemeluk agama menyelipkan ritualisme kekerasan dan kebrutalan di dalam apa yang
mereka namakan dan agungkan sebagai tapa laku keagamaan. Ironisnya, kemurnian
satu agama dianggap rusak jika muncul satu intensi spiritual lain yang berbeda
di luar sana.
Sejumlah pertanyaan
mendasar mencuat ke permukaan. Mengapa ada sebagian orang merasa begitu
memiliki hak dan wewenang istimewa untuk menyeragamkan hasrat berjumpa dengan
Allah? Benarkah agama telah menjadi candu, bukan saja untuk memaafkan
kemiskinan ekonomi, eksklusi politik dan kepapaan sosial, melainkan juga
membuat para pembunuh kemanusiaan dalam nama Tuhan menjalankan semua itu dengan
perasaan sebagai orang suci? Apakah agama yang dianggap kotor harus dibersihkan
dengan darah kemanusiaan? Apakah Tuhan pernah mengirim pedang dan mewariskannya
kepada segelintir orang untuk membunuh dan memusnahkan setiap hasrat yang ingin
mempertahankan warna dalam keberagaman?
Pertanyaan-pertanyaan
utama itu sebetulnya hendak menegaskan kebenaran penting bahwa salah satu
bahaya terbesar bagi kemanusiaan ialah ketika ekstremisme religius dan
fundamentalisme keagamaan menjelma sedemikian pekat menjadi mesin jagal paling
efektif dalam peradaban. Kepekatan itu datang dari beragam alasan dan musabab.
Arogansi merupakan bunga terakhir dari fundamentalisme keagamaan yang berakar
pada ketidakwarasan.
Betapapun agama
hadir sebagai salah satu institusi terpenting dalam sejarah, kehidupan yang
bersimbah darah akibat kesombongan dan kepongahan yang muncrat darinya telah
menjadikannya sebagai salah satu ruang benturan dan konflik paling laris
sepanjang zaman. Di sisi cerita, kekejian dan kebrutalan sosial atas nama agama
akan berhadapan dengan jenis kejahatan impunitas baru bernama pembungkaman
kemanusiaan atas nama Tuhan.
Tidak sulit untuk
menemukan bagaimana orang yang menganggap berjiwa suci secara tidak segan
mendirikan tiang doa dan pujian kepada Tuhan dengan mempreteli kebebasan milik
orang lain. Mereka tidak saja menyempitkan substansi Tuhan, mungkin Tuhan tidak
memusingkannya juga, tetapi secara sadis menyebabkan kematian orang lain hanya
karena sikap-sikap keagamaan yang sempit. Mungkin kita tidak pernah percaya,
agama ialah alasan paling kuat dari kemunculan pembantaian massal di sekujur
tubuh sejarah.
Mitos kematian suci
Kita dapat
menghitung rentetan genosida yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia yang
pendek ini. Pembersihan etnik berawal dari kebencian religius.
Kekejian-kekejian itu bisa dengan mudah dioperasikan karena hanya kejahatan
jenis itu memiliki pendasaran paling kuat. Hanya ada dua ungkapan yang beredar
di seputar kejahatan tersebut. Jika karena agama dan Tuhan seseorang atau
sekelompok orang membunuh orang lain, tindakan itu disebut pembunuhan suci.
Ketika ada orang kehilangan nyawa saat menjalankan misi pemusnahan hidup orang
lain, itu disebut dengan kematian suci.
Bagaimanapun,
penjelajahan akademis dan pengalaman sosial telah sekian lama menyodorkan
kesimpulan berbahaya bahwa agama memiliki kecenderungan mempromosikan
kekerasan. Memang tidak bisa dibantah bahwa dengan satu atau dua alasan yang
sahih, apa yang berhubungan dengan Tuhan (agama) telah menguras energi manusia
sepanjang sejarah. Entah untuk mempertahankan keteguhan dalam membela
warna-warni hati manusia memuji Sang Maha Ada. Atau, entah untuk memupuk
arogansi yang berdiri di atas niat jahat mengurung dunia dalam kerangkeng
kebenaran tunggal yang dipaksakan sebagian orang. Tragisnya, untuk maksud yang
kedua itu, sebagian orang telah membuat dunia menggelepar dalam sketsa
kerusakan dan aroma kematian yang meracuni kesadaran murni kehidupan.
Koridor kemanusiaan
Sebetulnya, jika
ditarik secara sederhana sebab seseorang atau sekelompok orang menyebut diri
dengan bangga sebagai makhluk religius, semuanya berawal dari kerelaan Allah
untuk turun dari orbit maha tinggi dan berbicara dengan manusia. Dengan itu,
tidak terbantahkan, segala kebenaran hanya ada pada Allah saja. Manusia hanya
kecipratan selarik cahaya kebenaran itu tanpa ada jaminan mutlak dia sepintas
menjadi kebenaran. Jika kita hanya kecipratan gelombang cahaya kebenaran, lalu
apakah kita punya cukup alasan untuk mengadili seseorang sebagai benar dan
salah dalam memuji Allah.
Natal dengan
ingatan akan iktikad baik Allah yang mau datang dan menjadi salah satu anggota
keluarga besar umat manusia niscaya menantang pilihan-pilihan nilai moral
sosial di tengah kehidupan bersama. Salah satu karakter penting dari keluarga
ialah kesediaan dan kerelaan setiap penghuninya menerima keragaman di dalamnya.
Natal menitipkan panggilan religius bagi setiap orang yang berkenan untuk
membangun kehidupan (keindonesiaan) sebagai koridor kemanusiaan. Konkretnya,
Indonesia akan bergerak menjadi komunitas (keluarga) sosial dan politik yang
beradab tatkala keragaman mendapatkan penghargaan dan sesama warga yang kecil
mendapatkan perlindungan negara dan sesamanya lebih besar dan kuat. Salam damai
Natal. Damai bagi Indonesia.
Sumber: Media
Indonesia, 24 Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!