SEBANYAK 59 pastor
dan suster dari berbagai penjuru dunia mengirim surat terbuka sebagai protes
atas tindakan Uskup Kupang, Mgr Petrus Turang yang menampar seorang imam saat
merayakan Misa Natal beberapa waktu lalu.
Mereka mengirimkan
surat terbuka kepada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Duta Besar
Vatikan Untuk Indonesia, Mgr Antonio Guido Filipazzi agar menyikapi kasus
tersebut dengan segera.
Pastor Fidelis Regi
Waton, SVD, salah satu penandatangan surat terbuka yang mengecam tindakan Uskup Kupang tersebut,
mengatakan, surat ini dibuat sebagai respons atas video tindakan Uskup
Petrus Turang sudah beredar luas di YouTube.
Video berdurasi
1:08 menit tersebut pertama kali diposting di YouTobe oleh Joshua Sinaga dengan
judul “Mgr. Petrus Turang: Uskup arogan dan preman” pada tanggal 14 Juli 2014.
Hingga tanggal 22
Juli 2014, video ini sudah dilihat sekitar 1.175 orang dan telah tersebar luas
di berbagai akun Facebook dan media sosial lainnya.
Selain itu, video
yang sama diupload lagi ke Youtube oleh Cheluz Pahun, dengan judul “Perilaku
buruk Petrus Turang (Uskup Kupang), pelaku kekerasan dalam Gereja”, yang mana
sejauh ini sudah ditonton lebih dari 6.361 kali.
Lebih dari itu, video yang sama juga diupload lagi ke Youtube oleh Anton Tamonob dengan judul “Mgr. Petrus Turang: Uskup Arogan dan Feodal” dan sudah dilihat sebanyak 187 kali.
“Dengan posting ini
Joshua Sinaga, Cheluz Pahun dan Anton Tamonob diberondongi kritik pedas: Mereka
dituduh memprovokasi dan menghujat. Pelbagai tuduhan itu tidak beralasan dan
lahir dari rasa malu kolektif dan pencitraan siluman yang tercoreng, yang
berujung pada upaya penyepelean dan penyangkalan kasus krusial di atas,
pembelaan pelaku dan distorsi kebenaran,” kata Pastor Fidelis Waton dalam rilis
yang diterima SP di Jakarta, Senin (118/8). [M-15/L-8]
Berikut inilah
surat terbuka yang dikirim oleh 59 pastor dan suster dari seluruh dunia:
Surat Terbuka Untuk
Mgr. Petrus Turang
Kepada Yth.
Yang Mulia Ketua
Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.
Ignatius Suharyo
Yang Mulia Duta
Besar Vatikan untuk Republik Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi
di
Jakarta
Perihal: Kasus
kekerasan fisik yang dilakukan Mgr. Petrus Turang, Uskup Agung Kupang
Terpujilah Tuhan
kita Yesus Kristus dan dengan penuh hormat.
Sebagai warga
Gereja dan dalam rasa solidaritas kemanusiaan kami dikejutkan oleh posting
video tentang Mgr. Petrus Turang dari Keuskupan Agung Kupang yang mengejar,
menarik badan dan menampar seorang imam.
Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 10 Januari 2013 di Gereja Katedral Kristus Raja Kupang
pada penghujung perayaan Misa Natal bersama para imam dan biarawan-biarawati
yang turut dihadiri sekian banyak umat.
Korban tamparan
adalah Romo Yohanes Subani, imam projo dari Keuskupan Atambua yang bertugas
sebagai pengajar dan pendidik di Seminari Tinggi Santu Mikhael di Kupang.
Alasan aksi “ringan tangan” tersebut tampaknya sangat
sepele, karena si korban hanya bersalaman dengan menunduk, membungkukkan badan
dan berpegang tangan, dan bukannya mencium cincin Uskup – sebagaimana dilakukan
rekan-rekannya yang lain.
Lewat media online,
pelbagai pihak telah mengecam tindakan feodal dan tak berperikemanusiaan dari
Uskup Turang. Berkaitan dengan tindakan tercela, tak bermoral dan memalukan di
atas, kami pun menyampaikan beberapa sikap yang dituangkan dalam pernyataan dan
tagihan di bawah ini.
Pertama, tanpa
mengurangi rasa hormat kami terhadap Mgr. Turang, kami mengecam tindakan beliau
yang tidak etis tersebut.
Tanpa meremehkan makna simbolis cincin Uskup dan maksud correctio fraterna (koreksi persaudaraan) yang langsung, spontan dan transparan (mungkin pula bermotif pedagogis dan preventif sebagai peringatan umum), kami menilai tindakan ini tidak terpuji, arogan, memalukan, kalau tidak mau dibilang kriminal, apalagi kelancangan tangan ini terjadi pada penghujung perayaan ekaristi kudus, di rumah Tuhan yang suci, di hadapan sekian banyak umat dan dilakukan oleh figur yang selalu disapa “Yang Mulia” dengan tangannya yang terurapi dan diyakini menyalurkan berkat Ilahi.
Yesus dari Nazaret
memang pernah berang dan menghalau para pedagang dari Bait Allah, akan tetapi
si korban dan sikapnya tidak bisa dikategorikan ke situ.
Di belahan dunia
lain, tindakan itu sudah cukup menjadi alasan untuk melengserkan Uskup dari
takhtanya.
Kedua, menurut
hasil pelacakan, peristiwa memalukan tersebut tampaknya secara sengaja hendak
didiamkan dan nyaris dilupakan.
Beberapa pihak
menginformasikan bahwa segelintir imam yang menjadi saksi tindakan itu dengan
sengaja turut mendiamkannya bahkan menyangkalinya, ketika diminta konfirmasi.
Iblis sang
penyangkal tentu bersorak ria, ketika para pengikut Yesus yang berjubah putih
mendiamkan dan menyangkal tindakan tidak terpuji tersebut.
Akan tetapi luka
yang disembunyikan akhirnya berbau busuk dan mengontaminasi lingkup sekitar.
Borok hanya bisa disembuhkan, jika ia dibuka, dibersihkan dan diobati.
Secara moral,
barang siapa yang mendiamkan suatu persoalan, ia secara tidak langsung
menyetujui tindakan tidak bermoral tersebut.
Fenomena mendiamkan
persoalan di atas kemungkinan besar lahir dari ketaatan buta dan ketakutan akan
otoritas hierarkis dalam hal ini ketakutan terhadap Uskup Turang.
Jika demikian maka
ada praksis kekeliruan dalam memahami ketaatan dan otoritas kekudusan yang
bertujuan untuk melayani telah disalahgunakan.
Fenomena mendiamkan
persoalan itu juga sangat mungkin dilandasi semangat picik “kekompakan” ala militer, mafia dan bandit.
Model kekompakkan antara Uskup dan para imamnya demikian menjadi lahan subur untuk menumbuhkan persekongkolan, dusta dan mematikan kepekaan serta meredam bisikan suara hati sebagai instansi moral tertinggi.
Realitas ini bukan
saja mengikis solidaritas, melainkan juga melecehkan korban dan ia dengan demikian untuk kedua kalinya menjadi
korban.
Dalam semangat
solidaritas dengan korban yang secara tidak adil dan tidak benar dipermalukan
di hadapan umum dan traumatis, kami mengecam dan mengutuk sikap tak bermoral
Mgr. Turang, juga sikap bahkan budaya diam dan ketiadaan protes serta
perlawanan khususnya dari kaum berjubah terhadap tindakan Bapak Uskup Turang.
Barangsiapa yang
tidak melawan, ia hidup tidak benar. Di wilayah Nusa Tenggara Timur yang mayoritasnya adalah penganut Nasrani,
para pimpinan agama acapkali memainkan peran oposisi yang galak, tak kenal
kompromi dan disegani berhadapan dengan pimpinan publik dan institusi politik.
Sikap
profetis-kritis yang lahir dari kepekaan dan keprihatinan sosial ini hendaknya
bukan hanya berjalan satu arah (eksteren), melainkan juga interen.
Bukan saja
pemerintah dan masyarakat, melainkan juga Gereja (jemaat dan hirarki)
memerlukan sikap kenabian. "Ecclesia semper reformanda“ (Gereja harus
selalu direformasi).
Ketiga, video
berdurasi 1:08 menit tersebut pertama kali diposting di Youtobe oleh Joshua
Sinaga dengan judul “Mgr. Petrus Turang: Uskup arogan dan preman” pada tanggal
14 Juli 2014.
Hingga tanggal 22
Juli 2014, video ini sudah dilihat sekitar 1.175 orang dan telah tersebar luas
di berbagai akun facebook dan media sosial lainnya.
Selain itu, video
yang sama diupload lagi ke Youtube oleh Cheluz Pahun, dengan judul “Perilaku
buruk Petrus Turang (Uskup Kupang), pelaku kekerasan dalam Gereja”, yang mana
sejauh ini sudah ditonton lebih dari 6.361 kali. Lebih dari itu, video yang
sama juga diupload lagi ke Youtube oleh Anton Tamonob dengan judul “Mgr. Petrus
Turang: Uskup Arogan dan Feodal” dan sudah dilihat sebanyak 187 kali.
Dengan posting ini
Joshua Sinaga, Cheluz Pahun dan Anton Tamonob diberondongi kritik pedas, Mereka
dituduh memprovokasi dan menghujat.
Pelbagai tuduhan
itu tidak beralasan dan lahir dari rasa malu kolektif dan pencitraan siluman
yang tercoreng, yang berujung pada upaya penyepelean dan penyangkalan kasus
krusial di atas, pembelaan pelaku dan distorsi kebenaran.
Keberanian mereka
untuk mempublikasikan tindakan tidak terpuji Sang Uskup patut diapresiasi.
Tindakan mereka berjalan pada jalur kebenaran. Kebenaran harus diungkapkan
tanpa takut, biarpun hal itu memalukan, mencoreng dan menyakitkan.
Keempat, pepatah
bahasa Latin mengatakan errare humanum est (kesalahan adalah manusiawi). Tak
seorang pun, termasuk Uskup, yang steril dari kesalahan.
Dalam semangat
hukum cinta kasih yang diajarkan dan dihidupkan Yesus Kristus, kita tentunya
mengecam perlakuan negatif dan si pelaku tidak boleh dibenci, melainkan
dimaafkan.
Akan tetapi di hadapan kasih, yang salah harus
dikatakan salah dan yang benar dikatakan benar. Prinsip salah atau benar adalah
pemimpin, Uskup, kelompok atau Gereja kami, merupakan suatu sikap yang tidak
konsekuen dan konyol.
Sebagai seorang
pewarta iman, Uskup Turang sebagai manusia hendaknya dimaafkan yang tentu saja
didahului rasa bersalah dan penyesalan darinya, namun perlakuannya
mewajibkannya untuk meminta maaf baik kepada korban (korban dan nama
baik/martabatnya yang telah dicabik secara sewenang-wenang di hadapan umum
harus direhabilitasi dan dipulihkan) maupun kepada umum (Gereja maupun sipil)
mengingat posisinya sebagai figur publik dan panutan.
Kelima, sungguh
disayangkan bahwa seorang uskup yang seharusnya memberi teladan yang baik,
mengayomi semua dombanya, ternyata berlaku anarkis, bahkan terhadap pelayan
Tuhan sendiri.
Menurut kesaksian
korban di pintu keluar Gereja setelah perayaan ekaristi natal bersama dimaksud
Uskup Turang juga menempeleng seorang biarawati yakni Sr. Dorothea Poli, SSpS.
Rupanya tindakan
itu dilakukannya karena beliau sudah terkenal sangat emosional dan
temperamental, akan tetapi kondisi psikis ini tidak mengizinkan dan membenarkan
tindakannya yang tidak terkontrol, jika tidak sudah layaknya beliau harus
mendarat di klinik psikologi terapi dan ditolong.
Yesus juga rela dan
tidak malu membiarkan Diri dibantu oleh Simon dari Sirene.
Keenam, berdasarkan
konfirmasi korban, Uskup Turang sebagai pelaku tidak menghiraukan segala kritik
dari pelbagai pihak dan tidak merespon pernyataan dan tuntutan pribadi si
korban. Sikap ini sangat arogan dan otoriter.
Keangkuhan ini
menjadi dentang kematian untuk ketulusan, kejujuran, rasa bersalah dan rendah
hati. Hal ini bukan saja patut disesali, melainkan sangat mengecewakan dan
boleh dipatok sebagai skandal.
Lebih celakanya
dalam beberapa kesempatan Uskup Turang membalikkan kenyataan bahwa beliaulah
yang menjadi korban penghinaan yang dilakukan Romo Subani dan tidak menyinggung
sedikitpun kekerasan fisik yang dilakukannya.
Hal ini sudah keterlaluan,
kalau tidak mau dibilang “kurang ajar dan pengecut.” Untuk itu kami meminta
pimpinan lembaga Gereja (ketua KWI dan Nuntius) agar tidak diam dan menyikapi
persoalan itu sekaligus memfasilitasi rekonsiliasi, tidak salah juga dibahas
dalam kesempatan sinode.
Jika tidak kami
menuntut agar penyelesaian kasus ini wajib menempuh jalur hukum sipil
berdasarkan prinsip kesetaraan setiap orang di hadapan hukum, karena kita hidup
di negara hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum di atas segala model otoritas
lainnya.
Salah satu ungkapan
bahasa Latin mengatakan in omnibus caritas (di atas segala-galanya adalah cinta
kasih). Surat ini muncul karena kasih.
Cinta kasih tidak
boleh menyepelekan persoalan dan mengaburkan kebenaran. Slogan di atas akhirnya
berkulminasi pada prinsip in omnibus veritas (di atas segala-galanya adalah
kebenaran).
Di hadapan Gubernur
Romawi Pontius Pilatus, Yesus menyatakan tujuan kedatangan-Nya di dunia ini
yakni untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18:37).
Kebenaran itu
jujur, tulus dan tidak bisa disembunyikan serta acapkali sangat menyayat hati,
namun justru kebenaranlah yang akan memerdekakan kita (Bdk. Yoh 8:32).
Surat ini dibuat
sebagai hasil diskusi online para klerus, biarawan-biarawati dan awam yang peka
terhadap kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Kami sangat mengharapkan
jawaban dari Yang Mulia Nuntius dan Yang Mulia Ketua KWI.
Berlin: 17.8.2014
Salam dalam Tuhan
kita Yesus Kristus
Gerakan “Kita
adalah Gereja“
01. P. Fidelis Regi Waton, SVD (Berlin, Jerman)
02. Br. Martin Tnines, SVD (Goroka, PNG)
03. Para imam dan awam SVD – Angkatan Novisiat
1991/1992 yang tergabung dalam Forum Diskusi Antarkita.
04. P. Hendrikus Maku, SVD (Roma, Italia)
05. Br.
Yoseph Undung, SVD (Filipina)
06. P. Andreas Kedati, SVD (USA)
07. P. Lambertus Lein, SVD (USA)
08. P. Paskalis Lolan, SVD (Dresden, Jerman)
09. P. Emanuel Tanu SVD (USA)
10. P. Agustinus Seran SVD (USA)
11. P. Adrianus Naben, SVD (Bolivia)
12. Sr. Maria Getrudis, SSpS (PNG)
3. P. Timo Gampur, SVD (Filipina)
14. P. Fransiskus Hungan, SVD (PNG)
15. P. Risco Christianus Batbual, SVD (PNG)
16. Sr. Lucia Sakunab, SSpS (Brasilia)
17. P. Matheus Ro, SVD (USA)
18. P. Dismas Mauk, SVD
19. P. Nikolaus Kondi, SVD (Jepang)
20. P. Kristianto Naben, SVD (Brasilia)
21. Br. Abdon Simanullang, SVD (Filipina)
22. Br. Hubertus Guru, SVD (Filipina)
23. P. Pius Tnesi, SVD (Filipina)
24. P. Yohanes Bere, SVD (PNG)
25. P. Mansuetus Tus, SVD (Roma, Italia)
26. Sr. Kori Siki, SSpS (Berlin, Jerman)
27. Kancu Legu (Flores)
28. Br. Paulus Boli, SVD (PNG)
29. P. Klemens Naben, SVD (Brasilia)
30. Yoseph Keli Odje (Australia)
31. P. Tarsisius Sigho, SVD (Taiwan)
32. P. Petrus Seran Klau, SVD (Brasilia)
33. Margareta R. Banafanu (Timor)
34. P. Maximus Manu, SVD (Filipina)
35. P. Kristianus Sada, SVD (Filipina)
36. P. Lukas Aja Wona, SVD (Filipina)
37. P.
Frenky Nggesu, SVD (Filipina)
38. P. Fransiskus Uta, SVD (Benin)
39. P. Yuventus Adur, SVD (Chile)
40. P. Ramlan Sihombing, SVD (Brasilia)
41. Claren Naben (Timor)
42. Sr. Victrisia Sinaga, OSF Sibolga
(Brasilia)
43. P. Reginaldus D. Amleni, SVD (USA)
44. Sr. Mary Paul, SSpS (Filipina)
45. P. Agustinus Keraf, SVD (Brasilia)
46. P. Gregorius Fobia, SVD (Amazon-Brasilia)
47. Sr. Maria Theodora, SSpS (Brasilia)
48. P. Romanus Rami, SVD (Brasilia)
49. P. Yustinus Nenat, SVD (Filipina)
50. Sr. Teresa Lina Sriwahyuni, SSpS
(Filipina)
51. P. Andreas Koa, SVD (Filipina)
52. P. Blasisu Prang, CMM (Flipina)
53. P. Simon Petrus Koten, SVD (Filipina)
54. Sr. Sara Gabriela B. Gallardo, SSpS (PNG)
55. Chaverius X. Faimau (Timor)
56. Sr. Andrea Wulu, SSpS (PNG)
57. P. Alex Jebadu, SVD (Italia)
58. Sr. Filomina Bui, SSpS (Italia)
59. Sr. Maria Sada, SSpS (Italia)
Atas nama “Gerakan
kita adalah Gereja“
P. Fidelis Regi
Waton, SVD
Bayernallee 28
D-14052 Berlin DeutschlandE-Mail: waton@steyler.de
Telp. : (+49) 3030000321
Tembusan:
Romo Yohanes Subani
(Kupang)
Yang Mulia Mgr.
Petrus Turang (Uskup Agung Kupang)Yang Mulia Mgr. Dominikus Saku (Uskup Atambua)
Yang Mulia Uskup-Uskup Se-Regio Nusra
Sr. Dorotea Poli, SSpS (Kupang)
Sr. Provinsial SSpS Timor (Halilulik)
Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang
Vatikan
Media Massa
Ket foto: Mgr Petrus Turang
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!