Oleh Yaleswari Pramodhawardani
Peneliti Puslit Kemasyarakatan &
Kebudayaan
(P2K2) dan The Indonesian Institute
PAPUA adalah kita. Mungkin buat sebagian
kalangan ia hanya secuil, sesuatu yang ada dalam puing ingatan, tetapi tetap
tidak bisa diingkari, kepapuaan itu bagian dari keindonesiaan kita. Sayangnya,
fakta yang kemudian menjadi jargon itu tetap belum bisa diwujudkan hingga kini.
Berita terakhir, Papua masih dilumuri duka dengan peristiwa Paniai berdarah. Sebagian dari kita hanya bisa merutuki dan berkeluh kesah tentang pemerintah yang tidak responsif, tetapi tetap kehilangan gambaran besarnya. Penyelesaian Papua terlalu sederhana jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Itu harus melibatkan banyak pihak, banyak hati, untuk masuk kubangan persoalannya.
Berita terakhir, Papua masih dilumuri duka dengan peristiwa Paniai berdarah. Sebagian dari kita hanya bisa merutuki dan berkeluh kesah tentang pemerintah yang tidak responsif, tetapi tetap kehilangan gambaran besarnya. Penyelesaian Papua terlalu sederhana jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Itu harus melibatkan banyak pihak, banyak hati, untuk masuk kubangan persoalannya.
Sabtu (20/12) pagi
itu, di aula Pascasarjana Universitas Indonesia berkumpul sebagian besar
perempuan dari berbagai kalangan; akademisi, praktisi, pegiat kemanusiaan, dan
beberapa di antara mereka dari Papua. Seminar nasional yang bertajuk Menganyam
Noken Kehidupan; Keadilan, Perdamaian, dan Keamanan Papua makin menegaskan
jalan panjang menuju kedamaian Papua memang wajib diperjuangkan. Noken yang
memiliki makna kultural persahabatan, kehormatan, dan perdamaian itu dipilih
sebagai simbol untuk penyelesaian damai Papua.
Forum yang digagas
Komnas Perempuan memperlihatkan hasil kajian mereka di lapangan melalui dialog
dengan 1.500 perempuan asli Papua di 28 Kabupaten. Para perempuan yang berasal
dari 75 lebih kelompok angkat bicara sebagai korban dan warga negara. Mereka
bertutur tentang inisiatif perempuan merespons persoalan, visi, dan harapan
mereka agar Papua menjadi tanah damai yang bebas dari kekerasan, diskriminasi,
eksploitasi, baik sebagai perempuan asli Papua maupun sebagai masyarakat Papua
yang bermartabat.
Para perempuan itu
tidak sekadar bicara tentang nasib perempuan Papua saja, tetapi juga bicara
persoalan Papua pada umumnya. Papua dalam relasinya dengan negara, negara yang
telah berjanji menjamin keselamatan dan kesejahteraannya. Mereka mempertanyakan
sekaligus menggugat, mengapa kekerasan yang mereka terima sebagai perempuan dan
warga negara tidak pernah berkesudahan?
Kekerasan tidak
hanya di ruang publik, tapi juga di ruang privat mereka.Tidak ada wujud negara
di sana. Persoalan perempuan
Papua tersebut baru sebagian dari kumpulan mozaik persoalan besar Papua. Selama
lebih dari empat dekade ini kita sudah lelah bosan dengan genangan darah dan
air mata di sana. Sejak era reformasi pemerintah pusat bukan tidak berusaha
untuk menangani hal itu, mulai Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahkan di bawah pimpinan SBY, komitmen tersebut diucapkan melalui sejumlah pernyataan publik. Seperti pada perayaan Natal Nasional 2005, SBY mengusulkan tiga pendekatan demokrasi, damai dan kasih untuk penyelesaian Papua, atau saat SBY mengundang beberapa tokoh gerejawi dari tanah Papua pada Desember 2011 di Puri Cikeas, seruan untuk tidak melakukan pendekatan kekerasan tetapi dengan hati kembali diucapkan.
Namun, faktanya, kekerasan masih terjadi di Papua hingga hari ini.Imbauan, pernyataan, regulasi kebijakan, dan upaya dialog tidak mampu menghentikan laju kekerasan yang terjadi di Papua. Apa yang salah? Apakah perlu peta jalan baru untuk penyelesaian Papua damai? Bagaimana melakukannya?
Peta jalan baru
Papua
Bila berbicara soal
Papua, saya selalu teringat sahabat saya, almarhum Muridan. Sampai akhir
hayatnya ia dikenang sebagai salah satu penggagas yang gigih untuk Papua Road
Map bersama Adriana Elisabeth dan peneliti Puslit Politik LIPI lainnya.Sampai
hari ini gagasannya tentang Papua Road Map masih tetap relevan dan memiliki
basis empiris konkret untuk dilaksanakan.
Tim LIPI melalui
penelitian panjangnya merumuskan empat agenda kerja utama yang bisa dijadikan
opsi bagi lembaga negara ataupun lembaga kemasyarakatan di dalam dan di luar
negeri.
Pertama, rekognisi
sebagai agenda payung untuk kebi jakan dan program yang bertujuan mendorong
juan mendorong keterlibatan orang asli Papua, termasuk di dalamnya pemberdayaan
di berbagai bidang kehidupan yang strategis. Hal itu penting dilakukan sebagai jawaban
atas masalah marginalisasi dan efek diskriminatif di hampir semua lini
kehidupan orangorang asli Papua.
Kedua, paradigma
baru pembangunan. Suatu paradigma yang diharapkan dapat mengubah orientasi
pembangunan pada pemaksimalan pelayanan publik yang memprioritaskan pada
peningkatan kualitas pendidikan (terutama pendidikan dasar), peningkatan
pelayanan kesehatan di kampung-kampung/ desa, pengembangan ekonomi masyarakat
yang masih subsisten, dan infrastruktur yang relevan untuk ketiga bidang
tersebut sebelumnya. Paradigma baru itu dimaksudkan untuk mengubah pembangunan
yang selama ini cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
fisik yang telah gagal dalam mem perbaiki sistem dan kualitas pelayanan
kebutuhan dasar masyarakat.
Ketiga, dialog dan
mekanisme mempersiapkannya. Dialog menjadi roh dalam proses menuju Papua dan
Indonesia baru yang bermartabat. Dalam dialog, kedua pihak butuh kerendahan
hati, kesetaraan, S kesederajatan, saing menghargai, dan semangat untuk
menyelesaikan konflik. Dialog menjadi pilihan karena secara teknis suasana
lebih eksploratif, di saat para pesertanya diharapkan dapat mengungkapkan
persoalan, ketidakpastian, serta keyakinan yang dipegang teguh, dan para
peserta lainnya mendengarkan, memahami, dan mendapatkan wawasan dari
lainnya. Dengan karakter yang dimilikinya, jadikan dialog sebagai proses panjang
yang harus dilalui kedua pihak tanpa merasa bosan demi tujuan yang lebih besar,
Papua baru dan Indonesia baru.
Keempat,
kemungkinan-kemungkinan ditempuhnya jalan rekonsiliasi dan pengadilan HAM.
Dasar dari kebutuhan itu ialah mengingat sejarah panjang kekerasan negara di
masa lalu yang berlangsung lebih dari empat dekade yang dilakukan aparat
keamanan dan pejabat negara. Karenanya, penegakan hukum dan keadilan bagi para
korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum wajib dilakukan.
Empat agenda utama
itu penting untuk dijadikan pertimbangan kembali dalam melempangkan jalan
dialog Papua Jakarta untuk penyelesaian konflik yang sudah mengakar selama ini.
Presiden Jokowi dan
Papua
Dalam kampanye
pemilihan presiden silam, Presiden Jokowi memang menunjukkan niatan untuk
memperbaiki memperbaiki kondisi Papua, baik upaya menjamin perdamaian,
antidiskri mina si, maupun soal peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.
Menurutnya, penyelesaian konflik Papua harus didekati dengan hati. Namun, di
satu sisi Presiden Jokowi sadar betul bahwa memperbaiki kondisi Papua tidak
bisa begitu saja dilakukan tanpa menyoroti pelanggaran HAM, reformasi pejabat
sipil dan militer di Papua, serta membuka isolasi wilayah tersebut.
Di sisi lain, ia
juga dihadapkan persoalan rumit lainnya. Kebiasaan presiden sebelumnya untuk
memberikan pernyataan setelah terjadinya sebuah peristiwa tidak dilakukannya.
Respons tersebut mendapatkan reaksi keras di Papua dan luar Papua, dianggap
presiden tidak peduli dengan kondisi dan peristiwa berdarah Paniai. Walaupun
dalam beberapa forum terbatas dikatakannya secara gamblang bahwa perhatian dan
prioritasnya dalam lima tahun ke depan ialah upaya penyelesaian secara permanen
dan tuntas persoalan Papua.
Dalam konteks itu,
Presiden menegaskan sikapnya tidak memberikan pernyataan berlebihan di depan
media untuk kasus Paniai berkaitan dengan janjinya tersebut. Ia bahkan siap
untuk tidak populer dalam pertarungan opini media yang akan menyudutkannya.
Lebih lanjut Presiden mengemukakan bahwa untuk men capai solusi permanen dan
tuntas sungguh tidak mudah, mengingat warisan konflik yang sudah mengakar 40 ta
hun lebih.
Pernyataan yang
sekadar berfungsi sebagai pemadam kebakaran sesaat, tanpa memberikan solusi
konkret dalam penuntasan persoalannya, justru akan menjadikan bumerang bagi
keinginannya tersebut. Sedikit yang tahu bahwa diam-diam Presiden Jokowi telah
memerintahkan Kepala BIN, Kapolri, menteri pertahanan, dan Panglima TNI untuk
mengusut persoalan itu dan melakukan tindakan serta memberi sanksi tegas bagi
pelanggarnya. Selain itu, Komnas HAM, masyarakat sipil, dan pihak gereja di
Papua juga dimintai laporan dari hasil pencarian fakta di lapangan. Penyelidikan
berlapis atas peristiwa Paniai dilakukan tanpa kegaduhan sorotan media.
Dari peristiwa ini,
mungkin kita juga perlu belajar memahami situasinya. Sebuah kerutinan negara
dalam ritual komunikasi politik ke publik berpuluh tahun tidak bisa dijadikan satu-satunya
ukuran untuk membenarkan cara dan strategi yang dipilih untuk presiden. Bisa
jadi Presiden Jokowi belajar dari pendahulunya bahwa janji presiden memiliki
implikasi terhadap tingkat kepercayaan rakyat kepadanya. Untuk memelihara
kepercayaan, janji itu bukan untuk sering-sering dikatakan, melainkan untuk
ditepati.
Pada akhirnya,
sebuah krisis memang memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya kendatipun
kekerasan di Papua selama ini telah menghancurkan apa saja yang `bersama' itu.
Kita masih ditagih untuk bersabar dalam waktu yang lebih lama lagi. Jalan
panjang untuk mendapatkan Papua baru dan Indonesia yang juga terus-menerus baru
karena dalam takdir kebinekaannya ia wajib merevitalisasi konsep-konsep
kewarganegaraannya berdasarkan kebutuhan rakyatnya, perkembangan regional,
ataupun global. Sebuah kesabaran revolusioner karena dilakukan melalui gerakan
kultural yang mengedepankan dialog terus-menerus. Namun, seperti kata sahabat
saya, almarhum Muridan, “Dialog tidak akan pernah membunuh.“
Sumber: Media
Indonesia, 22 Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!