Wartawan, tinggal
di Jakarta
YUSUF Bilyarta (YB)
Mangunwijaya, tak hanya seorang pastor, arsitek, sastrawan, dan penulis. Romo
Mangun, begitu imam Praja Keuskupan Agung Semarang itu akrab disapa, juga
seorang aktivis sosial politik. Namun, aktivitas di bidang sosial politik tidak
dalam artian mencari kekuasaan (melalui partai politik) dan mempertahankan
dengan cara-cara: demokratis, bersih, cerdas, santun, beretika-bermoral, dan
humanis.
Bersama rekan
Robertus Cahyo Adji (wartawan kelahiran Condongcatur, Sleman, Yogyakarta), saya
sempat menelusuri dan berdiskusi dengan sejumlah warga di sepanjang bantaran
Kali Code di jantung Kota Yogyakarta beberapa waktu lalu. Selain Code,
Kedungombo adalah dua “mega proyek” sosial politik fenomenal Romo Mangun dan
kawan-kawannya melawan kebijakan pemerintah yang menempatkan rakyat pada posisi
tak berdaya dengan borgol kekuasaan. Di Code saya leluasa melihat dari dekat
wajah masyarakat kecil sentuhan Romo Mangun. Sentuhan di bidang sosial politik
yang akhirnya berbuah Aga Khan Award for
Architecture, sebuah penghargaan di bidang arsitektur karena membela
warga pinggiran Code.
Romo Mangun
berjuang bagi masyarakat Code dan Kedungombo yang mau digusur demi proyek
pemerintah. Dalam skop yang lebih luas, ia juga banyak menyumbang diskursus
federalisme, reformasi Indonesia, kontroversi pemberian hadiah Nobel Uskup
Dioses Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, Partai Rakyat Demokrat (PRD),
dan lain-lain.
Bidang sosial
politik Romo Mangun inilah yang menginspirasi banyak politisi di semua
tingkatan dalam mengemban tugas dan fungsi sosial politiknya tanpa
membeda-bedakan. Tapi, saat ini praktik politik segelintir para politisi
mengalami disorientasi. Banyak politisi tak menampilkan hati nurani sebagai
bagian integral aktivitas perpolitikannya. Hal yang menjadi perjuangan sosial
politik Romo Mangun.
Termasuk segelintir
klerus dan para politisi Katolik di pentas politik nasional. Baik melalui
tugas-tugas sebagai pelayan Sabda maupun awam di bidang sosial politik maupun
lembaga legislatif. Sebut saja Mgr Albertus Sogijapranoto, SJ, Mgr Leo Soekoto,
SJ, Mgr Gabriel Wilhelmus Manek, SVD, Ignatius Joseph Kasimo, Frans Seda, Kanis
Pari, Harry Tjan Silalahi, Sofjan Wanandi, Cosmas Batubara, Beng Mang Reng Say,
dan lain-lain. Tak mengherankan kalangan pengamat memprediksi bahwa tahun 2013
bakal terjadi kejutan politik.
Kejutan politik
Seperti disebutkan
di atas, tahun 2013 diprediksi terjadi banyak kejutan. Suhu politik bakal kian
panas, tak hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional. Hal ini beralasan. Pada
2014, rakyat Indonesia akan berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS)
untuk ambil bagian dalam dua pesta demokrasi, yaitu Pemilu Legislatif
(DPR/DPRD) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden.
Direktur Eksekutif
Pol-Track Institute, Hanta Yudha di Jakarta, Kamis, 3 Januari 2013, memprediksi
bahwa akan terjadi sejumlah kejutan. Beberapa kasus hukum yang saat ini tengah
bergulir di tangan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) berpotensi menciptakan
dampak politik tahun 2013. Bukan tidak mungkin, berpotensi terjadi saling
bongkar skandal para elite politik.
Isu korupsi politik
akan semakin memanas. Elite politik yang akan berkompetisi akan dibuka
skandal-skandalnya. Buka-bukaan skandal ini juga untuk fund rising dana
politik. Karena itu tak akan terhindarkan bahwa tahun 2013 ada kejutan-kejutan
politik. Ia memprediksi, partai-partai politik bisa saling menyandera lantaran
semua partai di parlemen tersangkut kasus-kasus korupsi.
Tak hanya itu. Mega
skandal dana talangan Bank Century bernilai Rp 6,7 triliun dan Pusat Olahraga
Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, berpotensi menyerempet dan membuat partai
politik saling menyandera. Dua kasus besar tersebut, di mata peneliti dan
pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego,
berimplikasi politis dalam upaya penanganannya. Karena itu, kekonsistenan
partai diuji komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tak hanya praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih subur dalam praktek pemerintahan dan
politik nasional hingga lokal yang menuntut politisi, terutama para wakil
rakyat lebih sensitif dan care. Namun, masih banyak lagi karut-marut
bangsa yang pernah disuarakan Romo Mangun. Misalnya, jeritan kemiskinan, krisis
kebangsaan, meningkatnya radikalisme agama, ketidakpedulian negara terhadap
warga, penggusuran warga demi proyek pembangunan serta bentuk-bentuk
dehumanisasi lain (Bdk. Peziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya;
Penerbit Buku Kompas, Juli tahun 2009).
Para politisi
diajak berpolitik dengan hati nurani ala Romo Mangun. Ia (Romo Mangun)
menampilkan hati nurani sebagai bagian integral. Politik harus menggunakan hati
nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat luas dan demi keadilan bagi seluruh lapisan. Para politisi diajak
untuk menjadikan politik adalah politik akal sehat.
Isi politik akal
sehat adalah, pertama, ia adalah politik yang mau mengatasi problem bangsa ini
dengan program nyata, bukan dengar retorika atau kharisma; atau nasihat
paranormal. Kedua, ia adalah politik yang mau menerima kritik dan bukan
menyimpannya di dalam hati sebagai dendam. Ketiga, ia adalah politik yang tidak
menghalangi kelompok lain memasuki arena politik, hanya karena takut tersaingi
sehingga harus membentengi diri.
Keempat, ia adalah
politik yang anti KKN tanpa syarat dan karena itu rasa malu harus mendahului
kursi dan jabatan politik. Dalam impian Sjahrir dan (mungkin) juga segelintir
politisi dan wakil rakyat masa kini, politik akal sehat mengalami disorientasi.
Reformasi mati muda. Mati oleh lupa diri kekuasaan, mati oleh lilitan korupsi
yang menjadi-jadi. Mati oleh kemunafikan para elit (Bdk. Membangun Indonesia
Baru karya Dr Sjahrir; Penerbit Perhimpunan Indonesia Baru, Jakarta edisi
ketiga tahun 2003 halaman 94).
Garis politik
Bila persoalan
korupsi, kemiskinan, penggusuran atau bentuk dehumanisasi lain masih ditemui di
tengah kemunafikan elit politik, lalu di mana tempat rakyat? Suka tidak suka,
bisa dipastikan dalam benak oportunisme
politik belakangan, rakyat sepertinya hanya statistik yang dilaporkan para
pejabat dan politisi dengan gampang setelah diberondong pers.
Rakyat, meminjam
Sjahrir, ibarat karpet yang dipamerkan sekaligus diinjak. Rakyat, yang suaranya
dikejar-kejar setiap Pemilu, adalah rakyat yang suaranya diabaikan ketika
memprotes bumi dan lautnya dikeruk seenaknya. Rakyat, yang duitnya bernilai
miliaran rupiah dikuras para wakilnya sekadar membiayai plesiran politik tanpa
hasil nyata, adalah rakyat yang tak pernah dikunjungi para wakilnya.
Padahal, tatkala
mereka hadir dan menyambangi rakyat di kampung-kampung, senyum dan tawa selalu
hadir menghiasi perjumpaan mereka. Setelah di penghujung jabatannya, ia tentu
kembali menghadap sang tuan (rakyat) dan berpura-pura tersenyum dan bakal
berlagak seperti Sinterklas untuk “membagi-bagi rejeki”. Itulah wajah politik
politisi kita. Memalukan dan menyesakkan dada.
Mereka, para
politisi –termasuk segelintir wakil rakyat– keluar dari garis politik. Garis
politik dimaksud yakni menjalankan politik yang cerdas, bersih, dan santun.
Padahal, garis politik meminjam pendapat
pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Eddy Kristyanto dalam Sakramen
Politik (2008), itu strategis dan menjadi garansi pelembagaan demokrasi.
Ini sekaligus menegaskan arti sesungguhnya dari politik.
Politik perlu
dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan
dalam arti luas, (largo sensu). Bukan pula pada tingkat verbal dan
kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan masing-masing
pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human),
seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap
sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan
pemeliharaan hidup diutamakan.
Sumber: Flores Pos,
8 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!