Pengarang
& wartawan senior Tempo
Selamat Hari Natal bagi yang merayakan, di mana pun
berada, apa pun agamanya. Lho apa pun agamanya? Benar. Saya memakai kata
"merayakan" dalam arti yang diuraikan kamus bahasa Indonesia,
yakni "memestakan". Natal sudah pasti ada pesta diskon di berbagai pasar
swalayan. Pasar modern sumringah, ada balon bintang berkelap-kelip di pohon
cemara plastik. Pusat perdagangan berubah jadi tempat hiburan bersuasana pesta.
Ada lagu
"Jingle bells, Jingle bells, Jingle all the way ..."
Para
karyawan mengenakan topi Santa Klaus, tak peduli apa pun agamanya. Saya tak
tahu apakah mereka dipaksa. Dari senyumnya seperti tak ada tekanan. Mungkin
sukarela-atau memang suka-bukankah semakin banyak pengunjung semakin banyak
dagangan laku? Boleh jadi ada bonus tahunan.
Apalagi suasana pesta seperti ini
tak cuma untuk merayakan Natal.
Menjelang dan saat Lebaran, pasar modern dihiasi gantungan ketupat plastik
warna-warni. Para karyawati mengenakan
kerudung. Anggun sekali. Suasana semarak. Lagu "lebaran sebentar
lagi..." berganti-ganti dengan "Bang Toyib. Bang Toyib, tiga kali
puasa, tiga kali Lebaran, abang tak pulang-pulang...".
Natal sudah pasti hari raya
keagamaan kaum Nasrani, pemeluk Kristen dan Katolik. Lebaran atau Idul Fitri
hari raya umat Islam. Di sini, kata "merayakan" dalam kamus diartikan
"memuliakan". Tak ada penjelasan lain, namun saya setuju
"memuliakan" dalam hal ini adalah ibadah, mengikuti proses ritual.
Ritual Natal
apakah disebut misa kudus, kebaktian, dan lainnya, tentu untuk pemeluk Katolik
dan Kristen yang memuliakannya. Ibadah Idul Fitri dengan salat berjemaah tentu
untuk kaum muslim. Bersembahyang ke pura pada hari Galungan hanya bagi umat
Hindu, itu pun etnis Bali.
Tetapi kita hidup dalam
masyarakat majemuk, yang berbeda keyakinan namun budaya bisa satu. Para tetua
orang Bali yang tinggal di pedesaan masih
heran melihat orang Jawa yang saat Lebaran berpesta dengan ketupat. Bahkan
aksesori ketupat (dari plastik warna-warni) dijadikan hiasan di pusat-pusat
belanja, juga jadi hiasan di mobil. Padahal ketupat-yang cara menganyamnya
persis sama-adalah sesajen yang sakral di Bali.
Bagaimana menjelaskan ini?
Ketupat (di Bali: ketipat) adalah
budaya yang sudah ada sebelum Majapahit. Ornamen budaya ini jika dibawa ke
ranah Hindu di Bali maka jadilah ia sesajen, bisa disebut sakral. Tetapi itu
bukanlah agama, karena umat Hindu etnis lain, apalagi di India, di mana
ajaran Hindu turun, tak mengenal ketupat. Lalu, apa salahnya orang Jawa juga
melestarikan ketupat itu? Kita jangan terlalu merancukan antara agama sebagai
ibadah dan budaya yang hidup di masyarakat Nusantara ini.
Pada perayaan Natal,
umat Katolik dan Kristen di Bali akan mendatangi gereja mereka dengan pakaian
adat Bali. Lelaki memakai destar, perempuan
rambutnya digelung ke belakang (bahasa Bali:
mepusungan), mereka memakai kain. Gereja mereka diukir sebagaimana umumnya pura
umat Hindu. Di Palasari, Kabupaten Jembrana, umat Kristen di sana
sudah terbiasa memakai gong kebyar lengkap dengan tari-tari Bali
yang sangat semarak. Pernah ada selentingan yang mempertanyakan hal itu dengan
nada protes, seolah-olah "melecehkan" Hindu. Kenapa diprotes? Itu
budaya Bali, bukan milik Hindu. Tari Bali
sudah ada sekolahnya di Jepang. Grup gong kebyar Bali
sudah banyak di Amerika dan Kanada. Mereka tidak beragama Hindu. Kita harus
bisa membedakan yang mana ranah budaya dan yang mana keyakinan agama. Selamat
hari Natal dan
saya merayakan dalam ranah budaya: numpang diskonnya.
Sumber: Koran Tempo, 21
Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!