Oleh Bambang Widjojanto
Komisioner KPK
TANTANGAN
pemberantasan korupsi pada tahun mendatang kian menarik. Kinerja pemberantasan
korupsi tahun 2014 yang diapresiasi beragam kalangan akan ”bersentuhan” dengan
fokus pembangunan yang mendapat perhatian terbesar, yang diarahkan pada
maritim, energi, dan pangan, selain sektor infrastruktur dan perizinan.
Transparansi
Internasional (TI) baru saja mengeluarkan indeks persepsi korupsi (IPK) 2014.
IPK Indonesia adalah 34. Artinya, persepsi upaya pemberantasan korupsi
Indonesia hanya naik dua poin dibandingkan dengan tahun lalu meski secara
peringkat posisi Indonesia meningkat menjadi ke-107 dari semula pada posisi
ke-114 dari 175 negara yang disurvei.
Pelayanan
terintegrasi
Ada prinsip dan
beberapa hal penting dalam menilai dan meletakkan IPK dalam seluruh konteks
program dan upaya pemberantasan korupsi. Banyak pihak mafhum dan sepakat, IPK
tak dapat dijadikan satu-satunya indikator untuk mengukur keberhasilan
pemberantasan korupsi. Misalnya, sejauh mana dinamika keterlibatan publik dan
pembangunan budaya anti korupsi tengah dilakukan.
Selain itu, ada
beberapa indeks lain yang dibuat sendiri secara utuh dan teliti terkait
kemajuan pemberantasan korupsi secara spesifik di Indonesia. Sebutlah seperti
Survei Integritas Layanan Publik (SILP), Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK),
dan Indonesia Governance Index (IGI).
Hasilnya ternyata
ada peningkatan sehingga sejalan dengan peningkatan di IPK. Misalnya, indeks
SPAK meningkat menjadi 3,66 dari semula 3,55 dengan skala 0-5. Skor rata-rata
IGI menunjukkan adanya peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan di tingkat
provinsi yang semula 5,1 menjadi 5,7.
IPK yang disusun TI
adalah komposit dari sejumlah survei lain, seperti International Country Risk
Guide (ICRG), World Economic Forum (WEF), Global Insight (GI), Bertelsmann
Foundation Transformation (BFT), Political and Economic Risk Consultancy
(PERC), Economic Intelligent Unit (EIU), dan World Justice Project (WJP).
Apabila indeks komposit tersebut diteliti, setidaknya ada tiga indeks
internasional, yaitu WEF, GI, dan WJP, yang memberikan persepsi lebih baik di
sektor perizinan karena mengalami peningkatan sehingga menyumbang peningkatan
IPK.
Salah satu indeks
yang meningkat cukup tinggi adalah indeks GI, yang semula pada angka 22
meningkat menjadi 33. Indeks ini mengukur indeks korupsi di sektor bisnis yang
terkait dengan perizinan. Hal serupa juga pada indeks WEF dari 39 menjadi 43,
yang mengukur suap untuk ekspor-impor, pelayanan publik dasar, pajak tahunan,
dan kontrak publik-perizinan.
Pada keseluruhan
konteks di atas, upaya KPK bersama sejumlah departemen dan 12 pemerintah
provinsi beserta semua kabupaten/kota—misalnya di sektor kehutanan,
pertambangan, dan pajak serta pelayanan publik dasar—dalam membangun pelayanan
terintegrasi dan berintegritas serta melakukan debottlenecking perlu terus
dilanjutkan. Khususnya dalam memberikan perhatian lebih di sektor pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur. Faktanya, di sektor hutan, tambang, dan pajak
telah terjadi peningkatan penerimaan pajak.
Upaya pemberantasan
korupsi di sektor maritim untuk mendorong percepatan pembangunan pada sektor
ini harus jadi salah satu fokus perhatian KPK dan penegak hukum lain. Itu
karena tantangan atas sektor ini akan jadi sangat khas dan spesifik.
Lihat saja, sebagai
contoh, pada 2014 ini Kementerian Dalam Negeri menyatakan, jumlah pulau di
Indonesia 17.504 dan dari jumlah itu, 9.634 belum mempunyai nama. Ternyata,
informasi dari Badan Informasi Geospasial pada 7 Mei 2014 menyatakan, jumlah
pulau di Indonesia hanya sebanyak 13.446. Jumlah itu sudah tercatat di United
Nations Groups of Experts on Geographical Names (UN GEGN). Kalau klaim jumlah
pulau saja kita belum satu kata, bagaimana dengan soal kemaritiman lainnya?
Indonesia
berbatasan dengan 10 negara lain dan ada 92 pulau terluar yang dijadikan
sebagai garis pangkal batas wilayah Indonesia dengan negara lain. Hilangnya
satu atau beberapa pulau itu membawa akibat pada makin berkurangnya sumber daya
laut Indonesia, selain mengakibatkan luas wilayah Indonesia menjadi makin
menyusut.
Ada fakta terkait
dengan tantangan yang harus segera dihadapi, yakni akibat perubahan iklim
menyebabkan permukaan air laut kian meninggi. Hal itu berpengaruh secara
langsung terhadap keberadaan pulau terluar dan jumlah pulau di Indonesia. Ini
dapat mengakibatkan perubahan dan bahkan penyusutan garis batas pangkal wilayah
Indonesia, yang juga berpengaruh pada wilayah teritorial dan sumber daya yang
dimiliki Indonesia.
Sumber korupsi
Fakta lain yang
perlu mendapatkan perhatian, selama ini laut menjadi salah satu sumber korupsi
dan kejahatan lain yang tidak pernah ditangani secara sistemik dan terstruktur
oleh sistem kekuasaan, termasuk oleh aparatur penegak hukumnya. Problem illegal
fishing harus dimaknai secara luas bukan sekadar pencurian ikan di wilayah
teritorial laut Indonesia, melainkan ”pengurasan dan perampokan” atas sumber
daya laut dan/atau melalui sarana laut.
Nyatanya,
penyelundupan bahan bakar minyak ke luar Indonesia ataupun penyelundupan
beragam komoditas asing ke dalam Indonesia tanpa pajak sepeser pun, masalah
perdagangan manusia, penyelundupan narkoba besar-besaran karena Indonesia bukan
lagi sebagai tempat transit melainkan daerah tujuan terjadi melalui dan
menggunakan sarana serta prasarana laut dan kelautan Indonesia.
Begitu juga dengan
pencurian sebagian besar kekayaan sumber daya alam Indonesia menggunakan laut
sebagai bagian dari sarana kejahatannya. Tak mungkin semua kejahatan illegal
logging, perampokan hasil tambang mulai dari batubara, tembaga, timah, nikel,
biji besi, hingga gas dan minyak dilakukan tidak melalui laut untuk
mengapalkannya ke luar Indonesia. Ada lebih dari 300 persen pelabuhan tak
terdaftar di seluruh wilayah garis pantai Indonesia dan hanya sekitar 100
pelabuhan yang terdaftar dan memiliki infrastruktur.
Belum lagi ada
tendensi lain yang kian menguat, yaitu penguasaan pantai dan pulau oleh
konglomerasi hitam tengah terjadi secara intensif dan sistematis. Kelak hal ini
tidak hanya memarjinalkan rakyat, tetapi merebut secara sengaja dan ”legal”
semua sumber daya laut tidak untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran
rakyat. Lebih-lebih adanya fakta bahwa politik pembangunan yang selama ini
dikembangkan di Indonesia lebih berorientasi pada daratan bukan pada laut.
Apabila kita
sepakat tidak lagi hendak memunggungi laut, perlu dilakukan hal-hal berikut.
Pertama, penguasaan kedaulatan sesuai dengan garis pantai harus dilakukan
secara maksimal. Kedua, orientasi pembangunan hukum, khususnya program
legislasi nasional, harus diarahkan pada kepentingan dan pengelolaan sumber
daya laut. Ketiga, pembangunan infrastruktur maritim dan agraris harus
terintegrasi dengan akuntabilitas yang tinggi melalui Sistem Integritas
Nasional yang konsepsinya sudah dibuat KPK dan kini ada di Bappenas. Keempat,
tradisi, budaya, etos, dan spiritualitas laut dan kelautan Indonesia harus
dikuatkan dan dikembangkan.
Semoga semangat
Dewa Ruci dan lagu ”Nenek Moyangku Seorang Pelaut” dapat jadi modal awal untuk
menjadikan laut sebagai pintu masuk pengembangan peradaban Indonesia masa
mendatang yang dipadupadankan dengan teknologi informasi, komunikasi, dan
digitalisasi.
Sumber: Kompas, 11
Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!