Oleh Azyumardi Azra
Guru Besar
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta
TAK ragu lagi, kisruh politik merupakan
fenomena paling menonjol dan paling mengganggu dalam bulan-bulan awal
pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014,
kegaduhan politik tidak pernah berhenti dengan berbagai dampak negatif pada
penyelenggaraan negara dan pembangunan.
Padahal, sebagaimana disepakati para ahli ilmu
politik, praktisi politik, dan masyarakat sipil, adalah suatu kebajikan
(virtues) parpol jika ia dapat memelihara kestabilannya. Dengan stabilitasnya,
parpol sekaligus berbuat kebajikan utama selanjutnya, yaitu memberikan
ketenangan dan kemantapan bagi pemerintah menjalankan pemerintahan dan
pembangunan.
Namun, sejak pilpres sampai sekarang, kekisruhan
politik menyangkut parpol tidak mereda, tetapi terus berlanjut dengan gejala
kian meningkat. Kegaduhan politik ini jelas mengganggu konsolidasi politik dan
demokrasi, serta merupakan salah satu prasyarat politik penting bagi pemerintah
untuk bisa bekerja dengan baik.
Kekisruhan politik terjadi pada beberapa tingkatan,
mulai dari internal parpol hingga koalisi parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yang
berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik pada kedua
ranah politik itu pada gilirannya juga berimbas pada level pemerintahan.
Bahkan, menjelang Pemilu Presiden 2014, kekisruhan internal telah melanda
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar, yang bermula karena
adanya perbedaan sikap dalam memberikan dukungan kepada salah satu dari dua
pasang calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Ketua Umum Partai
Golkar Aburizal Bakrie, kala itu, mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa lewat KMP. Namun, ada elite di setiap partai itu yang ingin partainya
mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kegaduhan politik dalam dua parpol tersebut kian
meningkat ketika kedua belah pihak yang bertentangan sikap politik itu saling
memecat—sebuah ekspresi otoritarianisme. Akibatnya, rekonsiliasi menjadi kian
sulit. Ketika konflik dibawa ke pengadilan, keputusan hakim pun tidak cukup
memadai bagi resolusi konflik di antara pihak-pihak yang bertikai di PPP dan
Partai Golkar.
Publik tampaknya mesti harus bersabar. Sementara
kegaduhan Partai Golkar memasuki episode baru dengan perolehan isyarat baik
bagi kubu Agung Laksono, Partai Amanat Nasional (PAN) yang baru menyelesaikan
kongres di Bali awal Maret 2015 kini terlihat mulai terlanda friksi antara kubu
Zulkifli Hasan yang menang dan loyalis Hatta Rajasa.
Friksi juga mulai terlihat di Partai Demokrat.
Partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang berencana menyelenggarakan
kongres pada Mei 2015 ini mulai terbelah antara kubu yang ingin Yudhoyono tetap
menjadi ketua umum dan kubu Forum Komunikasi dan Deklarasi Partai Demokrat yang
menolak Yudhoyono kembali memimpin partai.
Gejala sama bukan tidak mungkin melanda parpol lain
ketika nanti menyelenggarakan kongres.
Mengamati gejala dan ekspresi kegaduhan politik yang
berketerusan, dengan memodifikasi teori Benjamin Reilly dan Per Nordlund
(2008), Indonesia tampaknya pas untuk masuk ke dalam kategori states of
conflict- prone politics—negara yang rentan dengan konflik politik.
Dengan masuk kategori ini, Indonesia "kian
lengkap" karena sebelumnya sudah termasuk kategoriconflict-prone
societies—masyarakat yang rentan dengan konflik antarmasyarakat, antaretnis,
dan antaragama. Mengapa Indonesia sangat rentan konflik politik? Pada satu segi
disebabkan konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Reformasi lembaga
politik seperti parpol telah berlangsung sejak 1998, tetapi reformasi budaya politik
tidak terjadi secara signifikan. Budaya politik lama semacam otoritarianisme
dan nepotisme politik terus bertahan dalam berbagai ekspresinya. Dengan
demikian, budaya politik demokratis tidak sepenuhnya terwujud dalam parpol.
Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan akomodasi
terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol sejak dari tingkat pusat
sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan "dinasti"
pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan memanfaatkan pemilu.
Parpol yang rawan konflik internal jelas tidak bisa
dibiarkan berlanjut. Reformasi kepartaian jilid dua sangat diperlukan agar
demokrasi Indonesia dapat terus terkonsolidasikan sehingga pemerintahan dapat
berfungsi lebih efektif. Untuk itu, parpol perlu membenahi kelembagaannya.
Parpol tidak pernah bisa kuat jika kalangan pemimpin dan anggota sering
berganti parpol atau mendirikan parpol baru karena tiadanya budaya politik
dialog, toleransi, dan akomodasi. Parpol perlu mengubah praktik politik yang
lebih berdasarkan personal "orang kuat" daripada anggota dan
masyarakat luas.
Tak kurang pentingnya, parpol mesti terus
merevitalisasi anggotanya; tidak memerlukan anggota dan simpatisan hanya pada
waktu pemilu/pilkada. Parpol mesti dapat menampilkan orientasi pada kebajikan
publik dengan meninggalkan pragmatisme dan oportunisme politik yang
bernyala-nyala. Dengan begitu, parpol dapat menampilkan organisasi, ideologi,
dan orientasi politik kerakyatan, serta kebajikan publik yang solid.
Sumber: Kompas,
17 Maret 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!