Oleh Syamsuddin Haris
Profesor
Riset LIPI
BEBERAPA hari lalu Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan merombak
kembali kabinetnya jika kinerja para menteri tak sesuai target. Ke mana arah
perombakan kabinet jilid 3, kocok ulang parpol koalisi atau benar-benar
berbasis kinerja?
Memegang jabatan sebagai menteri negara
tentu menjadi idaman banyak orang. Pada era Orde Baru (1966-1998), para menteri
pada umumnya mengemban jabatan mereka secara penuh, yakni selama lima tahun.
Sejumlah menteri, terutama di bidang ekonomi, bahkan memegang jabatan itu
hingga dua sampai empat periode.
Almarhum Ali Wardhana, misalnya, menjadi
menteri kepercayaan Soeharto selama hampir 20 tahun (1968-1988). Begitu pula
Radius Prawiro yang malang melintang menjadi menteri selama 20 tahun
(1973-1993), sementara Widjojo Nitisastro, salah seorang arsitek ekonomi Orde
Baru, mengepalai Bappenas hingga menjabat menko ekuin selama hampir 13 tahun
(1971-1983).
Namun, menjadi pembantu presiden di era
reformasi tidak bisa "tenang" seperti pada era Soeharto. Para menteri
setiap saat harus siap dicopot atau digeser ke posisi lain jika kinerja mereka
tidak sesuai dengan harapan, atau sikap politik partai politik mereka, jika
berpartai, bertentangan dengan posisi politik sang presiden.
Hal itu pernah dialami oleh para menteri
Kabinet Persatuan Nasional pada era almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur, 1999-2001). Beberapa menteri hanya menjabat selama 3-6 bulan, beberapa
lainnya kurang dari satu tahun, dan beberapa lainnya lagi mundur tidak lama
setelah menjabat.
Mungkin trauma dengan era Gus Dur,
Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) yang membentuk Kabinet Gotong
Royong tidak melakukan perombakan kabinet. Namun, dua periode kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) berlangsung lima kali perombakan
Kabinet Indonesia Bersatu, masing-masing dua kali pada periode I dan tiga kali
saat periode II. Kecuali pada perombakan kabinet skala besar pada 11 Oktober
2011, dua kali perombakan KIB periode IIbersifat terbatas.
Manuver parpol koalisi
Selama lebih dari separuh masa
pemerintahannya, Presiden Jokowi telah dua kali merombak Kabinet Kerja, yakni
pada Agustus 2015 dan Juli 2016. Yang menarik, pasca-perombakan kabinet jilid
2, Presiden Jokowi secara mengejutkan memberhentikan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang baru tiga pekan dilantik karena
disinyalir berkewarganegaraan ganda.
Sekitar dua bulan kemudian Arcandra
kembali diangkat dalam jabatan wakil menteri ESDM, mendampingi menteri ESDM
yang baru, Ignasius Jonan, mantan menteri perhubungan yang dua bulan sebelumnya
dicopot oleh Presiden Jokowi.
Fenomena menarik lain dari dua setengah
tahun Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla adalah begitu seringnya terjadi
pergeseran menteri di satu posisi kementerian. Selain Kementerian ESDM, ada
empat portofolio kementerian lain yang sudah pernah tiga kali mengalami
pergantian menteri.
Keempat kementerian tersebut adalah
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (dari Tedjo Edhy
Purdijatno ke Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian digantikan oleh Wiranto),
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya (Indroyono Soesilo, Rizal
Ramli, Luhut Binsar Pandjaitan), Kementerian Perdagangan (Rachmat Gobel, Thomas
T Lembong, EnggartiastoLukita), dan Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas (Andrinof Chaniago, Sofyan Djalil, Bambang
Brodjonegoro).
Meskipun demikian, kinerja para menteri
hasil dua kali perombakan tersebut tampaknya belum memuaskan sang presiden
sehingga mantan wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta itu memberi sinyal akan
merombak kembali kabinetnya. Diduga faktor penting di balik sinyal Presiden
adalah kebutuhan akan pencapaian target percepatan pembangunan sehingga
diharapkan sebagian besar program Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla bisa segera
diwujudkan dan dinikmati masyarakat.
Akan tetapi, tidak mustahil pula, di
luar faktor kinerja para menteri, perombakan kabinet dipicu oleh kebutuhan
Presiden Jokowi akan Kabinet Kerja yang lebih solid serta tidak terganggu oleh
manuver politik partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla.
Tarik-menarik dukungan dan manuver
politik partai politik dalam Pilkada DKI Jakarta sangat mungkin merisaukan
Jokowi. Seperti diketahui, parpol koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla pada
putaran pertama terbelah ke dalam Poros Teuku Umar (rumah Megawati
Soekarnoputri) yang mengusung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan
Poros Cikeas (kediaman Susilo Bambang Yudhoyono) yang mengusung Agus Harimurti
Yudhoyono-Sylviana Murni.
Pada putaran kedua, partai politik
koalisi terbelah ke dalam Poros Teuku Umar dan Poros Kertanegara (kediaman
Prabowo Subianto). Parpol koalisi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), yang diharapkan bersatu kembali dengan Poros Teuku
Umar, ternyata hanya memberi dukungan "setengah hati" terhadap
Basuki-Djarot. Sementara Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan lebih memilih
mendukung Poros Kertanegara yang mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang
akhirnya memenangi pertarungan panas Pilkada DKI Jakarta.
Faktor kinerja atau politik?
Pertanyaan menggoda yang muncul di balik
setiap kali mencuat isu perombakan kabinet adalah benarkah dilatarbelakangi
oleh faktor kinerja para menteri, atau lebih karena alasan politik, yakni
gesekan politik antara Istana dan parpol pendukung? Tentu Presiden Jokowi yang
lebih tahu apa saja faktor di balik rencana perombakan kabinet jilid 3
tersebut. Namun, tidak ada salahnya pula jika kita mencoba mereka-reka
pertimbangan yang mungkin menjadi dasar bagi Presiden Jokowi dalam merombak
kabinet.
Pertama, faktor kinerja para menteri itu
sendiri. Seperti diketahui, Jokowi adalah seorang pekerja keras yang memiliki
target tertentu dari setiap program politik yang dicanangkannya serta dalam
durasi waktu tertentu pula. Jokowi berharap setiap menteri dapat bekerja dengan
standar minimum seperti dirinya, sehingga selama lima tahun pemerintahan yang
dipimpinnya ada warisan kerja yang jelas dan terukur bagi bangsa kita.
Jokowi adalah tipikal presiden yang
tidak sabar dengan gayabirokratsalon, yakni mereka yang hanya pintarmemberi
perintah di belakang meja, tetapi tidak memiliki kapasitas dalam mengontrol
hasil kerja mereka, sehingga tidak jelas pula pencapaiannya.
Selain itu, Jokowi tampaknya adalah
tipikal presiden yang tidak ikhlas jika setiap sen rupiah dari anggaran negara
terbuang percuma hanya karena kinerja para pembantunya yang tidak becus.
Kedua, faktor loyalitas politik. Ini
terutama berlaku bagi para menteri yang mewakili partai politik koalisi
pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Seperti diketahui, setiap parpol koalisi
pendukung Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh kompensasi berupa kursi menteri dalam
Kabinet Kerja. Kursi-kursi kabinet tersebut tentu tidak gratis. Karena itu,
setiap partai politik pendukung pemerintah dituntut agar tetap loyal serta
mendukung setiap program politik dan kebijakan pemerintah.
Hanya saja pertanyaannya, apakah
perbedaan pilihan partai politik dalam pengusungan pasangan calon dalam
pilkada, seperti Pilkada DKI Jakarta yang baru berakhir, termasuk dalam kategori
penilaian "loyal" dan "tidak loyal" tersebut?
Saya kira, Presiden Jokowi yang memiliki
otoritas dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara berhak
memberi penafsiran subyektif atas makna dan ruang lingkup "loyalitas"
parpol tersebut. Apalagi, sejauh ini tidak ada kesepakatan tertulis antara
Jokowi dan partai politik koalisi, baikmengenai ruang lingkup dukungan politik
parpol terhadap Presiden maupun terkait etika berkoalisi. Itu artinya, Presiden
Jokowi berhak pula merombak formasi kabinetnya jika secara subyektif merasa
"gerah" dengan manuver politik partai politik pendukungnya.
Dalam kaitan ini kita tidak tahu, apakah
manuver politik Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang mensinyalir adanya
"intervensi" Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pencalonan Anies
Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, terkait potensi tergusurnya menteri PAN
dari Kabinet Jokowi atau tidak.
Ketiga, faktor kemampuan dan kapasitas
para menteri dalam membangun kerja sama tim (teamwork) di antara mitra sektoral
yang bersifat lintas kementerian. Termasuk di sini adalah passion personal para
menteri, apakah sungguh-sungguh memiliki komitmen mewujudkan Indonesia yang
lebih baik, atau sekadar "menjadi menteri" dengan segenap fasilitas
pendukungnya. Para menteri dalam sistem presidensial pada dasarnyatidak bisa
bekerja sendiri-sendiri karena secara kolektif mereka harus mewujudkan
visi-misi dan program politik presiden terpilih. Meskipun sebagian menteri
berasal dari partai politik, mereka tidak memiliki mandat politik apa pun karena
tanggung jawab politik dan pemerintahan berada di pundak Presiden.
Apa pun pilihan politik Jokowi dalam
merombak kembali kabinet harus dilihat dalam konteks otoritas prerogatif
Presiden dalam skema sistem presidensial. Hanya saja, sebagai bagian dari elemen
masyarakat yang memberi mandat politik kepada Presiden, kita berharap agar
perombakan kabinet sungguh-sungguh berorientasi pada percepatan terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa kita. Biaya politik yang harus
ditanggung bangsa ini terlampau besar jika perombakan kabinet tak lebih dari
sekadar prosesi pertukaran kesempatan "menjadi menteri" belaka.
Sumber:
Kompas,10 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!