SEJUMLAH organisasi internasional
menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi HAM di Indonesia pasca-vonis
dua tahun penjara terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok yang diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5/2017).
Dewan HAM PBB untuk Kawasan Asia berkicau di Twitter dengan menyatakan prihatin atas hukuman penjara terhadap dugaan penistaan agama Islam.
Dewan HAM ini
juga menyerukan kepada Indonesia untuk mengkaji ulang pasal penistaan agama
yang ada dalam UU Hukum Pidana.
Secara
terpisah Amnesti Internasional juga menyatakan bahwa putusan itu bisa merusak
reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran.
Ditambahkan,
meskipun apa yang disebut sebagai UU penistaan agama –Dekrit Presiden
No.1/PNPS/1965 dan KUHPidana Pasal 156a– “hanya” digunakan untuk mengadili
sekitar 10 orang antara tahun 1965-1998, tetapi menurut catatan Amnesti ada 106
orang yang diadili dan dihukum dengan menggunakan aturan itu antara tahun
2005-2014.
AS menentang
Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat (AS) bahkan secara tegas menyatakan meskipun
“menghormati institusi demokrasi Indonesia, AS menentang UU penistaan agama
dimana pun karena membahayakan kebebasan fundamental termasuk kebebasan
beragama dan mengemukakan pendapat.”
Pernyataan
yang disampaikan juru bicara Deplu AS Biro Asia Timur dan Pasifik, Anna
Richey-Allen, Selasa (9/5/2017) siang itu menggarisbawahi seruan pada Indonesia
“untuk menegakkan kebebasan beragama dan berpendapat yang merupakan aspek
penting demokrasi pluralisnya.”
Delegasi Uni
Eropa (UE) untuk Indonesia menyerukan pada pemerintah dan rakyat Indonesia
untuk tetap mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme yang selama ini
dikagumi dunia.
“Indonesia dan
UE telah sepakat untuk memajukan dan melindungi HAM, seperti kebebasan
berpikir, hati nurani, beragama dan kebebasan berpendapat,” demikian petikan
pernyataan itu.
Ditambahkan,
“Uni Eropa secara konsisten menyatakan bahwa undang-undang yang
mengkriminalisasikan penistaan agama apabila diberlakukan secara diskriminatif
dapat menjadi penghambat gawat terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dan
beragama”.
Dalam bahaya
Hal senada
disampaikan ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), yang menyatakan
bahwa putusan hakim atas Ahok itu bisa membuat posisi Indonesia sebagai
pemimpin di kawasan “berada dalam bahaya dan meningkatkan keprihatinan tentang
masa depan Indonesia sebagai masyarakat yang terbuka, toleran dan beragam.”
Ketua APHR
Charles Santiago menyatakan putusan itu bisa semakin memberanikan
kelompok-kelompok garis keras, dan membuat pasal-pasal penistaan agama dalam
undang-undang hukum pidana Indonesia semakin dipertanyakan.
APHR prihatin
masa depan Indonesia sebagai masyarakat yang terbuka dan toleran.
Beberapa
lembaga kajian dan pemerhati HAM di Indonesia juga menyampaikan keprihatinan
serupa terhadap penggunaan pasal penistaan agama dalam putusan pengadilan,
Selasa itu.
Ketua SETARA
Institute Hendardi, mengatakan, vonis dua tahun penjara terhadap Ahok merupakan
kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang tahun 1965-2017.
Ironisnya 89
kasus justru terjadi pasca reformasi tahun 1998, yang menunjukkan bahaya pasal
156a KUHP yang dinilai “bias dan multitafsir”.
Pernyataan
yang sama juga disampaikan LBH Jakarta, yang menyatakan putusan majelis hakim
itu “tidak berkeadilan dan telah merusak hakikat hukum dan dunia peradilan yang
menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan.”
Putusan itu
juga dinilai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yaitu kebebasan
berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dijamin konstitusi, UU No.39/1999
tentang HAM, UU No.9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum, dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah
diratifikasi dengan UU No.12/2005.
LBH Jakarta
mendesak pemerintah dan DPR meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang
saat ini sedang dalam pembahasan RUU KUHP di DPR, dan menghapus pasal yang
dinilai “anti-demokrasi” itu demi tegaknya hak asasi manusia dan kepastian
hukum di Indonesia.
Sumber: Kompas.com, 10 Mei 2017
Ket foto: Juru Bicara Deplu
AS Biro Asia Timur dan Pasifik Anna Richey-Allen.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!