Oleh Saurip
Kadi
Mayor Jenderal TNI (Purn);
Mantan Aster KSAD
MENDENGARKAN pidato Presiden Joko Widodo dalam temu
masyarakat Indonesia yang ada di Australia, 26 Februari 2017, telah membuka
mata hati dan pikiran kita bahwa slogan "kerja-kerja-kerja" sama
sekali bukanlah untuk pencitraan, apalagi "omdo" alias "omong
doang".
Dengan
semangat "kerja-kerja-kerja", sejumlah proyek yang berpuluh tahun
baru sebatas pada niat, akan, rencana, dan nanti, kini diwujudkan. Tanpa harus
banyak mendengar keberatan banyak pihak, APBN serta-merta dialihkan ke
infrastruktur.
Dalam tiga
tahun pemerintahan Presiden Jokowi, belasan ribu kilometer jalan negara dan
ribuan kilometer jalan tol telah dan sedang dibangun. Dalam hitungan maksimal
dua tahun ke depan, sejumlah pelabuhan udara dan laut, serta rel kereta api di
sejumlah wilayah di luar Jawa akan beroperasi. Pos-pos perbatasan telah
dibangun dengan megah, puluhan pembangkit listrik sedang dibangun secara merata
di semua wilayah negeri. Kini harga BBM di Papua disamakan, seperti yang
berlaku di wilayah lainnya, dan masih banyak prestasi lainnya yang selama ini
tidak terekspos di media massa.
Presiden
Jokowi sepertinya hendak mengatakan bahwa tanpa dibarengi kesamaan perlakuan
negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan fasilitas, infrastruktur, dan
pelayanan publik tidak sepatutnya kita menyebut sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pendek kata, Presiden Jokowi sedang mendefinisikan
ulang makna NKRI. Bukan hanya secara politik dan hukum, tetapi juga makna
kesamaan hak, manfaat keberadaan, dan perlakuan negara terhadap segenap anak
negeri, tanpa kecuali mereka yang tinggal di bagian wilayah yang mana pun.
Meski
demikian, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama: mengapa Presiden
Jokowi hanya mengutamakan infrastruktur, sementara warisan pendahulunya berupa
maraknya praktik mafia, premanisme, kriminalisasi, korupsi, dan sejenisnya
hingga kini terkesan dibiarkan begitu saja?
Alih-alih
menghentikannya, sekadar tanda-tanda perbaikan saja belum terwujud. Upaya
menuntaskan kasus megakorupsi yang terjadi di masa lalu juga seolah hanya
tanggung jawab KPK alias bukan pemerintahannya. Sejumlah capital violence serta
state terorisme juga masih terjadi di beberapa tempat.
Infrastruktur
sebagai unggulan
Kuatnya belenggu
sistem telah membuat presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam
pemilu tak berdaya untuk membentuk zaken kabinet. Sementara itu, figur yang
disodorkan oleh pimpinan partai-partai dan tim-tim suksesnya dalam pembentukan
dan dua kali perombakan kabinet sebagian besar justru figur yang belum keluar
dari pasungan masa lalu. Beberapa di antaranya nyata-nyata sebagai bagian dari
masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.
Memang, di
luar jajaran kabinet, di antara 240 juta warga negara nicaya banyak figur
berintegritas dan berkapasitas serta bukan bagian dari masalah masa lalu. Akan
tetapi, dipastikan mereka belum dikenali langsung oleh Presiden Jokowi.
Realitas bahwa Presiden Jokowi adalah pendatang baru dalam
"turbulensi" perpolitikan nasional kiranya bisa dipahami bersama.
Presiden
Jokowi juga banyak terkendala oleh kekacauan aturan main tata kelola kekuasaan
negara. Kita tahu, jangankan pada lingkungan kementerian sipil, di lingkungan
pemangku fungsi keamanan negara saja terjadi kekacauan rule of the law dan rule
of engagement. "Konflik" terbuka antara Panglima TNI dan Menteri
Pertahanan dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 6 Februari 2017 adalah
fakta. Program Bela Negara yang melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Nomor
3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara juga terus dilakukan.
Begitu pula
dalam menghadapi terorisme. Sebagai ancaman negara, semestinya dalam
memberantas, negara bisa mengerahkan semua kekuatan nasional nya, termasuk
tentaranya. Namun, UU terorisme membatasi terorisme hanya sebagai tindak pidana
semata sehingga untuk mengatasinya menjadi porsi Polri. Polisi kemudian
melakukan penyerbuan terhadap terduga teroris dengan senjata laras panjang,
layaknya tentara menghadapi "kombatan" di medan perang. Jatuhnya sejumlah
korban tak bersenjata pun tidak bisa dielakkan. Dan, semua pihak merasa tidak
ada yang salah karena memang semua yang mereka kerjakan sah secara hukum.
Dari kondisi
yang seperti itulah, maka menjadi sangat tepat kalau pilihan jatuh pada
infrastruktur sebagai program unggulan. Apalagi kemudian Presiden Jokowi
memberi atensi secara khusus sehingga secara terukur hasilnya segera dapat
dinikmati oleh segenap warga bangsa di wilayah mana pun. Karena itu, di luar
infrastruktur, masih perlu waktu yang panjang untuk menaklukkan segenap
"binatang buas" yang salah perlakuan malah akan menerkamnya.
Cara cerdas
sukseskan Nawacita
Dalam paruh
pertama masa pemerintahannya, kita tahu sejumlah menteri gagal paham dalam
menerjemahkan Nawacita. Boleh jadi mereka juga tidak tahu bahwa jiwa dan
semangat Nawacita salah satu sumbernya adalah tiga program unggulan (Trisakti)
Bung Karno, yaitu "retooling aparatur negara, redistribusi alat produksi,
dan penataan logistik nasional".
Karena itu, ke
depan, persoalan konsolidasi kekuasaan untuk membuat kabinet menjadi zaken —tak
peduli para menteri yang berasal dari partai sekalipun— menjadi sangat mendasar.
Perkuatan kementerian dan lembaga yang terkait dengan reformasi birokrasi,
hukum, agraria, dan semua urusan yang terkait langsung dengan rakyat banyak
perlu menjadi prioritas.
Kombinasi
pilihan strategi nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa bala tentara),
"membalik kura-kura" (mengubah paradigma), dan "memanfaatkan
tenaga lawan" agar tidak membuat gejolak politik apa pun —apalagi
"perang" dengan pihak mana pun— perlu dikedepankan.
Dengan
demikian, ke depan tidak terjadi lagi ruang publik yang kosong dan kemudian
dipakai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggelar
"gamelan", dan kemudian justru pemerintah sendiri sibuk menari di irama
kendang mereka.
Publik juga
mengharapkan Presiden Jokowi mengambil langkah dan upaya terukur untuk
mewujudkan makna revolusi mental, reformasi birokrasi, dan reformasi hukum yang
terus dikumandangkan. Juga langkah- langkah nyata yang konseptual dan komprehensif
tentang "reformasi agraria" yang dikombinasikan dengan upaya
swasembada pangan dan penyelamatan lingkungan hidup, serta penataan logistik
nasional sebagaimana tiga program unggulan yang dicanangkan Bung Karno tersebut
di atas.
Memang
mustahil dalam 2,5 tahun sisa pemerintahannya Presiden Jokowi mampu mewujudkan
secara sempurna kontrak sosial Nawacita-nya. Namun, setidaknya di akhir masa
kepemimpinannya, sebuah perubahan model dalam mewujudkan NKRI, sebagaimana yang
dimaksudkan di atas, melahirkan harapan baru dan sedikit banyak telah dirasakan
hasilnya.
Sumber: Kompas, 16 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!