HAMKA dikenal sebagai ulama besar di
Indonesia, sedangkan adiknya, Awka, adalah seorang pendeta di Amerika.
“Dia adalah adikku Abdul Wadud Karim
Amrullah. Di Amerika, dipakainya nama ala Barat, Willy Amrull,” demikian tulis
Buya Hamka dalam buku Empat Bulan di
Amerika (1953:45) yang menuturkan saat dirinya membantu sang adik mencari
pekerjaan di San Francisco pada 1952.
Abdul Wadud Karim Amrullah (Awka) adalah
saudara Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) seayah namun lain ibu. Seperti
penuturan Hamka, adiknya memang sudah memakai nama Willy Amrull agar mudah
bergaul dengan orang-orang di negeri Paman Sam. Nanti, 30 tahun kelak, nama itu
dikenal sebagai seorang pendeta. Ya, Pendeta Willy Amrull.
Kisah Hamka dan Awka
Awka “bertukar kiblat” pada 1983, dua tahun
setelah Hamka wafat. Sepanjang hidupnya, Hamka telah terpatri sebagai sosok
ulama besar yang gigih membela Islam dan sangat tegas dalam hal akidah, tanpa
kompromi.
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita
kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun!” tegas Hamka setelah
dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 (Artawijaya, Hidayatullah, 2 Juli 2013).
Hamka adalah Ketua MUI pertama, juga dikenal
sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah. Dirinyalah orang yang menetapkan
fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama. Pada 19 Mei 1981,
Hamka meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI karena merasa ditekan oleh
menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Ia memilih mundur
ketimbang harus menganulir fatwa tersebut.
Sembilan tahun sebelumnya, ketika Paus Paulus
VI berkunjung ke Indonesia pada Desember 1970, Hamka berkata tegas kepada Presiden
Soeharto bahwa ia menolak menghadiri pertemuan dengan pemimpin Vatikan
tersebut.
"Bagaimana saya bisa bersilaturahmi
sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras,
dimurtadkan oleh perintahnya?" tukasnya kala itu (Irfan Hamka, Ayah... Kisah Buya Hamka, 2013:253).
Dan nantinya, Awka, adik kesayangannya Buya
Hamka itu, menjadi seorang pendeta.
Melawat ke Barat
Awka dan sang kakak, Hamka, terlahir dari
keluarga yang keislamannya sangat kuat di ranah Minang. Ayah mereka, Muhammad
Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang ulama besar dan merupakan
salah satu orang Indonesia paling awal yang mendapat gelar doktor kehormatan
dari Universitas Al-Azhar Mesir, pencapaian yang kelak diraih pula oleh Hamka.
Ayahanda Hamka dan Awka juga seorang pejuang
nasional. Ketika sang ayah diasingkan ke Sukabumi, Jawa Barat, pada 8 Agustus
1941 lantaran dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, Awka turut
serta. Begitu pula saat ayahnya dipindah ke Jakarta seiring berkuasanya Jepang
ke Indonesia, Awka juga ikut. Sementara Hamka, yang 19 tahun lebih tua darinya,
sudah merantau ke mana-mana sejak usia belia.
Tanggal 2 Juni 1945, Haji Abdul Karim
Amrullah wafat di pangkuan Awka. “Saya mengucapkan kalimat syahadat sebagai
kata penghabisan dari saya untuk melepasnya (sang ayah),” tulis Awka dalam
otobiografinya, Dari Subuh Hingga Malam:
Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran (2011:32).
Beberapa tahun setelah sang ayah mangkat,
Awka bertekad berdiaspora ke mancanegara. Awal 1949, ia ikut kapal MS Willem
Ruys yang berangkat dari Tanjung Priok menuju Rotterdam. Awka bekerja sebagai
tukang binatu di kapal Belanda itu.
Setibanya di Belanda, Awka tidak menetap,
melainkan turut berlayar ke banyak tempat di belahan dunia lainnya. Dari
Amerika Selatan, kemudian ke Afrika, hingga akhirnya ia memutuskan untuk
tinggal di San Francisco, California, Amerika Serikat.
Di sinilah pada 1952 Awka dikunjungi oleh
sang kakak yang sudah cukup lama terpisah. Hamka sengaja datang ke Amerika
untuk membantu adiknya mencari pekerjaan dan akhirnya diterima di Indonesia
Supply Mission di New York kemudian di Konsulat RI yang berlokasi di San
Francisco.
Mengislamkan dan Dikristenkan
Awka —yang di negeri rantau memakai nama
Willy Amrull— sempat jatuh cinta pada seorang perempuan jelita bernama Sawitri.
Namun, kasihnya tak pernah sampai karena ayahanda sang pujaan hati, Ali
Sastroamijoyo yang tidak lain adalah Duta Besar RI untuk Amerika, tidak
merestui.
Usai patah hati, Awka kemudian menikah dengan
wanita asli Amerika yang usianya lebih tua darinya dan sudah memiliki 4 orang
anak, pada 1957. Namun, perkawinan ini hanya 5 tahun saja bertahan.
Di Amerika Serikat, Willy Amrull menyibukkan diri dengan menggagas Ikatan
Masyarakat Indonesia (IM) di California pada 1962 selain aktif pula dalam
kegiatan Islamic Center di Los Angeles.
Tahun 1970, Awka kawin lagi. Kali ini dengan
seorang gadis blasteran Amerika-Indonesia, Vera Ellen George, yang bersedia
masuk Islam demi menjalani bahtera rumah tangga dengan Awka. Mereka dikaruniai
tiga orang anak, yaitu Rehana Soetidja dan Sutan Ibrahim yang lahir di Amerika,
serta Siti Hindun yang lahir belakangan di Bali.
Awka memang memboyong keluarganya ke
Indonesia pada 1977. Namun, ia tak pulang ke kampung halamannya di Maninjau,
Sumatera Barat, melainkan ke Pulau Dewata tempat di mana Awka saat itu bekerja.
Dari sinilah prahara itu dimulai. Vera ingin kembali memeluk agama asalnya,
Kristen. Awka pun diajaknya serta.
Semula Awka menolak mentah-mentah karena
latar belakang keislamannya yang sangat kuat. Namun, akhirnya ia luluh demi
keutuhan rumah tangga dan ketiga buah hati mereka. Tahun 1981, Awka sekeluarga
pindah ke Jakarta, dan tiga tahun berselang, ia dibaptis oleh Pendeta Gerard
Pinkston di Kebayoran Baru (Willy Amrull, 2013:141).
Di tahun yang sama, 1983, Awka kembali ke
Amerika Serikat. Tak lama kemudian, ia ditetapkan sebagai pendeta oleh Gereja
Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak saat itu, Awka dikenal
dengan nama Pendeta Willy Amrull.
Sebagai seorang pendeta, salah satu kewajiban utama Willy Amrull adalah menyebarkan ajaran agamanya. Dan misi itulah yang didapat Willy dari lembaga misionaris Kristen di Amerika. Pada 1996, ia ditugaskan untuk melakukan syiar agama di kampung halamannya, Sumatera Barat.
Tentunya Awka alias Willy tidak langsung
memperkenalkan diri sebagai misionaris. Mula-mula, ia mengaku sebagai pengusaha
dan bekerja untuk Kedutaan RI di Amerika Serikat. Willy memakai nama samaran
Badru Amrullah.
Misinya berjalan lancar berkat Yanuardi Koto,
Ketua Persekutuan Kristen Sumatera Barat (PKSB), yang berasal dari Lubuk Basung
(Bakhtiar, Ranah Minang di Tengah Cengkeraman
Kristenisasi, 2009:153). Yanuardi Koto juga seorang pendeta Gereja
Protestan Indonesia Barat (Majalah Gamma,
1999:63).
Oleh Yanuardi Koto, Willy diangkat sebagai
pembina PKSB dan mereka berhasil merekrut anak-anak muda Minang, terutama dari
kalangan ekonomi lemah, untuk dikristenkan —kegiatan yang membikin Buya Hamka
menolak bertemu Paus Paulus VI pada 1970.
Awka atau Pendeta Willy Amrull menyebut
proses pengkristenan tersebut dengan istilah “pemuridan”. Ia menjelaskan cukup
lengkap tentang berbagai tekniknya dalam buku otobiografinya (Willy Amrull,
2013:190).
Tahun 1998, Yanuardi Koto tersangkut kasus.
Ia dituding terlibat dalam perkara penculikan gadis 17 tahun bernama Khairiah
Enniswah (Wawah). Beberapa sumber menyebut siswi Madrasah Aliyah Negeri 2
Padang ini dijebak dan dikristenkan secara paksa, termasuk dalam buku karya
Deliar Noer, Islam & Politik (2003:154).
Nama Pendeta Willy Amrull juga
disangkut-pautkan dalam peristiwa itu. Namun, hingga kasusnya disidangkan di
Padang, keberadaan Willy tidak diketahui. Ia rupanya sudah kembali ke Amerika.
Willy mencurigai bahwa perkara Wawah sengaja
digunakan untuk menjebaknya, sehingga ia buru-buru menghilangkan jejak. Sebagai
klarifikasi, ia menghubungi sejumlah instansi internasional kendati babak
akhirnya tetap saja mengambang.
Sejak terjadinya kasus Wawah di tanah
kelahirannya itu, Pendeta Willy Amrull atau Abdul Wadud Karim Amrullah alias
Awka tidak pernah pulang lagi ke Indonesia hingga meninggal dunia di California
pada 25 Maret 2012, tepat 5 tahun yang lalu. (Iswara N Raditya)
Sumber: tirto.id, 25 Maret, 2017
Ket foto: Pendeta Willy Amrull atau Abdul
Wadud Karim Amrullah
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!