Oleh Thomas Tokan Pureklolon
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
AGENDA reformasi di negeri ini, membutuhkan bukan saja masyarakat yang semakin mengerti status civil dan civic mereka, tetapi negara yang sanggup mengawal demokrasi. Sistem politik yang telah dibangun melalui perangkat konstitusi, aturan hukum, dan institusi negara seharusnya difungsikan dan ditegakkan. Kontrol dan koreksi kritis (critical thinking) harus pula terus berlangsung evolutif seiring dengan praksis demokrasi itu. Sementara problematik struktural berkenaan dengan etos dan mentalitas bangsa harus mendapat perhatian serius. Kita tidak bisa berdiam diri sebagai bangsa tanpa identitas kebangsaan dan prestasi. Rakyat kerap kali diposisikan oleh negara sebagai tidak siap dalam berdemokrasi. Namun sebaliknya, rakyat sering melihat elit negara berperilaku menghambat demokrasi. Persoalan demokrasi bukan perkara satu sisi negara atau masyarakat, tetapi persoalan baik negara dan masyarakat. Demokrasi menghendaki relasi masyarakat dan negara dibangun di atas bahasa kebebasan dan kemungkinan risiko ditanggung bersama. Masyarakat yang tanggap dan negara yang tahu diri dalam sebuah pola yang saling terlibat dan bertanggung-jawab.
Yang diharapkan dalam akhir dari aktivitas berdemokrasi, (maksud saya adalah demokrasi sebagai tujuan) adalah untuk kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat. Dengan kata lain demokrasi sebagai tujuan adalah untuk mencapai kematangan dan kedewasaan yang sebetulnya lanjutan dari demokrasi sebagai proses. Kekuatan sebuah demokrasi sebetulnya adalah untuk mengadvokasi aspirasi politik rakyat bawah. Peran politik gerakan masyarakat dalam melaksanakan demokrasi secara efektif, ketika otoritas negara gagal merealisasikan janji-janjinya, akibat kegagalan negara dalam memerangi budaya korupsi, mengelola urusan publik dan meredistribusi pendapatan secara merata, dan mampu membangun budaya kewargaan (citizenship culture) di masyarakat.
Demokrasi dan nilai-nilainya
Demokrasi dalam terminologi filsafat bersifat paradoks, sedangkan dalam istilah ilmu politik bersifat dilematis. Demokrasi itu kuat tapi lemah, berdaulat tapi tidak berdaulat, karena itu dilematis, demikian tulis Robert A. Dahl, Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control, Yale Studies in Political Science); dan yang bisa menaklukan hal tersebut adalah etika politik. Dalam demokrasi terdapat sebuah tantangan berat untuk mendirikan sebuah masyarakat yang sistem pemerintahannya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dalam argumentasi Abraham Lincoln. Itulah cita-cita ideal demokrasi yang dianggap lepas dari segala kelemahannya. Demokrasi merupakan bentuk tata politik paling baik yang pernah dibuat oleh manusia. Tantangan untuk mewujudkan ideal tersebut kini semakin berat, atau tidak mudah terutama jika kita mengikuti perkembangan situasi di Indonesia yang terus berusaha menerapkan sistem demokrasi.
Elit politik yang menang dalam pemilihan umum misalnya, dipersilakan untuk membangun pemerintahan. Yang perlu digarisbawahi dalam membangun sistem pemerintahan adalah menguatnya gejala fundamentalisme di dalam agama, dan politik turut terseret secara eksplisit dalam menetapkan kebijakan yang berlaku. Di sinilah sosok demokrasi yang sesungguhnya disalahartikan, bahwa di dalam demokrasi, kelompok politik pemenang bisa seenaknya membuat hukum (the winner gets everything), termasuk hukum yang diskriminatif sifatnya terhadap kelompok yang kalah dalam pemilu. Di sini terciptalah apa yang disebut Muller (Muller Johannes, 1997) sebagai demokrasi hibrida, yakni institusi demokratis yang lahir dari pemilu yang demokratis, namun memiliki ciri yang otoriter dan diskriminatif-menindas; selanjudnya bisa berkembang ke “sistem politik otoriter mulai tampak menjadi sesuatu yang lebih baik, terutama ketika sistem itu memastikan keamanan public dan pelayan-pelayan masyarakat yang dasar”.
Paradoksnya demokrasi di Indonesia dalam pengertian seperti terganbar di atas diharapkan segeralah berakhir agar tidak terjadi kekecewaan dan patah hati dari para pengikutnya. Dengan kata lain, mulailah menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya ala Indonesia yang bercermim pada tiga nilai dasar dari hukum itu sendiri yang terjadi di Indonesia yakni kesamaan, kebebasan dan solidaritas. Demokrasi Indonesia haruslah segera menunjukan eksistensinya yang berpusat pada manusia Indonesia yang walaupun penuh dengan segala kerumitan dan kebutuhannya, namun tetap dilihat sebagai pusat dari sistem demokrasi yang ideal; demokrasi selalu bertumpuh pada rakyat (manusia).
Demokrasi sebagai proses politik
Bangsa yang telah diterpa oleh berbagai tantangan yang terus menghadang dari sekian banyak fakta hukum yang ditemukan terus terseret dalam proses politik; di mana dua premis ini bagi saya adalah sangat berbeda yakni antara fakta hukum dan proses politik. Fakta hukum adalah temuan awal dari pihak pengadilan yang terus dikembangkan secara sejati dalam rana hukum sesuai jalur yang sebenarnya, sampai pada akhirnya disebut hukum sebagai panglima; Bukannya terus diseret ke proses politik yang selalu penuh dengan intrik-intrik yang tak ada ujungnya dan tak ada pangkalnya. Dalam proses politik, problem baru pun akan segera bermunculan secara terhambur seperti layaknya “sosok sebuah proses politik” jika dua pendekatan ini ditumpang-tindikan (overlapping). Di sinilah terjadi peralihan fungsi “politik menjadi panglima” dalam sebuah rana yang sungguh-sungguh sangat berbeda. Eksistensi demokrasi dalam tatanan politik ini, terus diseret sampai tidak berdaya dan tetap terus teraniaya dan segera menemukan ajalnya yakni quase demokrasi. Quase demokrasi adalah raport merah atau nilai terjelek berdemokrasi dalam sebuah proses perpolitikan. Perlu digarisbawahi bahwa fakta hukum sangat berbeda dengan proses politik yang berjalan kapan saja.
Dengan memperhatikan fenomena seperti tergambar di atas maka roh demokrasi yang adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sekali lagi teruji. Semua kepemimpinan politis datang dari rakyat. Seluruh kinerja kepemimpinan pun terus dipantau oleh rakyat, dan semunya bertujuan untuk manusia bisa hidup (vivere) dan untuk kepentingan bersama (bonum commune). Rakyat dalam hal ini adalah semua orang (manusia) yang kini berada di wilayah politis tertentu, tanpa kecuali. Rakyat butuh hidup baik (bene vivere). Begitu…!
Yang diharapkan dalam akhir dari aktivitas berdemokrasi, (maksud saya adalah demokrasi sebagai tujuan) adalah untuk kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat. Dengan kata lain demokrasi sebagai tujuan adalah untuk mencapai kematangan dan kedewasaan yang sebetulnya lanjutan dari demokrasi sebagai proses. Kekuatan sebuah demokrasi sebetulnya adalah untuk mengadvokasi aspirasi politik rakyat bawah. Peran politik gerakan masyarakat dalam melaksanakan demokrasi secara efektif, ketika otoritas negara gagal merealisasikan janji-janjinya, akibat kegagalan negara dalam memerangi budaya korupsi, mengelola urusan publik dan meredistribusi pendapatan secara merata, dan mampu membangun budaya kewargaan (citizenship culture) di masyarakat.
Demokrasi dan nilai-nilainya
Demokrasi dalam terminologi filsafat bersifat paradoks, sedangkan dalam istilah ilmu politik bersifat dilematis. Demokrasi itu kuat tapi lemah, berdaulat tapi tidak berdaulat, karena itu dilematis, demikian tulis Robert A. Dahl, Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control, Yale Studies in Political Science); dan yang bisa menaklukan hal tersebut adalah etika politik. Dalam demokrasi terdapat sebuah tantangan berat untuk mendirikan sebuah masyarakat yang sistem pemerintahannya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dalam argumentasi Abraham Lincoln. Itulah cita-cita ideal demokrasi yang dianggap lepas dari segala kelemahannya. Demokrasi merupakan bentuk tata politik paling baik yang pernah dibuat oleh manusia. Tantangan untuk mewujudkan ideal tersebut kini semakin berat, atau tidak mudah terutama jika kita mengikuti perkembangan situasi di Indonesia yang terus berusaha menerapkan sistem demokrasi.
Elit politik yang menang dalam pemilihan umum misalnya, dipersilakan untuk membangun pemerintahan. Yang perlu digarisbawahi dalam membangun sistem pemerintahan adalah menguatnya gejala fundamentalisme di dalam agama, dan politik turut terseret secara eksplisit dalam menetapkan kebijakan yang berlaku. Di sinilah sosok demokrasi yang sesungguhnya disalahartikan, bahwa di dalam demokrasi, kelompok politik pemenang bisa seenaknya membuat hukum (the winner gets everything), termasuk hukum yang diskriminatif sifatnya terhadap kelompok yang kalah dalam pemilu. Di sini terciptalah apa yang disebut Muller (Muller Johannes, 1997) sebagai demokrasi hibrida, yakni institusi demokratis yang lahir dari pemilu yang demokratis, namun memiliki ciri yang otoriter dan diskriminatif-menindas; selanjudnya bisa berkembang ke “sistem politik otoriter mulai tampak menjadi sesuatu yang lebih baik, terutama ketika sistem itu memastikan keamanan public dan pelayan-pelayan masyarakat yang dasar”.
Paradoksnya demokrasi di Indonesia dalam pengertian seperti terganbar di atas diharapkan segeralah berakhir agar tidak terjadi kekecewaan dan patah hati dari para pengikutnya. Dengan kata lain, mulailah menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya ala Indonesia yang bercermim pada tiga nilai dasar dari hukum itu sendiri yang terjadi di Indonesia yakni kesamaan, kebebasan dan solidaritas. Demokrasi Indonesia haruslah segera menunjukan eksistensinya yang berpusat pada manusia Indonesia yang walaupun penuh dengan segala kerumitan dan kebutuhannya, namun tetap dilihat sebagai pusat dari sistem demokrasi yang ideal; demokrasi selalu bertumpuh pada rakyat (manusia).
Demokrasi sebagai proses politik
Bangsa yang telah diterpa oleh berbagai tantangan yang terus menghadang dari sekian banyak fakta hukum yang ditemukan terus terseret dalam proses politik; di mana dua premis ini bagi saya adalah sangat berbeda yakni antara fakta hukum dan proses politik. Fakta hukum adalah temuan awal dari pihak pengadilan yang terus dikembangkan secara sejati dalam rana hukum sesuai jalur yang sebenarnya, sampai pada akhirnya disebut hukum sebagai panglima; Bukannya terus diseret ke proses politik yang selalu penuh dengan intrik-intrik yang tak ada ujungnya dan tak ada pangkalnya. Dalam proses politik, problem baru pun akan segera bermunculan secara terhambur seperti layaknya “sosok sebuah proses politik” jika dua pendekatan ini ditumpang-tindikan (overlapping). Di sinilah terjadi peralihan fungsi “politik menjadi panglima” dalam sebuah rana yang sungguh-sungguh sangat berbeda. Eksistensi demokrasi dalam tatanan politik ini, terus diseret sampai tidak berdaya dan tetap terus teraniaya dan segera menemukan ajalnya yakni quase demokrasi. Quase demokrasi adalah raport merah atau nilai terjelek berdemokrasi dalam sebuah proses perpolitikan. Perlu digarisbawahi bahwa fakta hukum sangat berbeda dengan proses politik yang berjalan kapan saja.
Dengan memperhatikan fenomena seperti tergambar di atas maka roh demokrasi yang adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sekali lagi teruji. Semua kepemimpinan politis datang dari rakyat. Seluruh kinerja kepemimpinan pun terus dipantau oleh rakyat, dan semunya bertujuan untuk manusia bisa hidup (vivere) dan untuk kepentingan bersama (bonum commune). Rakyat dalam hal ini adalah semua orang (manusia) yang kini berada di wilayah politis tertentu, tanpa kecuali. Rakyat butuh hidup baik (bene vivere). Begitu…!
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!