Oleh Moh Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013
"PEMERINTAH
tidak boleh menjatuhkan sanksi sebelum ada putusan pengadilan bahwa seseorang
atau organisasi benar-benar bersalah. Kalau itu dilakukan berarti pemerintah
melakukan tindakan melanggar hukum, menyalahgunakan kekuasaan, dan bertindak
sewenang-wenang".
Pernyataan itu
menjadi bagian dari polemik panas di tengah-tengah masyarakat terkait dengan
Undang-Undang (UU) Ormas yang kemudian agak mengacaukan pemahaman masyarakat
tentang asas-asas hukum. Polemik terjadi sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang kemudian
disusul pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan perppu yang
sekarang sudah disetujui menjadi UU Ormas.
Mengacaukan asas
hukum
Banyak yang
mengatakan berdasar asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) pemerintah tidak bisa menjatuhkan sanksi atau menghukum sebelum
subyek hukum yang bersangkutan diajukan ke (dan diputus bersalah oleh) pengadilan.
Akan tetapi, pihak pemerintah dan beberapa ahli hukum lain mengatakan,
berdasarkan asas contrarius actus boleh saja pemerintah menjatuhkan sanksi
administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan lebih dulu.
Atas pernyataan
tentang asas contrarius actus, ada yang membantahnya lagi disertai contoh
tentang akta nikah. Dikatakan, sungguh berbahaya kalau mengikuti asas
contrarius actus karena ia bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan. Kemudian ada yang mencontohkan bahayanya asas tersebut
dengan menyebut kemungkinan terjadinya pemerintah secara sepihak mencabut akta
nikah yang telah dimiliki oleh sepasang suami-istri. "Bahaya kalau itu
dilakukan oleh pemerintah. Jadi harus lewat vonis pengadilan dulu,"
demikian argumennya.
Dalam catatan saya
silang pendapat seperti itu terjadi karena banyak orang yang mengacaukan
pemahaman atas asas-asas hukum. Dalam konteks UU Ormas, misalnya, telah
dikacaukan pemahaman atas asas legalitas, asas praduga tak bersalah, asas
contrarius actus, dan asas konsesual. Benar bahwa berdasarkan asas legalitas
setiap tindakan pemerintah ataupun warga masyarakat harus berdasarkan UU yang
ada lebih dahulu. Berdasarkan asas legalitas seseorang atau badan hukum
(organisasi) tidak boleh dijatuhi sanksi atau dihukum tanpa ada UU yang
mengaturnya lebih dahulu.
Dari pengertian itu
sebenarnya asas legalitas tidak berbicara, apakah penjatuhan sanksi bisa
dilakukan sebelum atau sesudah ada vonis pengadilan. Asas legalitas hanya
menegaskan bahwa setiap tindakan, baik dilakukan pemerintah maupun oleh warga
masyarakat, harus berdasarkan aturan hukum yang ada lebih dulu. Adapun masalah
soal waktu dan cara penjatuhan sanksinya tergantung pada bidang hukumnya sebab
setiap bidang hukum asasnya bisa berbeda-beda. Asas-asas hukum pidana, hukum
administrasi negara, perdata, dan lain-lain itu tidaklah selalu sama.
Kalau di dalam
hukum pidana berlaku asas praduga tak bersalah yang menentukan bahwa seseorang
tak bisa dijatuhi sanksi atau dihukum sebelum diputus oleh pengadilan bahwa
yang bersangkutan bersalah. Asas praduga tak bersalah tak boleh diartikan bahwa
kita tidak boleh menduga atau membahas dan mendiskusikan di media massa bahkan
menyimpulkan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan. Itu boleh saja
dilakukan. Nyatanya, aparat penegak hukum juga memproses pidana melalui dugaan
(terduga) kemudian sangkaan (tersangka) dan seterusnya.
Asas praduga tak
bersalah mempunyai arti tertentu, yakni seseorang tak boleh dirampas hak-haknya
sebagai sanksi pidana sebelum ada putusan pengadilan. Misalnya, yang
bersangkutan tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya tak boleh dirampas
(tapi boleh disita), pengurungannya tidak disebut dipenjarakan (tetapi
ditahan), hak gajinya tidak boleh dicabut (tapi ditangguhkan), dan sebagainya.
Kalau mendiskusikan dan menduga, menyangka, dan menyimpulkan secara sosial
bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu boleh saja, bukan melanggar
asas praduga tak bersalah.
Beda bidang, beda
asas
Di dalam hukum
administrasi negara asas yang berlaku berbeda lagi, yakni, asas contrarius actus
yang berarti sebuah keputusan administrasi, seperti izin usaha, pengangkatan
pegawai, dan sebagainya hanya boleh dicabut oleh pejabat atau instansi yang
mengeluarkannya. Kalau yang mengeluarkan keputusan itu Menteri Hukum dan HAM,
yang boleh mencabutnya juga Menteri Hukum dan HAM. Di dalam hukum administrasi
negara tidak ada keharusan bahwa pencabutan sebuah keputusan sebagai sanksi itu
harus menunggu putusan pengadilan lebih dahulu.
Bahkan, dapat
dikatakan, dalam hukum administrasi negara kita, hampir semua pencabutan
keputusan sebagai sanksi dijatuhkan lebih dahulu sebelum ada putusan
pengadilan. Jika yang dijatuhi sanksi merasa dirugikan haknya barulah yang
bersangkutan bisa menggugat pejabat atau pemerintah ke pengadilan. Makanya kita
mempunyai Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga disebut sebagai
Peradilan Administrasi Negara, yakni lembaga peradilan yang berwenang mengadili
keputusan, termasuk sanksi, yang telah ditetapkan lebih dahulu oleh
badan/pejabat tata usaha negara.
Dalam hal ini bisa
disebut banyak contoh, misalnya, pencabutan izin usaha hiburan, pencabutan izin
pengelolaan hutan, pencabutan izin pertambangan. Itu bisa dilakukan tanpa harus
ada putusan pengadilan lebih dahulu. Pencabutan keputusan tentang status badan
hukum ormas berdasar Perppu No 2/2017 yang sekarang sudah disahkan menjadi UU
termasuk dalam pengertian ini. Memang dalam hal tertentu yang ditentukan khusus
oleh Konstitusi dan UU asas contrarius actus ini tak berlaku, misalnya,
pembubaran parpol yang hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Asas yang berlaku
di dalam hukum perdata berbeda lagi. Bidang hukum perdata tidak mengenal asas
praduga tak bersalah ataucontrarius actus. Di dalam hukum perdata yang berlaku
adalah asas konsensual atau kesepakatan dan kesukarelaan antarpihak. Di dalam
asas ini berlaku bahwa keputusan tentang ikatan keperdataan yang dibuat dan
diperoleh secara sah berlaku sebagai UU dan mengikat selama pihak-pihak yang bersangkutan
tidak mengakhiri atau membatalkannya secara sepakat.Kalau salah satu pihak
merasa dirugikan dan ingin membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain,
masalahnya harus diputus oleh pengadilan yang bisa juga atas kesepakatan,
diselesaikan melalui arbitrase.
Dalam hukum perdata
aparat penegak hukum atau pemerintah tak boleh mengambil tindakan selama
pihak-pihak yang bersangkutan tak memerkarakannya. Dalam konteks inilah kita
harus memahami, pernikahan yang merupakan perikatan atau perjanjian dalam hukum
perdata yang dituangkan dalam "akta nikah" yang dikeluarkan
pemerintah hanya bisa dicabut atau dibatalkan atas permintaan salah satu pihak
melalui putusan pengadilan lebih dulu, tak boleh dicabut secara sepihak oleh
pemerintah. Alhasil, beda bidang hukum, ya, beda asas. Jangan dikacaukan.
Sumber:
Kompas, 11 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!