Oleh Azyumardi Azra
Guru Besar Fakultas Adab &
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang
menetapkan pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama KTP dipandang
banyak kalangan advokasi HAM dan kerukunan umat beragama dan berkeyakinan
sebagai historis dan landmark. Keputusan MK ini bisa mengakhiri pengalaman
buruk penghayat kepercayaan yang sering mendapat perlakuan diskriminatif dan
tidak adil terkait pelayanan dari negara. Perlakuan diskriminatif itu
menyangkut administrasi kependudukan mencakup penolakan pencantuman penghayat
kepercayaan dalam kolom agama di KTP.
Mereka kesulitan
dalam pendaftaran perkawinan, penerbitan akta kelahiran, dan pendidikan anak
mereka. Selain itu, mereka mendapat kesulitan mendirikan tempat melakukan
penghayatan kepercayaan secara komunal. Dalam beberapa kasus, mereka juga sulit
mendapatkan lahan untuk penguburan di tempat pemakaman umum.
MK menghapuskan
diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan dalam administrasi kependudukan
yang lazim mengimbas ke berbagai aspek kehidupan lain. MK menerima keseluruhan
permohonan uji material Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. UU No 23/2006 telah diubah dengan UU No 24/2013, tetapi pasal dan
ayat yang jadi sumber masalah tetap bertahan sehingga digugat sejumlah kelompok
aliran kepercayaan ke MK.
Dalam keputusannya,
MK menyatakan, kata "agama" dalam UU Adminduk Pasal 61 Ayat 1 dan
Pasal 64 Ayat 22 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2. Pasal 29 UUD
1945 menyatakan, "negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk
agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu". Menurut MK, kata "agama" bertentangan dengan UUD dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak mencakup
"kepercayaan". Dengan kata lain, kepercayaan punya kedudukan hukum
sama dengan agama.
Pada pihak lain,
ada kalangan penganut agama arus utama (mainstream) yang menilai keputusan MK
itu mengacaukan distingsi dan perbedaan di antara agama dan aliran keper-
cayaan. Bagi kalangan ini, aliran kepercayaan bukan agama karena tidak cocok
dengan definisi konvensional tentang agama. Karena itu, bagi mereka, agama
tidak setara dengan aliran kepercayaan. Keputusan MK, langsung ataupun tidak
langsung, menempatkan aliran kepercayaan sejajar dengan agama.
Dalam definisi
konvensional, agama memiliki beberapa kriteria, sejak dari ada nabi pembawanya,
ada kitab suci dan ajarannya, lengkap dengan ibadah dan ritualnya. Dalam
perspektif ini, aliran kepercayaan tidak termasuk dalam kategori agama. Meski
agama —khususnya bersifat universal, melintasi batas wilayah, etnis dan bangsa,
dan negara— jelas berbeda dengan aliran kepercayaan yang umumnya bersifat lokal,
juga ada komonalitas dan afinitas di antara kedua entitas ini. Agama dan aliran
kepercayaan sama-sama bertujuan meningkatkan spiritualitas penganut atau
penghayatnya.
Dalam perspektif
ini, sepatutnya umat beragama arus utama menghargai penghayat ke- percayaan,
saat sama juga memperlakukan mereka sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan untuk
mencapai ketinggian spiritual dan moral. Umat beragama arus utama tidak perlu
merasa terancam dengan pengakuan komunitas penghayat kepercayaan. Sebaliknya,
mereka dapat dijadikan mitra membangun manusia Indonesia yang kuat secara
spiritual-moral. Semua komunitas umat beragama arus utama dapat lebih
sungguh-sungguh membina umat masing-masing.
Seberapa besar
jumlah komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia? Menurut data Direktorat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kemdikbud, pada 2017 ada 187 kelompok
komunitas penghayat kepercayaan di tingkat pusat dengan 1.034 cabang di
sejumlah daerah Indonesia. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 12 juta orang.
Dengan jumlah
penghayat sebanyak itu, apakah keputusan MK mengakibatkan penggerusan jumlah
penganut agama arus utama? Dalam pandangan politik demografi keagamaan umat
beragama, hal ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Inilah alasan lain
kalangan umat beragama arus utama mempertanyakan keputusan MK.
Dalam banyak
literatur dan pembicaraan pada konferensi tingkat nasional dan internasional,
kehidupan beragama Indonesia sering mendapat pujian. Hal ini karena Pancasila
mengakui dan memberi tempat terhormat pada agama dalam sila pertamanya,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, pada saat sama, mereka mempertanyakan dan
mengkritik perlakuan diskriminatif terhadap perlakuan yang tidak sama dari
negara terhadap umat beragama atau berkeyakinan berbeda.
Indonesia yang
tidak berdasarkan agama tertentu justru menjadikan enam agama sebagai
"agama yang diakui negara" atas dasar UU PNPS No 1/1965. Keenam agama
itu adalah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sejauh ini hanya umat enam agama yang diakui negara (state-recognized
religions) yang mendapat pelayanan dari negara lewat Kementerian Agama. Di luar
keenam agama itu, ada agama lain, semacam Baha'i, Yahudi, atau Sikh.
Keputusan MK
mengandung amar implisit bagi penganut agama-agama ini. Keputusan MK patut
disikapi secara bijak. Apalagi soal keimanan, keyakinan, dan kepercayaan
merupakan pilihan personal secara bebas dan juga terkait dengan hidayah
(blessing). Karena itulah, diskriminasi terkait umat beragama dan berkeyakinan
dalam bentuk apa pun mesti dihapuskan.
Sumber: Kompas, 14 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!