Oleh Ferdy Hasiman
Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
PEMERINTAH pusat melalui Kementerian Keuangan dan Kemen- terian ESDM sepakat
memberikan 10 persen saham PT Freeport Indonesia dari 51 persen saham yang akan
didivestasikan ke pihak nasional kepada pemerintah daerah Papua. Dari 10
persen saham itu, 5 persen untuk pemerintahan provinsi dan 5 persen untuk
Pemerintah Kabupaten Mimika (daerah operasi Freeport).
Mekanisme pembelian
saham Freeport dilakukan tanpa harus membebani APBD, tetapi melalui mekanisme
korporasi dengan cara membentuk perusahaan daerah (BUMD). BUMD kemudian bekerja
sama dengan perusahaan BUMN, seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Dengan pemberian 10
persen saham ke pemda Papua, maka saham Freeport yang harus didivestasikan
tersisa 30,64 persen karena pemerintah telah mengantongi 9,34 persen saham
Freeport. Sisa saham sebesar 30,64 persen itu menurut rencana akan diakuisisi
konsorsium BUMN yang dipimpin PT Inalum. Meskipun demikian, renegosiasi kontrak
terkait divestasi saham bukan berarti sudah tuntas.
Proses divestasi
saat ini sudah di bawah kendali Kementerian Keuangan terkait urusan teknis
valuasi dan harga saham. Proses divestasi masih menemukan jalan buntu karena
pemerintah harus membeli 40 persen saham Rio Tinto di Freeport dan ada masalah
perbedaan harga. Jikapun proses divestasi 51 persen saham tuntas, Freeport
tetap mengendalikan operasi tambang Grasberg. Porsi 49 persen saham sudah cukup
bagi Freeport mengendalikan operasi tambang Grasberg.
Bukan sekadar saham
Pemberian saham
kepada pemda Papua memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU No 4/2009 tentang
Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah pusat memiliki first right
mengakuisisi saham Freeport. Jika pemerintah pusat tak menggunakan kesempatan
ini, penawaran akan diserahkan ke pemda atau swasta nasional melalui lelang.
Prosedur dan mekanisme pemberian saham secara berjenjang ke pemerintah pusat
dan pemda itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2012 yang
direvisi menjadi PP No 01/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Perintah UU No 4/2009 inilah yang membuat Pemprov Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Bakrie Group mendapat 24 persen saham Newmont Nusa
Tenggara (sekarang Amman Mineral).
Pemberian saham
kepada pemda Papua bukan sekadar proyek menenangkan hati orang Papua. Bukan
juga untuk meredam gejolak dan gelombang protes orang Papua terhadap pemerintah
pusat. Pemberian saham kepada Papua lebih terkait penghargaan terhadap martabat
dan harga diri orang Papua. Freeport sudah masuk ke tambang Grasberg sejak 1967
setelah Presiden Soeharto mengesahkan UU No 11/1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan menandatangani Perjanjian Kontrak Karya (KK). KK mencederai
konstitusi UUD 1945 karena meletakkan negara sejajar dengan korporasi.
Risikonya, pertambangan strategis itu gagal mengangkat kesejahteraan rakyat dan
posisi negara tergerus hanya sebatas menjaga kontrak.
Bagi warga Papua,
KK Freeport yang ditandatangani 1967 itu cacat sejak lahir. Cacat, karena yang
berkontrak dalam KK pemerintah pusat dan Freeport, bukan warga Papua (Amungme
dan Kamoro), pemilik hak ulayat lahan pertambangan. Warga Papua tak pernah
terlibat perjanjian. Negara seharusnya perlu berdialog dulu dengan warga
sebelum mengikat kontrak. Namun, warga Papua merasa tak pernah berkomunikasi
dengan pemerintah dan Freeport dalam KK. Selain itu, masuk ke lahan hak ulayat
dan tanah warga harus melalui izin pemilik tanah, jangan sampai Anda dicap
pencuri.
Buktinya, warga
Amungme-Papua tak pernah diberitahukan soal investasi tambang. Mereka
terkaget-kaget ketika mesin-mesin raksasa menggerus hak ulayat masyarakat adat,
merusak lingkungan, dan mencemari Sungai Wanagon yang dianggap keramat dalam
budaya orang Amungsal. Warga kemudian melakukan protes. Namun, kesadaran mereka
datang terlambat karena Freeport dan pemerintah sudah mengikat kontrak lebih
awal. Untuk mengakomodasi protes warga, pemerintah pusat sepakat membuat
January Agreement tahun 1971, yang berisi perjanjian antara Freeport dan
masyarakat adat Amungme untuk menghormati hak-hak masyarakat adat. Namun,
perjanjian itu hanya formalitas belaka. Keberadaan Freeport masih menorehkan
luka bagi Papua.
Pelanggaran HAM di
sekitar area tambang kerap terjadi, ditambah lagi kerusakan lingkungan dan
deforestasi. Warga Papua menganggap sejarah Freeport adalah sejarah penindasan
dan eksploitasi. Sejarah suku Amungme adalah sejarah orang-orang kalah. Sejak
membuka tambang Erstberg, warga suku Amugme dipindahkan secara paksa ke luar
dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Warga Komoro dan
Amungme harus minggir ke kawasan Mimika dan Puncak Jaya dengan berbagai tekanan
politik dan militer. Warga Amungme di sekitar Puncak Jayawijaya memang mendapat
permukiman dan perkebunan dari Freeport, tetapi mereka tetap pulang kampung dan
tinggal di sekitar areal pertambangan, seperti Kampung Banti, Waa, dan Aroanop
di aliran Sungai Wanagon.
Mereka mengimani
tanah layaknya figur ibu yang merawat, mendidik, dan membesarkan. Namun, sejak
Freeport beroperasi, Sungai Wanagon menjadi tempat pembuangan limbah tambang.
Tak mengherankan,
jika warga Papua menganggap Freeport Indonesia (FI) sebagai imperialisme baru
di Papua. Pemerintah dianggap kaki tangan korporasi. Pemerintah ikut
memfasilitasi kerusakan lingkungan hidup, deforestasi, dan pelanggaran HAM oleh
Freeport hanya untuk meningkatkan penerimaan negara. Penerimaan negara dari
Freeport memang tinggi. FI membayar pajak 421 juta dollar AS dan royalti 118
juta dollar AS tahun 2014. Tahun 2015, Freeport membayar 109 juta dollar AS
kewajiban ekspor dan 114 juta dollar AS royalti. Itu sudah menunjukkan
pemerintah pusat memiliki ketergantungan fiskal cukup tinggi terhadap Freeport.
Padahal, Freeport mengeksploitasi alam Papua secara masif.
Eksploitasi dan
eksplorasi tembaga dan emas oleh Freeport di Papua sudah berlangsung sejak awal
KK dibuat. Tahun 1971, Freeport mulai melakukan eksplorasi tambang tembaga dan
emas di lahan seluas 10.000 hektar di Pegunungan Erstberg, tanah milik suku Amungme.
Tambang Ertsberg dibangun pada ketinggian 4.500 meter di atas permukaan laut
dan secara resmi pada 1973 dan 1981 dibuka pula Ertsberg timur. Jalan kereta
api tram (tramway) telah dibuat untuk mengangkut tembaga, peralatan, dan tenaga
kerja ke puncak gunung itu. Setelah menjarah habis Erstberg, korporasi asal AS
ini kemudian berekspansi ke pertambangan open-pit di Pegunungan Grasberg.
Tambang open-pit
Grasberg adalah tambang paling menguntungkan dan mendulang banyak uang bagi FI.
Produksi terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi rata-rata harian untuk
bijih tembaga naik dari 112.000 ton per hari (1994) menjadi 238.000 ton per
hari (1999) dan 220.00 ton per hari (2005). Seiring berjalannya waktu dan
begitu besar eksploitasi, produksi turun menjadi 166.000 ton (2010), 121.000
ton (2013), dan 163.000 ton (2014). Dalam waktu tak lama lagi, nasib Grasberg
akan sama dengan Erstberg, cadangan tembaga dan emas habis dieksploitasi dan
hanya meninggalkan lubang menganga tanpa reklamasi.
Untuk
mengantisipasi titik puncak Grasberg, Freeport sejak 2004 sudah berinvestasi di
tambang bawah tanah (underground) yang dianggap masa depan Freeport. Tambang
bawah tanah ini termasuk Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone (DMLZ), Deep
Mill Level Zone (DMLZ), dan Deep Ore Zone (DOZ).
Berdasarkan laporan
keuangan Freeport tahun 2012, tambang bawah tanah menyumbang 91 persen cadangan
tembaga Freeport dan sisanya 9 persen disumbangkan tambang open-pit. Tambang
bawah tanah adalah masa depan Freeport yang menjanjikan. DOZ berkapasitas
80.000 metrik ton bijih per hari. Blok Cave Grasberg dan DMLZ, dalam perkiraan
kasar, akan menghasilkan 24.000 metrik ton per hari untuk mengantisipasi masa
transisi tambang open-pit pada 2016. Sebagai proyek ambisius, pendanaan untuk
membangun tambang bawah tanah juga perlu dana investasi cukup besar. Tahun
2004-2016, Freeport sudah mengeluarkan sekitar 8 miliar dollar AS untuk
pembangunan tambang bawah tanah dan perusahaan akan mengeluarkan dana 17 miliar
dollar AS lagi untuk investasi di tambang bawah tanah sampai 2031.
Satu hal yang pasti
bahwa sepotensial apa pun tambang bawah tanah pasti akan terkerus habis.
Apalagi jika dieksploitasi secara masif, cadangan tambang pasti habis dan
meninggalkan bekas-bekas tambang di belakangnya. Tambang Freeport di Grasberg
diperkirakan akan mencapai masa puncak produksi sekitar 2065. Setelah itu
Freeport kembali ke negeri asalnya, AS, sambil meninggalkan masalah lingkungan
di belakangnya dan masalah sosial karena harus merumahkan ribuan karyawan. FI
berkontribusi 0,8 persen terhadap PDB Indonesia, 37,5 persen terhadap PDRB
Provinsi Papua, dan 91 persen PDRB Kabupaten Timika. Itu artinya,
ketergantungan Papua dan Mimika terhadap Freeport sangatlah besar. Kita tidak
tahu lagi bagaimana masa depan Papua dan Mimika pasca-pertambangan Freeport.
Kontrol korporasi
Untuk mengontrol
karakter serakah korporasi dan eksploitasi tambang berlebihan, sangat penting
bagi perusahaan negara dan pemda Papua menjadi pemegang saham Freeport. Papua
harus memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan melibatkan
wakilnya di manajemen Freeport. Perwakilan Papua di manajemen memiliki hak
suara untuk mengontrol jika keputusan manajemen merugikan warga Papua, merusak
lingkungan, dan merusak hutan.
Ekonom Joseph
Stiglitz mengatakan, keputusan manajer dalam sebuah perusahaan (apalagi
perusahaan tambang) cenderung menimbulkan asimetri informasi. Artinya, rakyat
tak pernah mengetahui bagaimana manajer membuat keputusan penting untuk
investasi. Rakyat baru mengetahui keputusan itu setelah produk ada di pasar dan
merusak kehidupan. Mereka tak pernah terlibat dalam proses pengambilan
keputusan. Masuknya Papua dalam RUPS penting untuk mengontrol karakter serakah
korporasi yang cenderung mengakumulasi modal. Papua tentu bukan sekadar minta
saham. Pekerjaan bagi pemda Papua tentu bukan hanya sampai pada permintaan
saham. Pemda Papua harus mempersiapkan perusahaan BUMD yang profesional dan
mempersiapkan anak-anak Papua agar mampu berkompetisi dengan pekerja luar
Papua. Pemda juga harus memikirkan sejak dini bagaimana mengantisipasi dan
membangun roda ekonomi Papua pasca-pertambangan Freeport usai.
Sumber: Kompas, 26
Februari 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!