Oleh Al Chaidar
Program Studi Antropologi
Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
DEWAN Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan revisi
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU
Antiterorisme) dalam rapat paripurna yang digelar 25 Mei 2018.
UU Antiterorisme
yang baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ini tetap mengedepankan hak
asasi manusia. Salah satu terobosan dalam UU baru ini adalah semua korban
terorisme di masa lalu akan mendapat perlindungan negara, baik dalam ketentuan
pemberian santunan, pengobatan, rehabilitasi, maupun kompensasi, baik warga
negara Indonesia maupun orang asing.
Revisi UU ini
sebenarnya berangkat dari hal sederhana tentang definisi terorisme. Definisi
tentang terorisme yang sebenarnya tidak krusial, malah menjadi perdebatan yang
alot selama proses dua tahun revisi UU No 15/2003 ini.
"Terorisme
adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan
korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik
atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan
keamanan." Definisi ini sebenarnya sudah cukup untuk kebutuhan legislasi,
tidak seperti dalam definisi terorisme yang akademis di mana unsur-unsur
millenarianism, fundamentalisme, dan radikalisme mesti dielaborasi lebih lanjut
dalam kajian dan penelitian teoretis.
Pengesahan revisi
UU No 15/2003 mengenai terorisme dinilai mendesak sejak kekalahan Negara Islam
di Irak dan Suriah (NIIS) di Filipina dan Suriah. Sudah lebih dari 15 tahun UU
antiteror ini tidak direvisi, sementara perkembangan terorisme semakin brutal,
sadis, dan gila. Teror menyeruak hampir di semua sektor kehidupan di banyak
negara kebangsaan di berbagai belahan dunia.
Bahkan, terorisme
NIIS telah hadir di Jalan Thamrin (2016) dan Kampung Melayu (2017), Jakarta, di
beranda terdekat di negeri ini. Kehadiran terorisme yang tak terpahami preseden
dan motif lainnya di luar motif teologi eskatologis di mana kematian dipandang
sebagai cara pintas memasuki surga. Kematian dipakai untuk menakut-nakuti musuh
agama yang tak terdeskripsikan, dalam suatu "perang" yang tak pernah
terdengar deklarasinya sekalipun.
Terorisme
"tamkin"
Ada satu persoalan
krusial yang belum terakomodasikan dalam UU Antiterorisme yang baru disahkan
ini. UU baru ini tidak menerapkan konsep terorisme tamkin (terorisme
teritorial) yang menjadi masalah terorisme penting abad ini. Terorisme tamkin
inilah yang kemudian menjadi pangkal perseteruan di antara Polri dan TNI dalam
hal tugas pokok dan fungsi mereka untuk menangani terorisme.
Kisruh pembagian
wewenang di antara Polri dan TNI dianggap menempatkan Indonesia dalam risiko
yang tak perlu. Ada perubahan signifikan terhadap sistematika UU, menambah bab
pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan, kemudian soal
peran TNI yang itu semua hal baru dibandingkan dengan UU sebelumnya.
Memang harus juga
diakui bahwa UU yang sebelum ini menghambat polisi untuk bergerak jika pelaku
sudah terbukti sebagai pelaku terorisme. Kewenangan mencegah pelaku dalam aksi
sangat lemah. UU yang terbaru dapat memberikan wewenang lebih pada Polri untuk
melakukan fungsi pencegahan. Penanganan terpadu dan efektif butuh payung hukum
yang lebih kuat. UU ini malah memberikan peneguhan untuk lembaga yang
menjalankan program deradikalisasi yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam
UU.
Pemerintah
Indonesia melalui DPR sudah berhasil merevisi UU No 15/2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tertunda akibat perdebatan alot
seputar pembagian wewenang di antara polisi dan militer.
Secara teoretis,
pelibatan militer di dalam menangani terorisme sudah dibahas oleh banyak
peneliti tentang kemunculan strategi qital tamkin (perang di daerah pembebasan)
yang menjadi ciri khas kelompok teroris teritorial. Sebutlah seperti MIT
(Mujahidin Indonesia Timur), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku
Selatan), OPM (Organisasi Papua Merdeka), ASG (Abu Sayyaf Group).
Menurut saya,
terorisme teritorial harus ditangani secara khusus oleh TNI (misalnya,
Koopsusgab). Terorisme tamkin ini, jika ditangkap, implikasi yuridisnya adalah
akan diadili di sidang pengadilan humaniter atau pengadilan militer.
Kamil Salamah
(1994: 181) telah membahas bahwa terorisme teritorial punya basis ideologi
agama yang kuat. Teroris yang menerapkan strategi perang teritorial (Djelantik
dan Akbar, 2016: 90) harus dihadapi aparat keamanan yang memiliki kemampuan
tempur yang memadai.
Thomas Koruth
Samuel (2016: 53) dan Al Chiadar (2015: 245) juga sudah membahas betapa
penanganan yang salah terhadap teroris tamkin menunjukkan kurangnya kesadaran
teritorial dari para pemimpin politik sebagaimana terlihat di Thailand,
Filipina, dan Suriah. Sidney Jones (2015) juga sudah mengingatkan kita akan
kemunculan qital tamkin yang dimiliki oleh teroris teritorial yang berbeda
dengan qital nikoyah yang hanya melakukan strategi hit and run di berbagai
lokasi. Terorisme tanzhim (non-teritorial) cukup ditangani dan dihadapi oleh
polisi, dan jika teroris tanzim ditangkap cukup disidangkan di pengadilan
negeri atau pengadilan sipil.
Perubahan dari
strategi nikoyah ke strategi teritorial inilah yang harusnya diagregasi dan
diartikulasikan secara tepat di dalam UU Antiterorisme yang baru ini. Sebab,
hal yang saat ini menjadi fokus jihadis adalah nikoyah atau melukai, menyerang,
dan melumpuhkan orang yang mereka anggap sebagai "kafir" dalam sistem
taksonomi hukum mereka yang keliru.
Bagi kelompok
teroris yang berideologi Wahabi Takfiri ini, yang paling penting adalah tamkin,
yaitu menguasai sebuah wilayah dengan pemimpin yang paham ilmu syar'i (hukum
agama) dan fiqhul waqi' (hukum politik). Para ulama mereka yang dianggap
sebagai intelektual organik telah mengeluarkan sejumlah fatwa brutal dan sadis
yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. UU Antiterorisme yang
baru ini masih jauh dari harapan untuk bisa mengimbangi fatwa-fatwa teror yang
semakin hari kian biadab.
Sumber: Kompas, 4 Juni 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!