TAHUN 1991
saya tiba di Kupang, Pulau Timor. Tiba di Pelabuhan Tenau, Kupang dari
Pelabuhan Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur, ujung timur Pulau Flores.
Saya bertaruh waktu meraih mimpi -meminjam ayahandaku Petrus Samong (alm) &
ibunda terkasih, Maria Ose Klobor- menjadi atadik (orang).
Rasanya
kenyang dengan angin laut setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam
dengan kapal barang, setiba di Tenau. Biasanya, kapal Fery yang saya tumpangi
tapi jadwalnya tak menentu akibat gelombang laut yang tak kenal kompromi.
Jadilah saya bertahan di lambung kapal barang itu..
Jadilah, saya
memutuskan naik kapal barang, yang setelah berada di atas geladak ternyata
lajunya seperti siput di tempat saya pindahkan kambing di kampung. Tapi, cerita
lamanya berlayar di atas kapal Larantuka-Tenau, saya segera kubur dalam hati.
Pertanyaan
yang terus berkelebat, bagaimana bisa ikut test di Universitas Nusa Cendana
(Undana), kampus negeri paling murah meriah di Kupang kala itu. Dan kalau
lulus, bagaimana bisa membayar SPP per semester sebesar Rp. 90 ribu? Modal di
sapu tangan dalam bungkusan yang diberikan orangtua hanya Rp. 150 ribu.
Ah, belum lagi
membayangkan bagaimana membayar uang kos di kota karang ini sementara
hidup-mati uang kuliah, urusan asap dapur, naik bemo ke kampus, hanya bersandar
dari daging babi dan rusa hasil buruan ayah?
Tuhan sungguh
baik. Dalam permenungan panjang, saya bertemu dengan Korfinus Ero Sakeng.
Lelaki yang kini memasuki usia 64 itu tengah menjalani profesi sebagai sub
kontraktor proyek-proyek bangunan jalan di kota Kupang dan beberapa kabupaten
lain di NTT seperti (kini) Sabu Raijua, Rote Ndao, beberapa kabupaten di Flores
daratan dan Pulau Timor.
Dari sini,
saya dan beberapa adik, bertemu 'dokter' Kori (nama gaul Korfinus Ero Sakeng).
Kami datang dan 'berkonsultasi' dengan 'dokter' bagaimana agar selama tinggal
di kos kami tetap 'sehat' dalam urusan biaya hidup dan keuangan kuliah.
"Kalau kamu tidak keberatan, ikut saya kita bakar aspal agar kamu punya
uang saku pigi pulang kampus," demikian ajak dokter Kori.
Tanpa pikir
panjang dan demi 'keselamatan' hidup di kos, kami bertaruh tenaga menjadi buruh
kasar pembakar aspal di bawah asuhan 'dokter'. Proyek perdana kami ikut bakar
aspal di belakang gedung TVRI, Oepoi. Lumayan, sekali proyek kami bisa
menganyongi uang belanja dua bulan lebih.
Kali ini, saya
dan 'dokter' sua kembali. Maxx Coffee di jantung kota karang, kisah kami: eks
mandor dan buruh kasar aspal di kota karang, kami runut dalam cerita. Ya,
belasan tahun berpisah dalam tugas. Saya memilih berada di rantau. Ia mengurus
kebun tak jauh dari Bandara Internasional El Tari Kupang.
Ia pensiunan
porter sekaligus cleaning service di bandara itu. Saya juga 'pensiunan' buruh
kasar usai menunaikan tugas saya sebagai mahasiswa. Sembari menikmati kopi
panas, cerita kami terhenti. Malam merambat di kota ini.
Terima kasih,
kaka 'dokter'. Pengalaman tempo doeloe terasa sesuatu banget. Menempel dalam
dinding memori. Dan saya bawa ke rantau. Dalam doa kita saling mendukung.
Selalu.....
Ansel Deri
Kupang, 18
Juni 2018
Penulis bersama ‘dr Kori” Sakeng
Penulis bersama ‘dr Kori” Sakeng
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!