Oleh Ansel Deri
Umat Paroki St Antonius Padua Bidaracina;
Bekerja di DPR RI Senayan, Jakarta
TIGA jam sebelum menunaikan
Ibadah Sholat Jumat, Presiden Joko Widodo menyambangi kantor Konferensi
Waligereja Indonesia, Jumat (24/8) pagi. Tiba sekitar pukul 09.00 WIB di depan
Kantor KWI, Jalan Cut Mutiah, Menteng, Jakarta Pusat, Kepala Negara disambut
langsung Ketua KWI sekaligus Uskup TNI-Polri Mgr Ignatius Suharyo Pr, Sekjen KWI
Mgr Antonius Subianto Bunyamin OSC, dan sejumlah uskup seperti uskup Jayapura
Mgr Leo Laba Ladjar OFM, uskup Atambua Mgr Domi Saku Pr, dan lain-lain.
Dalam silahturahmi penuh kekeluargaan, Jokowi
didampingi Mensesneg Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Setelah
melewati prosesi singkat penyambutan di halaman kantor KWI, rombongan presiden
disambut langsung uskup Suharyo beserta para uskup, kemudian melakukan
pertemuan tertutup.
Setelah melewati prosesi di depan KWI, yang berjarak
sepelemparan batu dengan Masjid Cut Mutiah, rombongan menuju ruang pertemuan di
lantai 2 KWI. Presiden menyampaikan sejumlah hal seputar kehidupan berbangsa
dan negara. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menyampaikan hal-hal yang
berkaitan dengan Pancasila dan keragaman perbedaan agama, suku dan budaya serta
isu-isu kedaerahan.
Menarik
Sepintas, dari sudut pandang komunikasi politik,
silahturahmi Cut Mutiah menarik dilihat dari sejumlah aspek. Tapi paling kurang
ada tiga yang dapat dicatat. Pertama, Jokowi adalah presiden yang mendapat
legitimasi rakyat selama memimpin negeri ini. Ia membangun Indonesia sepenuh
hati, meski di sana sini masih perlu waktu membenahinya. Hasil-hasil
pembangunan sungguh dirasakan masyarakat Indonesia, termasuk umat Katolik.
Karena itu, melalui KWI Jokowi hendak mengapresiasi
sekaligus menitipkan pesan politik bahwa berbagai kemajuan yang dicapai
presiden dan jajaran pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, hal itu juga
berkat dukungan masyarakat Indonesia, termasuk umat Katolik. Dengan demikian,
pada pilpres 2019, masyarakat tentu ambil bagian mendukung dan memilih siapapun
calon presiden yang sudah teruji dan memiliki rekam jejak (track record) terukur untuk memimpin bangsa dan negara lebih
sejahtera, adil, makmur, bermartabat, dan berkeadaban. Negeri ini rasanya
terlalu capai untuk dibangun para pemimpin sekadar retorika dan bicara
meledak-ledak namun abai pada komitmen dan hati yang tulus.
Kedua, Jokowi bersilahturahim ke KWI sebaga institusi
keagamaan yang tak hanya terdapat banyak orang pekerja keras dan tetapi tulus
bersama pemerintah dan seluruh elemen masyarakat ikut membangun negeri ini.
Namun, lebih dari itu Jokowi juga memastikan bahwa institusi keagamaan seperti
KWI atau Muhammadiyah, NU, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Perwakilan
Umat Buddha Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, melalui
para pengurus dan umatnya memiliki andil besar dalam ikut memajukan bangsa dan
negara lewat karya nyata, pikiran dan gagasan maupun keterlibatan bersama
pemerintah menyukseskan berbagai agenda pembangunan. Hal yang sudah dibuktikan
sejak perjuangan merebut kemerdekaan.
Ketiga, silahturahmi ini juga bisa jadi memutus
disinformasi di hadapan publik, termasuk Gereja atas berbagai kebijakan
pemerintah selama ini. Contoh teranyar yaitu Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, saat menyampaikan
pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI, Kamis, (16/9) lalu di Gedung DPR/MPR RI
Senayan, yang dihadiri langsung Presiden Jokowi. Zulkifli yang juga Ketua Umum
PAN mengeritik sejumlah hal, termasuk soal utang negara. Pidato itu disampaikan
langsung di hadapan Jokowi.
Di
era Jokowi, demikian Zulkifli, jumlah beban utang pemerintah yang mencapai
tidak kurang dari Rp 400 triliun pada 2018. Jumlah ini setara dengan tujuh kali
dana yang diberikan ke desa-desa atau enam kali dari anggaran kesehatan seluruh
rakyat Indonesia. Ini sudah di luar kewajaran dan kemampuan negara untuk
membayar. Namun, bagi Presiden Jokowi informasi Ketua MPR RI itu melenceng.
Dalam forum Sidang Tahunan MPR yang sama, dalam pidatonya Jokowi malah
menyodorkan pencapaian pemerintah.
Misalnya,
Indonesia berhasil merebut Freeport hingga Blok Rokan dari asing. Apa kata
Jokowi selanjutnya? Setelah beberapa dekade berada di tangan pihak lain, Blok
Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, dan mayoritas saham
Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi yang sebesar-besarnya digunakan bagi
kemakmuran rakyat. Begitu pula ekonomi Indonesia yang bisa tumbuh di kisaran 5%
dalam ketidakpastian ekonomi di dunia yang sedang berlangsung. Inilah cara
efektif Jokowi menjegal disinformasi yang menyesatkan.
Mengapa komunikasi
yang abai akurasi data itu kontroversial sehingga Jokowi perlu melakukan
klarifikasi dengan data akurat? Jawabannya, terletak pada (pola) komunikasi (politik) yang efektif. Pola komunikasi yang efektif –meminjam Richard L Hughes
(1996)– ditandai kemampuan mengirim dan menerima pesan dengan probabilitas bahwa
pesan yang dimaksud benar-benar bisa diterima dan dipahami.
Pesan penting
Namun, lepas dari itu kunjungan Jokowi ke Cut Mutiah sekaligus meninggalkan
pesan bagaimana Gereja menegaskan diri serta keberadaannya sebagai sakramen
(tanda keselamatan Allah) di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut
bagaimana Gereja menyadari spiritualitas politik dalam dirinya dan tetap
semangat ikut membangun bangsa dan negara agar makin damai, adil, dan
bermartabat.
Dalam Gereja Itu Politis (2012),
Peter Aman OFM menguraikan posisi Gereja di tengah dunia. Gereja menegaskan
dirinya serta keberadaannya sebagai sakramen –tanda dan sarana keselamatan
serta persekutuan Allah dengan seluruh umat manusia di dunia. Hal ini
menjelaskan satu hal pokok yaitu bahwa Gereja ada di dunia bukan untuk dirinya
sendiri. Ia (Gereja) hadir untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et
Spes (GS) menjelaskan relasi yang erat antara Gereja dan dunia. Gereja
hadir sebagai tanda dan sarana keselamatan. Di dalam keselamatan Allah itu
hadir serta dialami: diamini secara eksplisit, diwartakan secara profetis, dan
dirayakan secara liturgis. Karena itu, dari kehadiran dan tugas perutusannya
Gereja mempersembahkan kepada dunia kekayaan spiritualnya dengan mewartakan
Injil, pelayanan sakramen serta keterlibatan pastoral dalam bidang sosial,
politik, dan kebudayaan.
Menurut Dr Paulinus Yan Olla MSF dalam Spiritualitas
Politik, (2014), sejak lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai
relevansi sosial. Allah yang diimani ditanggapi dalam situasi dan
sosial-politik yang konkret. Gereja tidak ingin mencampuri urusan politik
praktis untuk merebut kekuasaan. Namun, dalam statusnya sebagai pewaris
nilai-nilai kerohanian, moral, dan saksi kebenaran, Gereja terus melayani
manusia untuk berkembang dalam keutuhannya, termasuk dalam dimensi
sosial-politisnya.
Dalam keterlibatannya dengan masalah sosial-politik, Gereja dalam
spiritualitasnya menyumbang bagi dihormatinya martabat manusia dan pembangunan
kesejahteraan umum. Nah, kunjungan Jokowi di Cut Mutiah menegaskan kembali
peran Gereja sebagai umat Allah di dalam kehidupan sosial-politik.
Sumber: Pos
Kupang, 8 September 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!