Oleh Ansel Deri
Mantan penjual eceran koran di Kupang;
Mengenang 50
Tahun Media Indonesia
MATA
kerap saya arahkan ke kursi Drs Porat Antonius, M.Si. Di depan meja kerjanya,
ada koran nasional Media Indonesoa dan Kompas edisi dua atau tiga hari
sebelumnya. Edisi lama. Meski kerap melihat kraeng Porat, Kepala Perpustakaan
Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, mata saya fokus menghabiskan waktu
membaca koran-koran yang sudah terbit dua atau tiga hari sebelumnya. Meja kerja
kraeng Anton hanya berjarak sekitar setengah meter dari meja baca pengunjung.
Berharap lepas dari tangan kraeng Porat, saya akan pura-pura minta.
Berpura-pura sangat butuh agar dianggap sebagai penggila baca koran. Kalau mau
jujur selama SMA di Lembata sunguh saya tak pernah lihat koran sebesar ini.
Ruang kraeng Anton
Porat terpisah dari ruang perpustakaan utama Undana, yang beralamat di Jalan
Soeharto. Saat itu, perpustakaan itu masih berada di Jalan Soeharto. Sebagian
kantor fakultas dan aktivitas perkuliahan sudah pindah ke kampus baru, Penfui.
Kalau naik bemo, mesti ke terminal bemo kota Kupang kemudian naik lagi rute
Penfui atau Baumata. Biasanya, sejak 1991, setelah masuk ruang utama
perpustakaan membaca buku-buku untuk keperluan kuliah, ruang kraeng Porat jadi
langgganan. Ruang kerja kepala perpustakaan Undana ini juga menjadi ruang baca
koran atau majalah. Beberapa rekan saya, Servulus Bobo Riti, Adriano do
Nascimento (Adio atau Loro Mau: mantan Menteri Sekretaris Negara & kini
Wakil Ketua Fraksi Partido Demokratico Timor Leste), Firmus Kosat, Palmasius
Pahlawan Aceh, Frans Xaverius Ngongo Kabora, Petrus Frumen, Sarimin Adang, Roni
Bata, Tuty Fernandez, Daud Jonathan Beliu, John Raja Hedo, Ansel Maximus Aton (teman-teman
seangkatan di jurusan menyapanya Mr ghost), Alfons Atok, dan beberapa nama lain
kerap masuk ruang kraeng Porat sekadar menghabiskan waktu luang untuk baca
koran sambil menunggu jam kuliah berikutnya.
Harian Media Indonesoa, Kompas, Bali Pos, Surya, Suara Pembaruan adalah sebagian koran yang
tersedia di ruang Kepala Perpustakaan Undana kala itu. Sejak tiba di Kupang
tahun 1990 untuk melanjutkan studi, saya heran, kok ada koran dengan format
besar dibanding dengan Surat Kabar Mingguan Dian. Surat kabar ini sudah
familiar dengan saya sejak sekolah SMA di Lembata kurun waktu 1987-1990. Kerap
kesal dan bertanya dalam hati. Kenapa Presiden Republik Indonesia melalui
Kementerian Penerangan RI sebagai pemilik koran-koran besar di atas tidak
distribusikan sampe di kampung agar anak-anak kampung seperti saya bisa baca
sejak dulu? Apalagi format korannya besar dan perwajahannya sangat artistik di
mata orang kampung seperti saya. Mengapa pula wartawan selalu "melakukan
kesalahan" kerap tak menulis nama lengkapnya di seriap berita di koran? Di
akhir berita kerap mereka kerap menulis dengan insial. Kalau artikel opini
tentu tak masalah karena nama dan jabatan penulis tercantum. Selain membaca
artikel, saya selalu pingin tahu siapa penulisnya. Siapa tahu saya kalau ia (si
wartawan) tugas di Kupang saya bisa bertemu dan bertanya banyak hal.
Apakah koran-koran
besar sekelas Media Indonesia, Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Bali Pos
milik Pemerintah Republik Indonesia di bawah kendali Kementerian Penerangan RI,
ternyata meleset. Saya mulai paham bahwa koran-koran tersebut berada di bawah
kendali korporasi besar yang dimiliki para pengusaha nasional kelas kakap. Visi
para pengusaha media ini ternyata jauh ke depan: ikut membumikan kecerdasan dan
peradaban anak bangsa dalam urusan literasi melalui media yang mereka
terbitkan. Bayangan saya sebagai wong deso, bahwa media-media besar di atas
milik Pemerintah Indonesia, gugur di ruang kraeng Porat. Kalau hari ini
Presiden Joko Widodo menggelorakan semangat: kerja, kerja, kerja, maka tempo
doeloe, sejak para pemilik media-media di atas mendirikan korannya, boleh jadi
dalam pikiran mereka masing-masing bersemayam pula seruan ini: membaca,
membaca, dan membaca.
Lalu kapan NTT juga
memiliki koran harian lokal yang bisa memanjakan warganya dalam membumikan
gemar membaca koran? Pertanyaan ini kerap muncul liar dalam pikiran saya. Sejak
tiba di Kupang tahun 1990 saya masih akrab dengan Dian dan tabloit ASAS. Tapi
tak lama ASAS menghilang dan saya setia dengan koran lokal: Dian, yang berbasis
di Ende, Flores. Namun, wartawan senior Kompas biro NTT Damyan Godho bangkit
dan merintis Harian Pos Kupang tahun 1992 di bawah manajemen Kelompok Kompas
Gramedia (KKG). Sekadar tambahan: saat jadi wartawan Kompas, Damyan Godho lebih
familiar menggunakan inisial (dag). Itu inisial yang saya temui tatkala
menghabiskan waktu membaca di ruang kerja kraeng Porat. Sejak 1992, publik NTT
mulai disapa dengan Pos Kupang. Gempa bumi disertai tsunami yang menghantam
Maumere dan Flores hingga "menenggelamkan" Pulau Babi dengan mudah
diikuti via Pos Kupang.
Naluri membaca saya
kencang. Maklum. Baru lihat efek Pos Kupang memberitakan bencana Maumere dan
Flores umumnya secara -meminjam istilah dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi
RI- terstruktur, sistematis, dan masif. Saya pun turun jadi penjual eceran di
sela-sela kuliah. Beberapa anak kecil penjual eceran di depan kampus Undana,
Naikoten, saya akrabi. Mereka kerap meminjam korannya kepada saya sekadar saya
baca sembari mereka menawarkan kepada calon pembeli. Beberapa waktu ke depan,
saya mulai mencoba menulis beberapa artikel cerita pendek, puisi, dan surat
pembaca di Pos Kupang sekadar "jual tampang" sebagai mahasiwa dan
penulis pemula. Tatkala Gubernur Herman Musakabe memimpin NTT, lahir juga
Tabloit Flobamora beralamat kantor di belakang kampus Undana. Diajak Prof Dr
Alo Liliweri M.Si (saat ini dosen Undana) ikut membantu, saya merasa menemukan
ruang tepat. Sembari jadi penjual eceran koran-koran di atas, saya nyambi jadi
"wts" alias wartawan tanpa surat (kartu pers) Flobamora. "Uang
ini bukan untuk sogok, tapi dari panitia sekadar pengganti uang bemo karena
diundang resmi. Cuma 100 ribu," kata salah seorang staf Ibu Agnes
Musabake, Ketua Tim Penggerak PKK NTT kepada saya. Saya keringat dingin.
Menerima tapi campur aduk hati saya. Wartawan kan tak boleh terima uang. Dalam
hati, saya sudah bebas uang SPP satu semester. Maklum. Kala itu uang SPP saya
Rp. 90 ribu per semester. Maaf, saya terima saja meski merasa
"berdosa". Pulang redaksi, saya cepat-cepat jujur kepada Alo Liliweri
karena saya sudah terima "amplop" dari pihak lain. Hehehe....
Saya berdoa satu
waktu bisa mewujudkan niat saya bisa menulis di koran lokal dan nasional.
Menulis tema apa saja. Sepanjang itu mudah dipahami dan utamanya aktual dan diterima
redaktur desk opini. Namun, saya juga memastikan cita-cita menuntaskan kuliah
keguruan agar ayah dan ibu saya senang. Mengapa dorang dua, ayah dan ibu, suka
saya jadi guru, saya cukup dengar dan pendam dalam hati. Setiap kali bantu
mereka di kebun di sela-sela saya libur, keduanya berharap kelak saya jadi guru
agar bisa bantu ajar di sekolah di kampung saya. "Engko jadi guru saja.
Bagus kalau engko ikut ajar anak-anak kampung jadi orang pintar. Cukup bapa
saja dan banyak teman lain urus iris tuak dan berkebun. Kalau tidak ajar, engko
pigi melarat (merantau) sampe tanah sina jawa (Pulau Jawa)," kata ayah
saya di Tap Baran, Kasa, Semener atau Rotok, kebun andalan orangtua yang
mengongkosi makan minum saya selama saya kuliah.
Menjadikan membaca
sebagai kebutuhan sungguh tertanam dalam hati. Membaca membebaskan batin. Belum
paham satu hal, bisa diatasi dengan membaca dan berdiskusi dengan orang lain
yang lebih paham. Kian menyenangkan bila memulai berlatih tulis-menulis dan
dimuat media besar sekelas koran-koran lokal maupun nasional. Melarat di
Jakarta dalam benak saya adalah pilihan paling beresiko. Beresiko karena
memasuki kota dengan aneka manusia dari beragam latar dan budaya. Bahasa adalah
hal paling utama. Hal yang saya alami saat masuk Kupang dan lidah harus nekad
omong Bahasa Melayu Kupang yang kental. Begitu pula Jakarta. Mau omong logat
Jakarta tapi rasa Kupang atau Lembata. Maklum lidah masih kaku meski lama-lama
jadi biasa. Cukup muka tebal saja kalau ditanya teman wartawan, "baru dari
kampung y, mas?".
Tapi keinginan jadi
kuli disket di Jakarta terus saya asah seperti ayah saya asah parang buat tebas
alang-alang di kebun. Saat meliput aksi demo di Jalan Salemba Raya, depan
kantor Polres Jakarta Pusat, tiba-tiba hidung saya berdarah. Kena gas air mata.
Hidung terasa gatal disertai darah segar. Saya cepat-cepat masuk kantor Polres
Jakarta Pusat kemudian dibantu polisi menghentikan darah dari hidung saya.
Dalam waktu singkat bisa diatasi. Begitu pula saat meliput di daerah Semanggi,
saya salah naik mobil Kopaja arah Pasar Minggu, Jakarta Selatan ke Pasar Senen,
Jakarta Pusat. Padahal, saya tinggal di Kampung Ambon, Rawasari, Jakarta Timur.
Kali ini saya melakukan kesalahan. Bukan salah menulis berita tapi salah naik
angkutan kota.
Pengalaman adalah
guru paling baik. Experience is the best teacher. Itu kata dosen-dosen saya
semasa kuliah di Kupang. Pengalaman selalu mengajarkan banyak hal baru. Ya,
barangkali perlu hidung darah atau keliru naik angkutan kota di Ibu Kota.
Karena itu, tatkala dengan teman-teman ikut merintis OZON bersama owner Pak
Karel Danorikoe berkantor di Jalan Mangunsarkoro, Menteng, tak jauh dari rumah
jabatan Wakil Presiden RI, saya nekad saja dengan pengalaman minim. Didapuk
jadi Redaktur Pelaksana OZON, saya sungguh menunaikan tugas itu dengan
tanggungjawab penuh. "Kita sebaiknya langganan Media Indonesia, Kompas,
Tempo, dan beberapa media nasional lainnya. Selain riset mini, paling kurang
data sekunder kita peroleh dari media-media ini," kata saya kepada Pak Karel
dan Ibu Helen, Pemimpin Perusahaan. Beliau oke saja.
Mengapa Media Indonesia dan Kompas, alasan saya sederhana. Berita dan ulasannya tentu juga
menjadi isu utama Presiden dan jajaran kabinet. Saya peracaya, setiap pagi
dalam rapat di Istana, isu-isu yang diberitakan dua media besar itu juga
menjadi rujukan. Karena itu, tak keliru kalau kami semua awak redaksi OZON juga
bisa mengeksplorir lebih dalam untuk laporan utama atau laporan khusus majalah
kami. Selain itu, kami semua bisa belajar banyak bagaimana menulis yang baik
dan benar mengikuti kaidah Bahasa Indonesia dan pedoman umum EYD. Namun, di
balik itu juga saya mulai belajar bagaimana satu waktu bisa mengisi rubrik
opini. Masa opini saya orang kampung tak bisa tembus di media nasional sekelas
Media Indonesia? Pertanyaan ini kerap hadir setiap selesai membaca koran milik
H. Surya Paloh, pengusaha nasional dan owner Media Group yang mengendalikan
koran harian Media Indonesia dan Metro TV, stasiun televisi swasta paling besar
di Indonesia. Keinginan disertai usaha terus-menerus akhirnya membuahkan hasil.
Beberapa kali, opini saya nongol di Media Indonesia. Sesuatu yang membahagiakan
meski berkompetisi dengan para pakar di bidangnya. Paling kurang, semangat
membaca sejak dari Lembata, bertahan di ruang kraeng Porat di sela-sela
menunggu jam kuliah berikutnya, doa ayah dan ibu saya dari kebun, di tengah
pematang, terwujud: tulisan saya ikut hadir dalam rubrik opini Media Indonesia.
Hari ini, Media Indonesia berulang tahun ke-50. Saya mau berterima kasih kepada
Bapak Surya Paloh yang ikut mencerdaskan anak bangsa lewat medianya. Terima
kasih juga kepada Pemimpin Redaksi dan Redaktur Opini Media Indonesia yang
sudah mempertimbangkan dan memuat beberapa opini saya selama ini. Semoga Media Indonesia setia merawat peradaban bangsa melalui sajian yang tentu di mata saya
selalu -meminjam motto Tempo- enak dibaca dan perlu. Sekali lagi, 'Selamat
Ulang Tahun ke-50 Media Indonesia'. Sukses selalu. Tuhan berkati.
Jakarta, 19
Januari 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!