BUDI Baik. Warnanya coklat. Pun Tanda Mata. Warnanya putih. Boleh
jadi, baik Budi Baik maupun Tanda Mata seperti piaraan paling mengasyikkan.
Keduanya boleh seperti pembasuh penat usai bekerja, pengganda bahagia tatkala
bolak balik rumah-kebun. Orangtua Stephie Kleden-Beetz (76): bapa Yohanes Djuan
Kleden dan mama Katharina Sabu Hadjon, yang empunya kuda kesayangan bernama
Budi Baik dan Tanda Mata.
Dari Malang, Jawa
Timur, Budi Baik dan Tanda Mata menyelinap masuk dalam memori Stephie
Kleden-Beetz. Ia (Stephie) memutar kembali memori, bale (pulang) Waibalun,
kampung halamannya di rumah orangtua, beranda pelabuhan fery, arah barat
Larantuka, kota Reinha, kota Maria, di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara
Timur. Memorinya melebur dengan kisah Budi Baik dan Tanda Mata, tempo doeloe,
yang mungkin bolak balik dengan ayah-ibunya menempuh rute rumah-kebun di
sekitar Waibalun atau Larantuka.
Saya biasa menyapa
akrab Stephie Kleden-Beetz dengan “kaka Oa” setiap kali saya mengirim pesan
singkat baik melalui messanger atau WhatsApp bila bertanya bagaimana resep
bahkan rahasia menulis yang baik dari seorang penulis dan wartawan senior.
Sekitar Agustus hingga September 2019, saya memberanikan diri meminta kaka
Stephie menyiapkan Prolog sebuah buku yang akan segera terbit.
Stephie memastikan
akan mengagendakan menulis Prolog dimaksud sebagai bukti dan kesetiaan
mendukung setiap upaya para penulis muda dari kampung halaman, tanah Lamaholot.
“Adik Ansel Deri, bersama ini saya kirim kata pengantar Lembata yang Mempesona.
Semoga ada manfaat. Silahkan bertanya bila belum ada kejelasan. Salam dan
selamat berkarya. Stephie Kleden-Beetz,” ujar kaka Stephie melalui e-mail,
surat elektronik kepada saya, 26 Oktober 2019.
Nama Stephie juga
mulai familiar setelah Pilatus mengisi halaman Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian
milik SVD yang terbit di Ende, Flores. Saya mendengar Pilatus kemudian
belakangan membaca artikel itu usai pastor berkotbah di altar Gereja (lama)
Paroki Santo Joseph Boto beberapa waktu setelah itu.
Pilatus adalah tulisan
Gabriel G Sola, seorang kontributor Dian di Jakarta. Gaby, belakangan jadi rekan sesama
kontributor lepas Dian, meski lokus domisili kami berjauhan. Pun tak saling
kenal. Saking menarik, Pilatus kembali juga disinggung sang pastor dalam
kotbahnya.
Sedang Stephie
Kleden-Beetz? Nama Stephie Kleden-Beetz, juga familiar mengisi nyaris setiap
rubrik Dian tatkala saya masih di kampung tahun 80-an. Banyak laporan beliau
dari Jerman. Selain tentu berita maupun laporan-laporan human interest, yang
mengaduk rasa ingin tahu pembaca sekelas kami segelintir anak kampung yang suka
baca koran-koran usang terutama Dian dan Hidup. Kami tentunya, terasa ditawan
di sana dan melahap laporan Stephie hingga di akhir tulisan kemudian tahu siapa
penulisnya.
Tentang Budi Baik
dan Tanda Mata Stephie menyandera kedua bola mata. Seberapa penting Budi Baik
dan Tanda Mata di mata Stephie? Pastinya, tatkala menggarap Tanda Mata, buku
mini karyanya, Stephie malah kewalahan. Bukankah seorang penulis hebat dan
wartawan senior dengan jam terbang tinggi akan dengan mudah menemukan judul?
Tapi, kok kewalahan?
Rupanya ingatan
Stephie menyasar Budi Baik dan Tanda Mata. Dua ekor kuda itu milik ayah-ibunya
di Waibalun. Tak lama menemukan judul buku karyanya, Tanda Mata, dari kuda
Tanda Mata ayah-ibunya. “Ketika sedang mencari-cari judul untuk buku ini,
tiba-tiba saya teringat masa kecil saya dan kebahagiaan naik kuda bersama
Ayah,” kata Stephie Kleden-Beetz di bagian Ucapan Terima Kasih Tanda Mata, buku
karyanya setebal 342 halaman tersebut.
Namun, Stephie,
penulis kelahiran Waibalun, Flores Timur pada 25 Desember 1943 melanjutkan, tak
disangka, tragedi itu terjadi: Budi Baik tewas di ujung panah pemburuh liar.
Bukan hanya keluarga Stephie yang berduka. Tanda Mata, sahabat Budi Baik, pun
menjadi murung, kehilangan nafsu makan, menjadi semakin kurus, akhirnya pergi
menyusul Budi Baik.
“Maka jadilah nama
buku ini: Tanda Mata. Kepada Ayah dan Ibu, yang telah membuat kami berbahagia
lewat dua ekor kuda tersebut, saya sampaikan limpah terima kasih. Terima kasih
pertama-tama saya berikan kepada Pater Dr. Paul Budi Kleden, SVD, yang telah berkenan
menulis kata pengantar buku ini. Untuk Hermien Y. Kleden, manager produksi buku
ini saya berikan beribu terima kasih atas jerih payahnya di tengah kesibukan
utamanya sebagai wartawan majalah Tempo,” kata Stephie lagi.
Stephie Kleden-Beetz
sungguh penulis hebat dan wartawan senior terbilang langka. Setiap peristiwa
bahkan pengalaman perjumpaan ia tulis dengan indah dan enak dibaca. Tiga buku
karyanya, Cerita Kecil Saja, Merajut Kata-Kata, dan Tanda Mata hanya yang
terakhir saja jadi tanda mata untuk saya anak kampung.
Wawasan Stephie
Keden-Beetz sangat luas. Ia melanglang buana, menembus benua. Bahkan Stephie
lama bermukim di Jerman setelah menikah dengan Werner Beetz, pemuda pilihannya.
Meski demikian, di tengah kesibukannya bekerja sebagai jurnalis di negeri yang
pernah dipimpin baik oleh Kanselir Angela Merkel maupun Helmut Kohl, itu, ia
masih menyapa pembaca setia di NTT melalui reportasenya yang dimuat SKM Dian di
Ende.
Stephie lahir dari
keluarga guru yang rata-rata adik-adik kandungnya adalah intelektual dan
orang-orang hebat di bidangnya masing-masing. Sesuatu yang tentu sangat
disyukuri pasutri guru Djuan Kleden dan mama Sabu Hadjon. Sekedar menyebut
beberapa nama yang saya tahu. Misalnya, Pastor Dr. Leo Kleden, SVD. Tuan Leo, pastor
filsuf ini lama bertugas di Rumah Induk SVD di Roma, sebelum akhirnya kembali
ke almamaternya, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere,
Flores.
Begitu pula Dr
Ignas Nasu Kleden, sosiolog lulusan Jerman atau Drs Marianus Gege Kleden, pengajar
Fisip Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Juga Hermien Y. Kleden, mantan
wartawan senior Tempo, majalah berita mingguan paling berpengaruh di Indonesia.
Berikut Emil Ola Kleden, pernah bergiat di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN).
Waibalun, kampung kecil di muka pelabuhan fery itu pun
bukan asing di mata saya. Sejak masuk Kupang, Pulau Timor, tuk melanjutkan
studi tahun 1990, Waibalun adalah tempat asyik buat minum kopi panas sambil
nikmati jagung titi (makanan khas Flores Timur dan Lembata) dan ikan tongkol
segar dari laut Flores.
Tiba di Larantuka,
pelabuhan teramai di jantung kota Reinha, Flores Timur dari pelabuhan laut
Lewoleba, Pulau Lembata, perjalanan mesti dilanjutkan ke Waibalun, arah barat,
kampung penulis dan jurnalis senior Stephie Kleden-Beetz. Melewati jalanan
sepanjang bibir pantai sebelum tiba di kampung kecil Waibalun, kita akan
disuguhkan pula panorama alam pantai dan eksotisme beberapa kampung nan asri
seperti Lewolere dan Pante Besar.
Sejak dari
Larantuka, mata kita sungguh dimanjakan pula dengan pemandangan satu dua menara
kapel yang indah di sepanjang kampung-kampung itu. Di situlah guru Djuan Kleden
dan mama Hadjon memelihara dan merawat Budi Baik dan Tanda Mata. Tanda Mata
inilah yang bakal berlanjut pada Tanda Mata, karya mungil Stephie yang berisi
rekaman lensa rasa yang begitu indah dalam jejak pengabdian sebagai penulis dan
wartawan.
Tanda Mata beranak
Tanda Mata dalam tulisan? Saya memandang Stephie Kleden-Beetz adalah penulis
unik yang telah membuat kejutan bagi saya sebagai penulis pemula dari kampung,
nun di tengah dekapan dingin yang kerap mencekam di kaki Labalekan, selatan
Lembata.
Bagaimana tidak?
Dari Tanda Mata kesayangan ayah-ibunya, guru Djuan Kleden dan mama Sabu Hadjon
di Waibalun, lahir judul buku yang hemat saya mengejutkan. Stephie tinggal
“membaptis” bukunya dengan nama Tanda Mata tanpa memikirkan atau mencari nama
yang jauh-jauh semisal Eropa untuk karya uniknya itu. Ya, cukup meminjam nama
kuda Tanda Mata menjadi kitab mini Tanda Mata yang baru untuk pembaca. Nggak
sulit, kan? Inilah kehebatan Stephie di mata saya.
Superior General
SVD Sedunia Pastor Dr Paulus Budi Kleden SVD, jauh-jauh dari Cordoba,
Argentina, ujung Agustus 2014, menulis khusus dalam judul ‘Jembatan Itu Bernama
Cerita’ untuk Tanda Mata Stephie Kleden-Beetz, kerabatnya dalam rumpun Kleden.
Kata Budi, hidup manusia adalah tenunan kisah. Di dalamnya, kita merajut
kebahagiaan, sukses, perjuangan, kesusahan hati, pengalaman indah masa
kanak-kanak.
Kita bisa
menuturkan dengan bebas apa yang sungguh terjadi atau sekadar berbagi
mimpi-mimpin dinihari. Tak mengherankan, orang Yunani menyebut manusia sebagai
soon logon, maklukh berbahasa, juga makluk berakal budi. Kebutuhan bercerita
manusia menembus batas-batas usia, menerobos sekat ruang dan waktu, serta
menjadi kebutuhan yang niscaya.
Orang bisa
bercerita di tepi sumur, di bibir pantai, atau via media sosial serba canggih.
Kekuatan suatu cerita menentukan jejaknya: sekadar lewat dalam ingatan atau
bisa lama terpatri, berdaya gugah, bahkan menjadi sumber inspirasi bagi orang
lain. “Yesus, Sang Guru Nazareth, mengatakan, manusia tak hanya hidup dari
roti, tapi juga setiap sabda Allah. Dalam banyak kebudayaan, cerita menjadi
sarana ampuh sekaligus asali untuk mendidik, meneruskan nilai, dan memperluas
cakrawala,” ujar tuan Budi Kleden lebih lanjut dalam catatan pengantar Tanda
Mata Stephie Kleden-Beetz.
Dari Malang, Jawa
Timur, Selasa, 21 Januari 2020, kabar itu nongol melalui pesan singkat di
telepon genggam. Stephie Kleden-Beetz mengakhiri ziarahnya di dunia. Ia
memenuhi panggilan Tuan Deo, sang Sabda di Wisma Stephie, bilangan Patuha.
Malang tepat pukul 19.10 WIB. Tuhan yang Memberi, Tuhan yang mengambil,
terpujilah nama Tuhan (Ayub 1 : 21).
Sebagai penganut
Katolik, saya percaya, kaka Stephie Kleden-Beetz, bahagia bersama para Kudus di
Surga. Cerita kuda dalam Tanda Mata Stephie akan menjadi tanda mata bagi
pembaca, terutama keluarga besar di Waibalun atau ata ribu di lewotana,
Lamaholot.
Sebagai anak
Lembata, saya dan tentu warga group Ata Lembata masih merasa bangga karena
Stephie Kleden-Beetz juga punya tanda mata terakhir: Lembata yang Mempesona, sebuah
pengantar yang kalau dibaca mengasyikkan, seasyik membaca kisah Tanda Mata guru
Djuan dan mama Sabu Hadjon dalam Tanda Mata, karya Stephie. Selamat jalan, kaka
Oa Stephie Kleden-Beetz. Dari surgamu, doakan kami agar setia menjadi pewarta
sukacita bagi dunia di sekitar kami.
Ansel Deri
Orang kampung asal Lembata;
Mengenang
Stephie Kleden-Beetz, penulis dan wartawati senior asal Waibalun
Ket foto: Stephie Kleden-Beetz dan buku Tanda Mata karyanya
Ket foto: Stephie Kleden-Beetz dan buku Tanda Mata karyanya
Sumber: berandanegeri.com,
22 Januari 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!