Oleh Bernard Limalaen Krova
Praktisi Asuransi
KETIKA kasus
Jiwasraya mencuat, muncul beragam pendapat dari pengamat ekonomi, praktisi
asuransi, DPR, dan pemerintah. Umum berpendapat Jiwasraya gagal bayar karena
tiga hal. Pertama, krisis global 1998. Kedua, mismanaged atau salah investasi. Ketiga, perampokan besar-besaran.
Semua sepakat
harus ditelusuri ‘siapa yang merampok’ dan ‘pemerintah bertanggung jawab
mengembalikan dana nasabah’. Pada tahun tersebut, industri keuangan global
terpuruk dan nyaris ambruk. Bailout dipandang sebagai satu-satunya obat
mujarab. Industri asuransi juga mengalami kondisi tersebut. Peran pemerintah
nihil dalam membantu industri asuransi. Pelaku industri asuransi mencari cara
agar bertahan.
Investasi
berupa saham, reksa dana, dan deposito hancur lebur. Aset tergerus dan ekuitas
lampu merah yang berakibat kemampuan membayar klaim kerusuhan 1998 pada level
insolven. Pemodal dan pemilik asuransi enggan bahkan tidak mampu memberikan
suntikan modal mendongkrak solvabilitas.
IFRS
diperkenalkan
Setelah krisis
1998, Bapepam-LK pada 2000 memperkenalkan International Financial Report
Standard (IFRS) yang diadopsi dari standar akuntansi internasional. Solvabilitas
120% dipatok sebagai batas minimum memenuhi kewajiban.
Sistem
pencatatan akuntansi, pengakuan pendapatan, pencadangan premi, pencadangan
klaim, dan investasi berubah. Industri asuransi bergejolak meminta relaksasi.
Pemerintah memberikan kelonggaran pemberlakuan secara gradual, dimulai dari 5%
triwulan pertama pada 2000 dan akan efektif 120% akhir 2004.
Dari sini
muasal karut-marut Jiwasraya. Implikasi penerapan IFRS, perusahaan asuransi
yang selama ini sehat dalam sekejap berubah menjadi insolven. Pasalnya,
solvabilitas terjerembap di bawah 120%. Penerapan IFRS ini oleh pemerintah
dituangkan melalui KMK No 481/KMK.017/1999, digantikan dengan KMK No
424/KMK.06/2003, dan belakangan diganti dengan PMK No 53/Tahun 2012. KMK No
424/KMK.06/2003 Bab II Pasal 2 ayat 1 mengatur batas tingkat solvabilitas
minimum sebesar 120% dari risiko kemungkinan kerugian yang mungkin timbul.
Penghitungan
solvabilitas memasukkan sejumlah faktor risiko. Misalnya, kegagalan pengelolaan
kekayaan (asset default risk), ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan
kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing (currency mismatch), perbedaan antara beban klaim dan beban yang diperkirakan
(claim experience worse than expected),
dan risiko reasuransi (reinsurance risk).
Ketua BPK
Agung Firman Sampurna dalam statementnya pada Rabu (8/1), mengatakan kasus
Jiwasraya bermula pada 2002. Pernyataan ini menegaskan dugaan saya bahwa akibat
implementasi IFRS, Jiwasraya terpuruk dalam kondisi defisit ekuitas.
Laporan
Keuangan per 31 Desember 2006 menyebutkan Jiwasraya menderita defisit Rp3,29
triliun. Isu utama defisit ialah jumlah aset jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan kewajiban. Akhir 2008, Jiwasraya defisit Rp5,7 triliun,
berlanjut 2009 mencapai Rp6,3 triliun. Jelas ekuitas Jiwasraya defisit sehingga
sudah tak mampu memenuhi kewajiban atau solvabilitasnya di bawah 120%.
Opsi solusi
Hanya ada dua
opsi solusi bila defisit ekuitas. Pertama, berhenti berbisnis dan kedua,
menambah modal. Opsi pertama sangat sulit bagi Jiwasraya. Jumlah nasabah
Jiwasraya berkisar 7 juta pemegang polis. Pilihan yang paling tepat ialah opsi
kedua, mendapatkan suntikan dana segar.
Entah dari
pemerintah sebagai pemilik atau investor baru. Kementerian BUMN pada 2008
meminta bantuan likuiditas berupa pinjaman subordinary atau zero coupon bond sebesar Rp6 triliun.
Permintaan
tersebut ditolak Menteri Keuangan. Oleh Kementerian BUMN, Jiwasraya dipaksa
berbisnis dengan kondisi kesehatan ‘jantung’ sudah stadium empat.
Bapepam-LK
tentu telah melakukan pengawasan. Bila demikian, seyogianya Kementerian
Keuangan paham dan menyetujui rencana penyehatan (lihat Pasal 7 ayat 1–7 KMK No
424/2003). Rencana penyehatan harus dituangkan dalam ‘rencana bisnis lima
tahun’, yang mana sebelum sampai kepada Menteri Keuangan tentu telah mendapat
persetujuan Menteri BUMN selaku pemegang saham. Rencana penyehatan harus
mendapat pengawasan ketat Bapepam-LK.
Demi menopang
ekuitas, atas izin Bapepam LK, ditempuh cara reasuransi 2009. Cara ini seharusnya
tertuang dalam ‘rencana bisnis lima tahun’ karena bagian dari program
penyehatan. Model reasuransi umumnya dalam kurun waktu three years deal sehingga akan berakhir 2012.
Era OJK
Era Bapepam-LK
berakhir melalui UU Nomor 21/2011, tonggak lahirnya Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Model reasuransi tidak kunjung menyembuhkan, selanjutnya ditempuh cara
revaluasi aset pada 2013. Revaluasi meningkatkan aset Jiwasraya dari Rp208
miliar menjadi Rp6,3 triliun. Revaluasi aset berdampak equity, Jiwasraya surplus Rp1,7 triliun. Surplus ekuitas hanya ada
di pembukuan akuntansi, bukan aset likuid yang dapat dicairkan sewaktu-waktu.
Alih alih
memperbaiki kinerja struktur permodalan, struktur portofolio, juga struktur
investasi, atas izin OJK Jiwasraya menjual produk JS Saving Plan dengan cost of
fund sangat tinggi.
Return guarantee-nya di
atas 9%, memaksa Jiwasraya mencari investasi high return. Polis produk ini
berdurasi lima tahun dan akan jatuh tempo 2018, benefit polis dapat dicairkan
setiap tahun. Oleh Jiwasraya, dana nasabah diinvestasikan pada instrumen saham
dan reksa dana yang berkualitas rendah.
Ini merupakan
‘bom waktu’ kedua. ‘Bom waktu’ pertama ialah defisit ekuitas. Kedua bom waktu
ini memicu default atau gagal bayar Jiwasraya atas kewajiban-kewajibannya. BPK
mengatakan bahwa produk saving plan
ialah produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi bagi Jiwasraya
sejak 2015. Pendapat ini benar. Namun, bagi praktisi asuransi, tentu paham
bahwa premi yang diperoleh bukan sekaligus diakui sebagai pendapatan.
Dari Rp100,
bila 25% ialah komisi, dan 40% ialah cadangan untuk polis berdurasi lima tahun,
yang dapat dibukukan sebagai pendapatan di tahun pertama hanya sebesar Rp9.
Laporan Keuangan 2017 menunjukkan Jiwasraya mampu membukukan laba Rp360,3
miliar. Namun, disematkan opini tidak wajar karena kekurangan pencadangan premi
Rp7,7 triliun. Berlanjut ke 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp15,3 triliun. Pada
September 2019, kerugian menurun jadi Rp13,7 triliun. Laporan terakhir pada
November 2019 menyebut Jiwasraya mengalami negative
equity Rp27,2 triliun.
Benang
merahnya ialah defisit ekuitas yang mengakibatkan Jiwasraya terpuruk dalam
kondisi insolven dan tidak ada upaya penyelamatan berarti oleh Kementerian BUMN
sejak 2006. Hanya ada dua opsi penyelesaian bila sebuah perusahaan asuransi
dalam kondisi insolven.
Perusahaan
asuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas wajib menyampaikan
rencana penyehatan keuangan yang disetujui pemegang saham dalam rangka memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas. Rencana penyehatan keuangan harus disampaikan kepada
menteri bersamaan penyampaian perhitungan tingkat solvabilitas.
Langkah-langkah
penyehatan, paling sedikit memuat salah satu rencana berikut. Pertama,
restrukturisasi kekayaan dan/atau kewajiban. Kedua, penambahan modal disetor.
Ketiga, pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan. Keempat,
melakukan penggabungan badan usaha.
Otoritas yang
berkewajiban dan bertugas sebagai pengawas sama. Semua standar yang tertuang
dalam PMK No 53/2012 pengganti KMK No 424/2003 abai dilaksanakan. Ketika kondisi
Jiwasraya kian amburadul, telunjuk pun mengarah ke mana-mana. Terlalu mahal
biaya yang harus dibayar akibat segala kelalaian ini.
Sumber: Media Indonesia, 1
Februari 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!