Oleh Ansel Deri
Sekretaris Papua
Circle Institute
KELOMPOK kriminal bersenjata (KKB) di Nduga, Papua, belakangan
terkesan membuat semua pihak perlu bekerja ekstra keras. Kelompok ini
disinyalir masih hidup di Nduga dan sejumlah wilayah lainnya di tanah Papua.
Mereka dituding
melakukan kekerasan saban waktu, Pemerintah Pusat pun setia melakukan
pendekatan sedikit melunak, soft approach melalui berbagai program yang
langsung menyentuh masyarakat akar rumput, grass root.
Namun, di lain
pihak -suka tidak suka-keberadaan KKB seperti melebur dan menyatu dengan
kehidupan sosial masyarakat. Ia (KKB) boleh jadi adalah produk sosial
pemerintah dan masyarakat yang perlu juga mendapat perhatian ekstra karena
berbagai aksi kekerasan kerap dikait-kaitkan dengan kelompok ini.
Ibarat kata
pepatah: anjing menggonggong, kafilah berlalu. Sepanjang lahir niat baik
menghentikan kekerasan dari kelompok ini, sepanjang itu pula kekerasan kerap
terjadi.
Kekerasan menemui
ruangnya di Nduga, kabupaten yang menyatuh dalam pesona Lorentz, taman nasional
terbesar Asia Tenggara seluas 2,4 juta hektar. Apa dan bagaimana KKB itu,
entalah. Pastinya, kelompok ini ibarat hantu menakutkan.
Pemerintah Papua,
aparat keamanan, baik Polda Papua maupun Kodam Cenderawasih,tentu lebih tahu.
Memandang dari jauh dan mengarahkan mata pada KKB sebagai satu-satunya sumber
kekerasan, terlalu dini.
Mengapa KKB masih
hidup dan kerap melakukan kekerasan bahkan tak sungkan membunuh warga, termasuk
aparat keamanan? Pertanyaan ini penting dijawab agar perlahan diketahui apa
motif di balik aksi kekerasan KKB bisa terurai demi menjaga keamanan dan
ketertiban.
Sehingga pemerintah
dan masyarakat leluasa menyelesaikan berbagai agenda percepatan pembangunan
Nduga, khususnya,dan Papua umumnya. Paling kurang ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan serius.
Pertama, Presiden
Jokowi perlu menggelar dialog yang melibatkan kementerian terkait, termasuk
pemangku kepentingan mulai dari pusat hingga daerah. Menunda dialog akan
membuka peluang kekerasan beranak pinak.
Kedua, Presiden
Jokowi segera pula mengundang Gubernur Papua, Kapolda, Bupati Nduga, Kapolres,
dan para tokoh masyarakat, pemimpin agama, tokoh pemuda, dan DPRP serta DPRD
Nduga untuk duduk satu meja mencari format ideal penyelesaian akar konflik agar
kekerasan tak berlaut-larut melanda Nduga.
Ketiga, evaluasi
secara menyeluruh pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua guna mengetahui sejauhmana efektivitas otsus di tingkat
masyarakat.
Evaluasi itu
bertujuan juga mendeteksi berbagai kekurangan sekaligus mencari format baru
yang lebih efektif, termasuk mempertimbangkan alokasi dana otsus dan mekanisme
pengawasannya yang melibatkan masyarakat paling bawah.
Mencermati kondisi
Nduga belakangan, dugaan saya komunikasi antarsejumlah elemen, baik pemerintah
pusat maupun dan institusi keamanan, belum berjalan baik. Sepintas, terkesan
masih menemui jalan buntu.
Di satu sisi, ada
permintaan agar aparat keamanan di Nduga ditarik keluar dari wilayah itu guna
mengurangi berbagai tindak kekerasan. Namun,di sisi lain, menarik aparat
keamanan keluar dari Nduga mengganjal upaya menjaga keamanan dan ketertiban.
Konflik berpotensi lebih meluas.
Insiden kontak
senjata dengan anggota KKB hingga menyebabkan satu anggota Brimob terluka
seperti yang terjadi Rabu, (26/2/2020), tentu tak diinginkan otoritas keamanan
terulang lagi.
Terang saja Kepala
Kepolisian Daerah Papua, Paulus Waterpaw, menolak personil TNI-Polri non-organik
ditarik dari Nduga. Kantor berita Antara, Jumat (28/2/2020) melaporkan,
Waterpaw berkeras personil TNI-Polri non-organik tak ditarik karena kehadiran
aparat tersebut atas nama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.Lagi
pula,disinyalir masih ada anggota KKB di wilayah itu.
Alasan lain,
pengalaman traumatik pada 2 Desember 2018. Kala itu, 17 karyawan PT Istaka
Karya meregang nyawa menyusul serangan KKB terhadap warga sipil dan aparat.
Sedang empat orang lain hilang, tak ketahuan rimbahnya hingga kini.
"Dengan adanya
insiden kontak tembak hingga menyebabkan anggota kami terluka, apa pasukan
harus ditarik dan jaminan apa yang diberikan pemda?" ujar Waterpaw tegas.
Komunikasi terkesan masih buntu. Kehadiran aparat TNI-Polri di Nduga masih
dilihat berbeda oleh pemangku kekuasaan lokal.
Wakil Bupati
Nduga,Wentius Namiangge,bahkan mengeluarkan ancaman. Pihaknya bakal menempuh
suaka politik bila pemerintah pusat tidak menarik pasukan dari Nduga.
Karena itu, ia
meminta segera lahir kejelasan penanganan pengungsi Nduga. Dalam keterangan
yang dilansir media Senin (24/2/2020) Wentius mengancam, jika menunggu selama
12 bulan tetapi pemerintah pusat tidak mau mendengar lagi untuk menarik anggota
TNI-Polri, ia melakukan suaka politik.
Pihaknya mengaku
telah menyambangi petinggi TNI-Polri dan Menko Polhukam, Mahfud MD, untuk
berkoordinasi terkait masalah Nduga. Sayangnya, ia berkilah belum ada
keseriusan dari pemerintah pusat guna mengatasinya.
Ancaman Wentius ini
disayangkan Sekda Papua, Hery Dosinaen. Wentius dinilai Hery mengabaikan
tanggung jawab sebagai pejabat negara. Hery berjanji segera memanggil Wentius
untuk mengklarifikasi ancaman tersebut.
Alternatif solusi
Papua umumnya dan
Nduga selalu memantik perhatian pemerintah pusat akibat konflik kekerasan yang
kerap terjadi. Namun, jika mau ditelusuri kembali, konflik Papua sudah
berlangsung sejak integrasi.
Sejak itu
keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kerap mengibarkan bendera
Bintang Kejora, selalu jadi momok bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Keinginan sebagian
warga lepas dari Indonesia, dijembatani dengan pemberlakuakn otonomi khusus
dengan kewenangan luas yang mewujud dalam berbagai peraturan di tingkat
lokal, seperti Perdasi, Perdasus hingga keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP).
MRP ialah wadah kultural warga asli untuk menyampaikan dan memperjuangkan
aspirasinya.
Dalam Heboh Papua
(2010), Amiruddin al Rahab melukiskan sekilas tentang Papua dalam sengketa
separatis, termasuk pengibaran Bintang Kejora dan bagaimana pola pendekatan
penanganan yang efektif.
Mengutip mantan
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Al Rahab menyebut, soal bendera Bintang Kejora, polisi saja maju.
Karena, soal bendera itu masalah hukum, tidak perlu tentara. Bendera naik lima
menit saja kan tidak apa-apa, dekati saja orangnya, tidak perlu dipukul.
Sedang tokoh
penggagas dialog damai Papua,Neles Tebai, malah mengeritik pemerintah.
Pemerintah Indonesia itu omong lain, tulis lain, lakukan lain.
Menurut intelektual
Papua Markus Haluk dalam Hidup atau Mati: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi
Manusia di Papua (2013), kekerasan, kekerasan, dan kekerasan lagi sebagai
reaksi atas berbagai berita tentang kekerasan di tanah Papua.
Kekerasan seakan
tak ada batas akhirnya; masih berlangsung hingga kini. Mengapa kekerasan
terus-menerus terjadi di tanah Papua? Pihak yang jadi korban kekerasan mencakup
warga sipil (Papua dan non-Papua) hingga anggota TNI-Polri. Selama aksi
kekerasan tidak dihentikan, selama itu pula korban akan terus berjatuhan.
Nduga, hemat saya,
boleh jadi adalah contoh nyata betapa aksi kekerasan mengalir sampai jauh;
menganga di depan mata dan hati pemerintah dan aparat keamanan. Membiarkan
masing-masing pihak menyelesaikan dengan otoritas dalam genggaman, berpeluang
memuluskan aksi kekerasan terus bertahan.
Konsekuensinya, rakyat
memanen mudarat ketimbang manfaat dari aksi-aksi kekerasan tersebut.
Namun, di lain
pihak dialog dengan semua pemangku kepentingan, baik pusat maupun lokal,
termasuk pimpinan keagamaan dan kultural lokal, hemat saya jauh lebih efektif
dan strategis.
Dialog dalam nuansa
kekeluargaan sebagai sesama anak bangsa dalam bingkai NKRI tak lebih seperti
pelita di tengah lorong gelap. Ini alternatif solusi jangka pendek.
Untuk hal ini,
tentu Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Papua, dan Bupati Nduga,
dan para tokoh Nduga dan Papua lebih paham. Pendekatan dengan pihak-pihak yang
dianggap anggota KKB perlu juga dilakukan bila keamanan dan kedamaian menjadi
kerinduan kolektif.
Sumber: bisnis.com, 18 Maret 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!