Putra Lembata, tinggal di Jakarta
MASALAH pembalakan liar (illegal logging) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia kian hari kian meningkat. Pelakunya tak hanya melibatkan oknum pejabat, namun juga para cukong kayu baik dalam maupun luar negeri. Setiap tahun, kerugian negara akibat praktek haram ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Sayangnya, pelakunya selalu luput dari jerat hukum dan yang selalu dikorbankan adalah masyarakat kecil.
Lihat saja kisah tragis yang menimpa Nurhadi (35). Warga Karanganyar Pethuk, Pilang, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ini rubuh meregang nyawa setelah dianiaya petugas penjaga hutan (waker) pada Selasa 13 Juni lalu. Nurhadi diberitakan hanya bermaksud mencari kayu di hutan untuk dijual guna menopang ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Padahal, fakta lain menyebutkan, para pelaku pencurian kayu bebas berkeliaraan.
Peristiwa tragis ini tentu tak diterima Sarjiah (27), istri Nurhadi dan anak semata wayangnya, Ella (6). Atas nama keadilan, bersama tiga kerabat lainnya, Sarjiah mengadukan kasus ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Mereka meminta LBH untuk ikut membantu proses hukum kematian Nurhadi.
Suatu kenyataan yang membuat kita kecewa dan prihatin karena masyarakat kecil selalu berada di sisi yang lemah. Sedangkan para pelaku yang nota bene adalah oknum-oknum berduit dan memiliki tali temali dengan kekuasaan tak pernah diganjar dengan hukuman setimpal. Mereka selalu berkelit sehingga bebas dari jeratan hukum. Atau setidaknya berusaha dengan berbagai cara untuk mengelabui publik bahwa merekalah bukan pelaku utama. Tapi hukum pun sepertinya tak memberikan ruang sedikitpun bagi para pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Sebuah kasus yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) belum lama bisa menjelaskan kepada kita betapa hukum tak pernah surut bagi tersangka illegal logging. Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim Irjen Pol DPM Sitompul usai Rapat Koordinasi (Rakor) antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal (Pol) Sutanto dan Menteri Kehutanan (Menhut) Malam Sambat Kaban di kantor Departemen Kehutanan (Dephut), kawasan Senayan, Jakarta, Kamis, 6/7 lalu mengaku, tiga tersangka yakni Mayjen (Purn) TNI Gusti Syariffudin (Direktur PT TBP), Arifin (Direktur PT TBC), dan Bahrul Hakim (Direktur CV FJA) telah ditahan.
Sitompul menyebutkan, ketiganya bakal dijerat dengan Pasal 50 ayat 3 huruf e, Pasal 78 ayat 5 huruf g UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dengan ancaman penjara sekitar dua tahun. Pihak Polda Kaltim juga berhasil menyita 18 unit alat berat, 6.214 meter kubik kayu yang dilelang senilai Rp 3,250 miliar. Pertanyaan pun muncul: bagaimana ketiga pelaku itu bisa leluasa beroperasi? Ternyata ketiganya juga telah mendapatkan izin prinsip dari Gubernur Kaltim untuk pemanfaatan lahan Kelapa Sawit. Sayangnya, belum ada rekomendasi pelepasan lahan, mereka sudah bekerja dan lahan sudah dijual.
Kasus lain yang terjadi di Propinsi Papua menunjukkan hukum belum maksimal menjerat pelaku illegal logging. Padahal, para pelaku yang terjaring dalam Operasi Hutan Lestari II di Papua lolos dari jerat hukum. Sampai-sampai Kapolri Sutanto dan Menteri Malam Sambat Kaban dibuat kecewa. Kekecewaan itu beralasan karena para pelaku justru divonis bebas. "Kami kecewa dengan hasil vonisnya. Kami berharap ada vonis yang berat karena vonis berat itu berarti sekali untuk para pelaku illegal logging," tegas Kapolri Sutanto usai rapat koordinasi hasil Operasi Hutan Lestari di Dephut, Jakarta. (Detikcom, 5/7 2006). Padahal, Kapolri berharap agar vonis berat itu memberikan efek jera. Terlebih selama ini, yang menjadi aktor utama itu cukong-cukong. Selama ini mereka masih berkeliaran dan mafia pun masih tetap ada.
Kerusakan tercepat di dunia
Dalam sebuah diskusi penulis dengan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ir. Longgena Ginting dan aktivis lingkungan yang kini menjadi Direktur Walhi NTT, Melkhior Koli Baran, di kantor Walhi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Ginting mengatakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti semenit 7,2 hektar yang rusak. Bila kerusakan hutan terus terjadi dan tak ada kampanye untuk menghentikannya maka pada tahun 2005 hutan hutan dataran rendah Sumatera akan habis. Sedangkan pada 2010 giliran hutan di dataran rendah Kalimantan bakal lenyap.
Merujuk pada hasil penelitian World Research Institute, sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat, kata Ginting, dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Ini artinya hutan Indonesia tinggal 28 persen. Bahkan data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan bahwa sebanyak 30 juta hektar hutan di Indonesia telah rusak parah. Itu artinya, 25 persen rusak parah.
Berbagai penyebab kerusakan hutan di Indonesia selalu mencuat dalam berbagai forum seminar ataupun diskusi yang melibatkan masyarakat, pemerintah, pakar, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi. Pengamat kehutanan Titus Sarijanto menyebutkan, ada tiga penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Pertama, adanya kerancuan kewenangan antara pusat dan daerah sehingga menyebabkan terjadinya tumpang-tindih perizinan atau ketidaksinkronan antara pusat dan daerah. Dampaknya, penebangan kayu secara ilegal marak di mana-mana sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Kedua, keikutsertaan atau keterkaitan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan belum terealisasi sehingga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan belum merasa memiliki dan tidak mau menjaga keselamatan hutan. Ketiga, aparat keamanan belum berhasil menegakkan aturan hukum yang mengkibatkan penyelundupan kayu terus berlangsung. (Media, 19 Juli 2002)
Problematika kehutanan seperti ini tentunya harus ditangani pemerintah dengan bijak dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkesinam-bungan (sustainable). Ber-bagai upaya mengatasi prak-tek illegal logging namun hasilnya masih jauh dari ha-rapan semua pihak. Keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan, dan Penggunaan Kawasan Hutan dirasakan masih sentralistis. Bahkan PP ini kian rancu dengan kehadiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Sejumlah keluhan dari daerah kerap menyoal kebi-jakan kehutanan yang sen-tralistis. Pusat kerap dituding mengeluarkan kebijakan kehutanan tanpa memperhatikan atau mendengar masukan pemerintah daerah (pemda). Atas nama otonomi daerah bisa tergelincir (digelincirkan?) sebagai pihak yang salahmemberikan perijinan di bidang kehutanan. Sedang di lain pihak Pemerintah Pusat berdalih menjaga kelestarian dan kesinambungan hutan namun justru menghambat kreativitas pemda membangun daerahnya. Tak heran jika seorang gubernur yang mengeluarkan sebuah surat keputusan (SK), toh, isinya justru bertentangan dengan SK yang dibuat Menhut, misalnya. Ini hal lain yang menyertai problematika kehutanan kita saat ini. Maka tak ada pilihan kecuali menyamakan persepsi dalam kebijakan pembangunan pengelolaan hutan sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara pusat dan daerah. Namun, jika hal itu tidak terjadi maka sepanjang itu pula potret buram hutan yang bisa kita saksikan di seantero negeri.
Lihat saja kisah tragis yang menimpa Nurhadi (35). Warga Karanganyar Pethuk, Pilang, Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ini rubuh meregang nyawa setelah dianiaya petugas penjaga hutan (waker) pada Selasa 13 Juni lalu. Nurhadi diberitakan hanya bermaksud mencari kayu di hutan untuk dijual guna menopang ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Padahal, fakta lain menyebutkan, para pelaku pencurian kayu bebas berkeliaraan.
Peristiwa tragis ini tentu tak diterima Sarjiah (27), istri Nurhadi dan anak semata wayangnya, Ella (6). Atas nama keadilan, bersama tiga kerabat lainnya, Sarjiah mengadukan kasus ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Mereka meminta LBH untuk ikut membantu proses hukum kematian Nurhadi.
Suatu kenyataan yang membuat kita kecewa dan prihatin karena masyarakat kecil selalu berada di sisi yang lemah. Sedangkan para pelaku yang nota bene adalah oknum-oknum berduit dan memiliki tali temali dengan kekuasaan tak pernah diganjar dengan hukuman setimpal. Mereka selalu berkelit sehingga bebas dari jeratan hukum. Atau setidaknya berusaha dengan berbagai cara untuk mengelabui publik bahwa merekalah bukan pelaku utama. Tapi hukum pun sepertinya tak memberikan ruang sedikitpun bagi para pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Sebuah kasus yang terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim) belum lama bisa menjelaskan kepada kita betapa hukum tak pernah surut bagi tersangka illegal logging. Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim Irjen Pol DPM Sitompul usai Rapat Koordinasi (Rakor) antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal (Pol) Sutanto dan Menteri Kehutanan (Menhut) Malam Sambat Kaban di kantor Departemen Kehutanan (Dephut), kawasan Senayan, Jakarta, Kamis, 6/7 lalu mengaku, tiga tersangka yakni Mayjen (Purn) TNI Gusti Syariffudin (Direktur PT TBP), Arifin (Direktur PT TBC), dan Bahrul Hakim (Direktur CV FJA) telah ditahan.
Sitompul menyebutkan, ketiganya bakal dijerat dengan Pasal 50 ayat 3 huruf e, Pasal 78 ayat 5 huruf g UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dengan ancaman penjara sekitar dua tahun. Pihak Polda Kaltim juga berhasil menyita 18 unit alat berat, 6.214 meter kubik kayu yang dilelang senilai Rp 3,250 miliar. Pertanyaan pun muncul: bagaimana ketiga pelaku itu bisa leluasa beroperasi? Ternyata ketiganya juga telah mendapatkan izin prinsip dari Gubernur Kaltim untuk pemanfaatan lahan Kelapa Sawit. Sayangnya, belum ada rekomendasi pelepasan lahan, mereka sudah bekerja dan lahan sudah dijual.
Kasus lain yang terjadi di Propinsi Papua menunjukkan hukum belum maksimal menjerat pelaku illegal logging. Padahal, para pelaku yang terjaring dalam Operasi Hutan Lestari II di Papua lolos dari jerat hukum. Sampai-sampai Kapolri Sutanto dan Menteri Malam Sambat Kaban dibuat kecewa. Kekecewaan itu beralasan karena para pelaku justru divonis bebas. "Kami kecewa dengan hasil vonisnya. Kami berharap ada vonis yang berat karena vonis berat itu berarti sekali untuk para pelaku illegal logging," tegas Kapolri Sutanto usai rapat koordinasi hasil Operasi Hutan Lestari di Dephut, Jakarta. (Detikcom, 5/7 2006). Padahal, Kapolri berharap agar vonis berat itu memberikan efek jera. Terlebih selama ini, yang menjadi aktor utama itu cukong-cukong. Selama ini mereka masih berkeliaran dan mafia pun masih tetap ada.
Kerusakan tercepat di dunia
Dalam sebuah diskusi penulis dengan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ir. Longgena Ginting dan aktivis lingkungan yang kini menjadi Direktur Walhi NTT, Melkhior Koli Baran, di kantor Walhi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Ginting mengatakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Ini berarti semenit 7,2 hektar yang rusak. Bila kerusakan hutan terus terjadi dan tak ada kampanye untuk menghentikannya maka pada tahun 2005 hutan hutan dataran rendah Sumatera akan habis. Sedangkan pada 2010 giliran hutan di dataran rendah Kalimantan bakal lenyap.
Merujuk pada hasil penelitian World Research Institute, sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat, kata Ginting, dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Ini artinya hutan Indonesia tinggal 28 persen. Bahkan data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan bahwa sebanyak 30 juta hektar hutan di Indonesia telah rusak parah. Itu artinya, 25 persen rusak parah.
Berbagai penyebab kerusakan hutan di Indonesia selalu mencuat dalam berbagai forum seminar ataupun diskusi yang melibatkan masyarakat, pemerintah, pakar, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi. Pengamat kehutanan Titus Sarijanto menyebutkan, ada tiga penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Pertama, adanya kerancuan kewenangan antara pusat dan daerah sehingga menyebabkan terjadinya tumpang-tindih perizinan atau ketidaksinkronan antara pusat dan daerah. Dampaknya, penebangan kayu secara ilegal marak di mana-mana sehingga menyebabkan kerusakan hutan. Kedua, keikutsertaan atau keterkaitan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan belum terealisasi sehingga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan belum merasa memiliki dan tidak mau menjaga keselamatan hutan. Ketiga, aparat keamanan belum berhasil menegakkan aturan hukum yang mengkibatkan penyelundupan kayu terus berlangsung. (Media, 19 Juli 2002)
Problematika kehutanan seperti ini tentunya harus ditangani pemerintah dengan bijak dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkesinam-bungan (sustainable). Ber-bagai upaya mengatasi prak-tek illegal logging namun hasilnya masih jauh dari ha-rapan semua pihak. Keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan, dan Penggunaan Kawasan Hutan dirasakan masih sentralistis. Bahkan PP ini kian rancu dengan kehadiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Sejumlah keluhan dari daerah kerap menyoal kebi-jakan kehutanan yang sen-tralistis. Pusat kerap dituding mengeluarkan kebijakan kehutanan tanpa memperhatikan atau mendengar masukan pemerintah daerah (pemda). Atas nama otonomi daerah bisa tergelincir (digelincirkan?) sebagai pihak yang salahmemberikan perijinan di bidang kehutanan. Sedang di lain pihak Pemerintah Pusat berdalih menjaga kelestarian dan kesinambungan hutan namun justru menghambat kreativitas pemda membangun daerahnya. Tak heran jika seorang gubernur yang mengeluarkan sebuah surat keputusan (SK), toh, isinya justru bertentangan dengan SK yang dibuat Menhut, misalnya. Ini hal lain yang menyertai problematika kehutanan kita saat ini. Maka tak ada pilihan kecuali menyamakan persepsi dalam kebijakan pembangunan pengelolaan hutan sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara pusat dan daerah. Namun, jika hal itu tidak terjadi maka sepanjang itu pula potret buram hutan yang bisa kita saksikan di seantero negeri.
Sumber: Pos Kupang, 21 Juli 2006
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!