Headlines News :
Home » » Insiden Malibaca: Peluru Maut di Tapal Batas

Insiden Malibaca: Peluru Maut di Tapal Batas

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, March 29, 2007 | 10:20 AM

Tiga warga negara Indonesia, Jumat (6/1) lalu rebah meregang nyawa setelah terkena peluru Police Border Unit Timor Leste di Sungai Malibaca, tapal batas kedua negara itu.

Suster Maria Sipriana, PRR sedih setelah menonton berita kematian tiga warga sipil Indonesia yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi swasta, Minggu (8/1) lalu menyusul insiden penembakan di sekitar Sungai Malibaca.

Hati biarawati Katolik dari Konggregasi Puteri Reinha Rosari (PRR) pun gundah karena ketiga orang itu adalah warga eks pengungsi Timor Timur yang kini menetap di Kampung Sakutren, Kecamatan Rainhat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Maklum saja. Biarawati asal Desa Puor, Kabupaten Lembata, NTT lama bertugas di Timor loro sae (matahari terbit). Ia merasa punya hubungan batin dengan masyarakat Timor Leste setelah sekian lama menetap di negeri itu.

Sejak tahun 1996 hingga Agustus 1997, misalnya, Sr Sipriana PRR menjadi Kepala TK St Bernadet Soubirous, Aimutin, Dili. Begitu pula sejak tahun 2000 hingga Agustus 2002 juga dipercaya lagi menjadi Kepala TK St Maria Goreti Becora, Dili sekaligus pimpinan asrama Mater Dei.

“Saat itu saya mendapat tugas lagi dari pimpinan Tarekat PRR menjadi pimpinan komunitas kami di Kuluhun, Kota Dili. Dari pengalaman tugas dan pengabdian itu saya mengenal umat lebih dekat,” katanya.
Keramah tamahan dan solidaritas warga yang dilayani selama beberapa tahun membekas di hati Sr Sipriana, PRR. Perangai orang Timor Leste yang begitu santun kerap dijadikan sharring-nya selama menjalani kehidupan membiara.

Misalnya, saat bertugas di Pontianak, Kalimantan Barat atau di Jakarta. “Masyarakat sangat ramah dan hidup dalam suasana kebersamaan dan persaudaraan. Mereka mudah diajak kerja sama dalam segala hal positif untuk membangun mental dan spiritualnya,” ujar Sr Sipriana, PRR kepada penulis di Jakarta, (12/1) lalu.

Suster lulusan SMAK Kawula Karya Lewoleba, Lembata ini mengakui, sekalipun hanya umat di tempat tugasnya dan beberapa tempat yang ia kunjungi menyertai hari-hari pengabdiannya sebagai biarawati, toh, ia berkesimpulan sementara bahwa tipikal masyarakat Timor Leste umumnya sangat santun dalam berinteraksi.

Mereka sangat ramah dan bisa hidup akrab satu sama lain sekalipun berbeda paham politiknya. Begitu pula mereka cepat akrab dengan orang yang baru dikenal.

Insiden Malibaca


Sayang, peristiwa Jumat (6/1) siang di Sungai Malibaca, Turiskain, Belu dirasa Sr Sipriana, PRR bak petir di siang bolong dan mengusik akal sehat. Bahkan khabar itu pun telah menohok masyarakat dan Pemerintah Indonesia.

Apalagi, Presiden Timor Leste Jose Alexandre Xanana Gusmao baru merayakan Natal 2005 di Katedral Jakarta telah pula menumbuhkan semangat kasih dan solidaritas di antara sesama warga Timor loro sae nun di Timor bagian barat.

Juga belum lama berselang Xanana Gusmao mengunjungi Kupang untuk meresmikan Kantor Konsulat Timor Leste beberapa waktu sebelumnya untuk lebih memudahkan hubungan bilateral antara Jakarta - Dili.

Dalam suasana penuh keakraban Xanana mengajak eks warga Timor Timur yang tinggal di Timor barat untuk pulang kampung halaman Timor Leste untuk bergandengan tangan membangun tanah leluhur mereka.

Kisah tragisnya bermula pada Jumat (6/1) siang sekitar pukul 11.00 WITA. Saat itu lima warga sipil yakni Stanis Mau Bere (26), Jose Maria Freitas (38), Kandidu Mali (26), Egidius Dasi Leto (25), dan Elias Tavares (16) bermaksud mencari ikan di Sungai Malibaca.

Menurut Kapolres Belu Ekotrio Budhiniar, siang itu kelima warga Indonesia itu tiba di Sungai Malibaca. Pada saat itu, Kandidu memasuki kebun warga Timor Leste untuk mengambil jagung.

Aksi Kandidu ternyata berada dalam intaian Police Border Unit Timor Leste yang saat itu tengah berpatroli. Tiba-tiba saja kelimanya dikepung dan diberondong tembakan sebanyak lima kali. Nyawa Egidius dan Elias selamat.

Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Tiga orang yang baru saja asyik mencari ikan yakni Stanis, Jose, dan Kandidu akhirnya meregang nyawa setelah timah panas menembus tubuh mereka.

Tak beberapa lama, kata Ekotrio Budhiniar sebagaimana dirilis sebuah koran nasional, Egidius dan Elias mendengar enam kali tembakan, tetapi mereka tak tahu apa yang terjadi.

Keduanya lalu melaporkan insiden itu kepada Paul, tokoh eks pengungsi Timtim, yang kemudian dilaporkan lagi ke pos pengamanan perbatasan. Sedangkan jenazah ketiganya dilarikan ke rumah sakit di Dili untuk dilakukan visum et repertum.

Peristiwa itu menyulut beragam reaksi masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Pada Senin 9/1, di Atambua, Kota Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, sejumlah warga eks Timtim menggelar aksi unjuk rasa.

Demonstran mengutuk dan mengecam tindakan aparat kepolisian Timor Leste yang telah menembak mati tiga warga sipil itu. Mereka juga menuntut Pemerintah Timor Leste bertanggung jawab atas insiden penembakan itu.

Dalam aksi itu mereka membentangkan sejumlah spanduk yang bertulis antara lain TL dan PBB Jangan Munafik, Alkatiri Teroris, Fretelin Pembunuh Lama, Gantung Mari Alkatiri, dan Hentikan Hubungan Diplomatik RI-RDTL.

Massa juga membakar bendera nasional Timor Leste dan beberapa buah baju kaos bertuliskan Fretelin. Seorang demonstran, Elio Kaitano menilai insiden Malibaca telah mencoreng kesepakatan bersama antara Menlu Timor Leste Ramos Horta dan Menlu RI Hasan Wirajuda bahwa tidak ada tembakan di daerah zona bebas.

Pemerintah Indonesia akhirnya melayangkan nota protes kepada Pemerintah Timor Leste. Kemudian menuntut Timor Leste menyerahkan jenazah tiga WNI tersebut. Protes dan kecaman juga datang dari wakil rakyat di Senayan.

Menurut Ketua DPR Agung Laksono, DPR menyatakan protes terhadap Pemerintah Timor Leste atas terjadinya insiden penembakan tiga warga sipil itu. DPR juga mendesak Pemerintahan Xanana Gusmao untuk meminta maaf.

“Pimpinan Dewan mendesak dilakukan investigasi bersama, menangkap dan mengadili pelakuknya dan harus ada permintaan maaf dari Pemerintah Timor Leste,” ujar Agung.

Reaksi atas insiden itu juga datang Danrem 161/Wirasakti Kupang Noch Bola. Bola menyampaikan bahwa perlakuan yang ditunjukkan aparat kepolisian Timor Leste itu melanggar hak-hak azasi manusia (HAM).

“Kita berharap pemerintah pusat serius dengan peristiwa ini sehingga tidak terulang lagi di kemudian hari. Mereka (RDTL) sudah melanggar kesepakatan yang sudah dibuat, di mana tidak boleh ada tembakan di perbatasan. Apalagi sampai menembak mati warga sipil yang tidak bersenjata. Ini kan sudah melanggar HAM," ujar Bola kepada wartawan di Atambua, Senin (9/1) lalu.

Danrem juga membantah tudingan Menlu Timor Leste Ramos Horta yang mengatakan bahwa Timor bagian barat (NTT) merupakan basis milisi. Bahkan ia menganggap Ramos Horta keliru kalau mengatakan bahwa di Timor bagian barat merupakan basis milisi.

“Saya tegaskan bahwa tidak ada milisi. Kalau eks milisi, ya. Tapi mereka sekarang sudah jadi warga Indonesia dan mereka sudah secara sukarela menyerahkan senjata yang pernah mereka gunakan dulu. Dia (Ramos Horta-Red) salah besar kalau bilang milisi masih ada," tegas Bola.

Meski demikian, pihaknya meminta warga eks Timtim menyikapi kasus penembakan ini dengan kepala dingin. Mereka juga dihimbau agar jangan menciptakan kondisi yang dapat memperkeruh suasana di tapal batas.

Setelah melalui proses perundingan yang menegangkan, Selasa (10/1) lalu jenazah ketiga warga sipil itu akhirnya dipulangkan ke Atambua melalui Pos Perbatasan di Mota’ain.

Namun, saat di perbatasan dua jenazah yakni Kandidu dan Stanis dibawa terus ke Atambua untuk dimakamkan. Sedang jenazah Jose Maria Freitas, atas kesepakatan keluarganya yang tinggal di Atambua dan Timor Leste, dibawa kembali ke Timor Leste.

Jenazah Jose akan dimakamkan di kampung halamannya, Cailaco-Maliana, Distrik Bobonaro, Timor Leste atas permintaan Abel dos Santos, ayah kandung almahrum yang saat ini tinggal di Cailaco.

Pada saat itu dilakukan penandatanganan dokumen penyerahan jenazah oleh kedua perwakilan negara. Pemerintah Timor Leste diwakili antara lain oleh Wakil Kepala Polisi Nasional (PNTL) Ismail Babo.

Sedangkan dari Indonesia adalah Wakapolda NTT Guntur Gatot S. Hadir pula menyaksikan acara penandatanganan dokumen antara lain pejabat penghubung Polri di KBRI Timor Leste Minton Simanjuntak, Bupati Belu Joachim Lopez, Wakil Ketua DPRD Belu Ludovikus Taolin, Kepala Operasional Perwakilan KBRI Primanto Hendrasmoro, dan Wakapolres Belu J Benny WP.

Pada Rabu (11/1), jenazah Kandidu Mariano dan Stanislaus Mau Bere akhirnya dikuburkan dalam satu liang lahat hanya dipisahkan pembatas dari tripleks di lokasi penguburan di Haliwen, Kecamatan Kota Atambua.

Sebelum jenazah dikebumikan, diadakan Misa Requiem di Kapela Haliwen Atambua yang dipimpin Pastor Mikael Rossa, SVD yang dihadiri sekitar 500 warga eks Timor Timur dan umat Katolik Keuskupan Atambua.

Turut hadir saat itu sejumlah pejabat sipil dan militer. Nampak terlihat Wakil Bupati Belu Gregorius Mau Bili, Danrem 161/Wirasakti Noch Bola, dan Wakapolda NTT Guntur Gatot S. Hadir pula Dansektor Pamtas RI-RDTL Ediwan Prabowo, Dandim 1605/Belu Yulius Wijayanto, Wakapolres Belu J Benny WP, tokoh eks Timtim Joao Tavares, Eurico Gutteres, Joanico Cesario, dan Fransesco Soares Pareira.

"Kita sangat mengharapkan agar kasus ini merupakan yang terakhir, tidak terulang lagi. Selaku pimpinan TNI, saya menyampaikan rasa turut berbelasungkawa atas meninggalnya saudara kita ini," kata Bola.

Gubernur NTT Piet A Tallo melalui pesan singkatnya (SMS) kepada penulis, Kamis (12/1) mengatakan, saat ini masalah itu tengah dibahas bersama. Sedangkan Wakil Bupati Mau Bili mengatakan, selaku wakil pemerintah pihaknya akan menyurati pemerintah pusat agar serius menyelesaikan kasus tersebut.

Tentunya, usaha dan kerja keras dengan hati yang bening diharapkan bisa menghasilkan sesuatu yang memuaskan semua pihak. Pasalnya, insiden Malibaca bukan yang pertama kali. Pada 21 April 2005, Komandan Pos Makir, Teddy Setiawan juga tewas tertembus timah panas Police Border Unit Timor Leste.

Belum berlalu dari ingatan kasus Teddy, ujar Bola, sekarang muncul kasus tewasnya tiga warga sipil itu. “Saya berdoa dan berharap kiranya kasih adalah satu-satunya bahasa yang ada dalam benak sesama anak Timor baik yang ada di barat maupun timur (Timor Leste). Bahwa mereka adalah dua “saudara kandung” yang tinggal di tanah yang sama,” kata Sr Sipriana, PRR. (Ansel Deri)

Ket foto: Sr Maria Sipriana PRR (tengah) dan seorang rekan suster dari PRR bersama Pastor Florianus Waor Wujon, Pr dalam sebuah acara di aula Katedral Jakarta (gbr 1). Sr Sipriana (kanan) dan seorang rekan suster bersama anak-anak TK di Matraman, Jakarta Timur (gbr 2) dan (gbr 3) serius ngobrol dengan Drs Petrus Toda Atawolo, Sekretaris Daerah Kabupaten Lembata, NTT di depan Gereja St Joseph Boto, Lembata pada 4 Juli 2010 lalu.
Sumber: Koran Dwimingguan Mitra Bangsa Jakarta
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger