Pepatah ini selalu dipegang Evensius Lusi Lewotolok yang akrab dengan sapaan Even Tolok.
Betapa tidak. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Pendidikan Guru Kemasyarakatan (SPGK) Lewoleba, Lembata tahun 1989, Even langsung mengajar di kampungnya, Lewotolok, Ile Ape. Namun, honor yang tak seberapa saat itu membuat Even Tolok mengambil keputusan berhenti.
Ia sadar. Gajinya sebagai guru honorer tak seberapa. Apalagi, membeli sabun saja untuk waktu sebulan terancam. Profesi mulia itu ditinggalkan. Ia bertolak ke Ende. Di sana ia menemui seorang anggota keluarga yang kebetulan bekerja sebagai kontraktor.
Tapi lagi-lagi ia tidak merasa puas sehingga hanya bertahan enam bulan. Even Tolok akhirnya memilih melarat ke Malaysia. Suatu kebiasaan yang sudah mentradisi di kalangan orang Ile Ape dan Lembata umumnya sejak jaman baheula. Tujuannya, seba rupiah (cari uang) untuk gelekat lewotana (bangun kampung halaman).
Malaysia ternyata tak memberi kebahagiaan. Pria berbadan tambun ini hanya bertahan dua minggu di Tanah Jiran. Panggilan kampung halaman lebih kuat memenuhi rongga batinnya.
“Kalau punya surat-surat resmi, kita enjoy saja. Tapi kalau nggak maka di tempat kerja rasanya kita adalah target buruan Polisi Diraja Malaysia. Kalau ditangkap maka alamatnya di penjara. Saya tak bertahan dan segera tinggalkan Malaysia,” kata Even di Jakarta belum lama ini.
Setiba di Tarakan, Kalimantan Timur, Even lagi-lagi mengubah haluannya. Ia tak meneruskan perjalanan ke Ile Ape namun terus ke Sorong, Papua.
Di Sorong ia kembali mengabdikan diri sebagai guru agama Katolik. Setelah tujuh bulan mengajar, ia meneruskan studinya di Institut Pastoral Indonesia (IPI) program D-2. Setelah rampung, oleh Keusukupan Sorong ia ditempatkan di daerah pedalaman Sorong.
Selama mengabdi di sekolah tidak ada hambatan. Masalah utamanya hanya medan yang begitu sulit dan komunikasi dengan pihak luar. Untuk mencapai tempat tugas ia harus menggunakan pesawat.
Sesudah itu harus berjalan kaki selama dua hari baru mencapai sekolah tempat mengajar. Persitiwa tragis pernah menimpahnya. Dan baginya, sulit dilupakan selama hidup. Pada 13 April 1996, ia menderita sakit parah.
Ia sendiri tidak tahu persis penyakit apa yang dideritanya itu. Dalam hati, hanya doa yang selalu menemaninya. Praktis, tugas-tugas di kelas menjadi terganggu. Dalam penderitaan yang tak tertahankan, ia memaksakan diri segera keluar dari tempat tugas agar ia bisa berobat.
Pada saat menunggu pesawat tujuh kepala kampung menangis dan menahannya agar tak usah pergi. Mereka cemas tuan guru tak mengajar lagi. Mereka masih sangat membutuhkan tenaganya.
“Mereka minta agar tuan guru tak usah pergi. Takut tidak kembali lagi mengajar. Di kampung itu saya dipanggil tuan guru. Ini ungkapan ketulusan karena profesi guru begitu mulia di mata mereka,” kata Even Tolok.
Ia pun meyakinkan mereka. Bahwa kalau bertahan di kampung itu maut bisa menjemputnya. Mereka akhirnya memahami keputusan Even. Setelah sembuh, ia kembali menjalani rutinitas hariannya sebagai guru.
Tak lama tugas ini ia tanggalkan. Even melamar pada PT Sinar Mas. Perusahaan ini bergerak di perkebunan kelapa sawit. Tuan guru menjadi sopir alat berat sekaligus Ketua Serikat Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Taore, Kabupaten Jayapura.
Berkat posisi sebagai sopir dan pimpinan serikat pekerja, nama tuan guru terus meroket. Tahun 1999, ia behenti dari Sinar Mas dan masuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Taore. Saat itu ia dipercayakan menjadi ketua.
Kemenangan partai itu mengantar tuan guru menuju kursi wakil rakyat di DPRD Kabupaten Jayapura bersama Damas Kabelen, bekas imam SVD yang lama bertugas sebagai pastor di Lembata.
“Saya yakin kepercayaan ini berkat doa dan dukungan masyarakat di Taore. Mereka tahu apa yang sudah saya lakukan untuk mereka sehingga mereka memberi kepercayaan ini lagi kepada saya. Ini juga berkat doa kepala Tuhan dan lewotana,” katanya merendah.
Sebagai anggota DPRD ia punya komitmen memperjuangkan aspirasi masyarakat Taore yang merupakan daerah pemilihannya. Aspirasi masyarakat tidak boleh dianggap sepele. Dan ia sudah bertekad memperjuangkannya.
Perjuangan itu tak lepas dari dukungan sang istri, Maria Farida Rosmiati Renwarin. Ida adalah adik semester di IPI. Mereka berdua menikah pada 9 Agustus 1997 di Gereja Sang Penebus Sentani. Prosesi pemberkatan dilakukan Pastor Gabriel Maing, OFM, pastor kelahiran Lebatukan, Lembata.
Even mengatakan, hidup bersama dengan orang-orang di pedalaman Papua bukan sesuatu yang sulit. Orang Papua bisa bekerja bersama dengan siapa saja sepanjang kita memahami kulturnya. Keberpihakannya terhadap masyarakat di pedalaman membuat tuan guru menjadi tumpuan harapan mereka. Even punya pengalaman. Suatu saat ada seorang ibu yang menderita kanker payudara.
Disertai suaminya, si ibu menemui Even Tolok untuk meminta menyembuhkan kanker payudara yang sudah membengkak. Even bingung karena tak punya obat untuk bisa membantu ibu itu.
“Saya mohon tuan guru menyembuhkan penyakit istri saya ini. Kalau tara (tidak) bisa, istri saya bisa mati. Tolong, tuan guru. Saya diam dan berdoa dalam hati. Tuhan, apa yang bisa saya lakukan untuk saudariku ini?” katanya dalam hati.
Even akhirnya mengambil air di gelas kemudian berdoa. Ia yakin dengan air ini Tuhan menyembuhkannya. Apalagi, kalau ke kota untuk beli obat tak mungkin karena sangat jauh.
“Setelah saya berdoa memohon bantuan Tuhan, air itu saya serahkan kepada ibu itu untuk meminumnya. Sisanya kemudian ia oleskan sendiri di payudaranya. Tak lama benjolan itu pecah. Selang sehari, sakitnya hilang. Saya hanya yakin ini rahasia Tuhan. Sejak itu warga yakin kalau saya ini dukun. Ini kan soal ketulusan meminta kepada Paitua di atas,” kata Even Tolok tertawa. Paitua yang dimaksud tuan guru tak lain Allah sendiri. (Ansel Deri)

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!