Headlines News :
Home » » Tambang di Lembata: Tak Sudi Asing di Lewotana

Tambang di Lembata: Tak Sudi Asing di Lewotana

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, March 25, 2008 | 1:22 PM

Bupati dan DPRD Lembata berkukuh menggolkan rencana tambang guna menggenjot kas daerah. Mayoritas masyarakat menolak tegas karena trauma masa lalu. Rencana itu pun ditengarai sarat manipulasi.

Anastasia Gea dan Rafael Suban Ikun adalah dua sosok yang mengemban tugas sebagai pelayan masyarakat di desanya, Kecamatan Lebatukan, Lembata. Mereka tak mau kehilangan muka di hadapan masyarakatnya yang telah memilih mereka menjadi pemimpin. Gea adalah ibu rumah tangga. Ia dipercaya warga Lamadale menjadi kepala desa (kades).

Sedang Suban Ikun mengemban tugas sebagai Kepala Desa Dikesare. Segala kebijakan yang mereka jalankan benar-benar hasil urun rembuk warga desa. Karena itu, tak pernah mengkianati jabatan yang diembannya. Mereka sadar. Jabatan itu amanah rakyat. Jika ada kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat desa? Semua ada di tangan masyarakat. Kalau masyarakat menolak maka itu tak bisa diotak atik. Siapapun dia. Titik.

Sikap dua kades itu yang menyata saat Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dan DPRD Lembata sepakat menerima kehadiran PT Merukh Lembata Coppers (Selanjutnya disingkat MLC) melakukan eksplorasi dan eksploitasi emas, tembaga, bahan mineral ikutan lainnnya di perut Lembata. MLC adalah sebuah perusahaan patungan antara Pemkab Lembata dan PT Pukuafu Indah (PI) milik Yusuf Merukh. PT PI adalah salah satu perusahaan di bawah kendali kelompok usaha Merukh Enterprises (ME). Begitu pula dengan sosok Abu Samah, pemangku ulayat Puakoyong (wilayah prosepek tambang) dari Kampung Peu Uma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri.

Apa kata mereka? Kita dengar saja. “Saya tetap punya prinsip bahwa soal jabatan saya tidak pikir. Soal jabatan itu hanya sementara. Sehingga menyangkut rencana pertambangan itu saya lebih memihak masyarakat untuk tetap tolak tambang. Walaupun apa yang terjadi menyangkut jabatan, saya sendiri tidak takut. Kalau toh sikap penolakan saya dan masyarakat berdampak pada penghentian program pembangunan di desa ini, saya tidak menyesal. Saya dan masyarakat sudah hidup dari dulu sampai sekarang dengan hasil usaha dari pertanian, perkebunan, dan tanaman-tanaman komoditi,” ujar Gea.

Konsistensi sikap penolakan mulai nampak menuai akibat. “Upaya untuk dipersulit tetap ada, tapi saya berada di pihak rakyat. Bahwa saya berada dengan rakyat dan apapun saya di pihak rakyat, bersama rakyat. Jabatan ini tidak bertanggung jawab pada pejabat. Saya bersama rakyat karena mereka yang pilih saya sekitar 400-an,” tegas Ikun, penjual es keliling saat masih sekolah di Waiwerang, Adonara, Flores Timur (Flotim).

Sedang Abu Samah? “Emas itu tidak boleh dibongkar bangkir. Nanti tanah dan kampung ini jadi ringan. Nanti kita hancur sampai anak cucu-cece kita. Sebab saya tidak mau setelah 20 atau 30 tahun mendatang saya sudah jadi tulang belulang, musibah ini muncul. Mereka (anak cucu-cece) akan maki hancur saya. Sehingga bagaimanapun saya tetap pertahankan tanah kami. Pemali besar kalo kita jual tanah ini. Sebab, kita pasti tanggung akibatnya,” tegas Abu Samah (Kertas Posisi JPIC-OFM Indonesia, 2007).

Mengapa Ditolak

Mayoritas masyarakat di Kecamatan Lebatukan dan Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) yang merupakan merupakan wilayah prospek tambang, menolak tegas rencana itu. Di Kedang, misalnya, nuansa penolakan terasa sangat kuat. Mereka masih trauma dengan pengalaman buram kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah itu selama kurun waktu 1984–1990 seperti PT Baroid Indonesia (BI), PT Sumber Alam Lembata (SAL), dan PT Nusa Lontar Mining (NLM). Saat itu, Lembata masih bergabung dengan kabupaten induk, Flores Timur.

Setelah tiga berusahaan itu selesai beroperasi, justru hanya pepesan kosong. Janji rumah ibadah, sekolah, dan rumah tinggal bagi masyarakat lokal tak pernah terealisasi. Itu kesaksian Petrus Oha (67), bekas buruh tambang PT BI. Buruh lainnya, Petrus Bisa mengaku ia dan rekan-rekan harus masuk dalam lubang sedalam 23 meter dengan menggunakan tangga. Pada malam hari, jika lembur mereka hanya diberi kopi, pisang, dan telur ayam sebagai pengganti makanan. Sedang ia dan rekan-rekannya diupah Rp. 1000/hari. Bahkan janji perusahaan memberi genset atau bantuan air minum tak pernah terwujud. Sebuah sungai akhirnya tercemar dan tak bisa menjadi bahan baku warga sekitar.

Penolakan masyarakat Lembata atas rencana tambang oleh MLC didasarkan atas pertimbangan sosial-ekonomi dan ekologis. Mereka tak mau lahan pertanian musnah dan banjir melanda wilayahnya. Mereka juga tak mau dipindahkan ke tempat lain karena sudah menyatu dengan kampung halaman yang telah menghidupi mereka. Dan satu hal pasti bahwa masyarakat Lembata adalah masyarakat agraris sehingga sangat bijak kalau sektor pertanian diberdayakan jika mereka ingin dihargai.

Ongkos ekonomi, sosial, dan lingkungan yang harus dibayar mahal akibat pertambangan di Atanila sejatinya memberikan pelajaran berharga. Dalam kasus ini, Bupati Manuk punya komentar. “Di Atanila, perusahaan bukan hanya mengangkut barit, tetapi sesungguhnya mereka (perusahaan) juga mengangkut emas,” kata Bupati Manuk saat berlangsung pertemuan dengan Keluarga Besar Lembata (KBL) Jakarta di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta Pusat, 22 Agustus 2007. Jadi, yang tersisa bagi masyarakat hanya rasa janji angin surga. Kekhawatiran bisa meluas. Jangan sampai usaha menggolkan rencana itu karena ambisi mengejar setoran sesaat namun menggadaikan masyarakat, alam, lingkungan, dan kearifan local.

Dalam konteks rencana tambang oleh MLC, Bupati dan DPRD Lembata akan sangat dihormati rakyatnya jika memutuskan membatalkan rencana tambang. Kemudian memikirkan masalah-masalah urgen seperti membangun ruas jalan memadai guna menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Tak perlu terhipnotis janji perusahaan membangun apartemen bagi para petani Leragere (Lebatukan) atau nelayan di Pantai Bean di Kedang. “Aneh, kalau seorang petani yang setiap hari hidup di kebun dengan tofa, parang, dan cangkul tiba-tiba hidup di apartemen lengkap dengan perabotnya. Petani mana yang keluar-masuk apartemen untuk pigi kebun?” ujar Pastor Marselinus Vande Raring, SVD retoris.

Pada 9-13 Agustus 2007 lalu, dua kelompok tim studi banding bentukan Bupati diterjunkan ke lokasi pertambangan PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Pulau Sumbawa, NTB. Dua perusahaan ini sahamnya juga dimiliki Yusuf Merukh, yang bakal melebarkan sayap usahanya lewat MLC di Lembata. Tim itu akan melakukan studi banding bagaimana nantinya jika MLC jadi beroperasi di Lembata. Masalahnya, tim NMR tak ketahuan batang hidungnya di Mesel maupun Pantai Buyat. Bahkan seorang anggota tim studi banding mengaku jujur bahwa mereka tak sampai di lokasi karena kemalaman di jalan dan langsung kembali ke Manado. “Kami tak sampai di lokasi tambang PT Newmont Minahasa Raya di Mesel atau Pantai Buyat yang selama ini diberitakan tercemar,” katanya.

Koalisi Jakarta untuk Tolak Tambang Lembata yang terdiri dari JPIC OFM Indonesia dan PADMA Indonesia juga mendapatkan informasi serupa. Tiga personil koalisi diterjunkan ke Desa Ratatotok Timur (Pantai Buyat), Ratatotok maupun Mesel pun mendapat kabar tak ada tim studi banding dari Lembata. Seorang karyawan ex NMR, Berty Pontoh, mengaku kalau ada kunjungan pihak luar mereka harus diberitahu untuk memfasilitasi selama kunjungan di ex NMR. “Nyanda (tidak) ada kunjungan tim dari Lembata di sini. Biasanya, kalau ada kunjungan kami pasti diberitahu,” kata Berty Pontoh.

Bahkan Wakil Ketua BPD Ratatotok Timur Jafar Sarundayang pun memastikan bahwa tak ada kunjungan. “Kalau ada kunjungan tim dari Lembata maka hukum tua (kepala desa) akan beritahu kami untuk hadir dan menerima mereka. Tapi benar tidak ada kunjungan,” kata Jafar Sarundayang. Tim yang mampir di kantor Bupati Minahasa Tenggara juga memastikan bahwa tidak ada kunjungan tim studi banding di lokasi ex NMR. “Kalau ada kunjungan berarti tercatat dalam buku tamu kami. Pada tanggal 9, 10 dan 11 tak ada kunjungan masyarakat Lembata di Ratatotok. Kalau ada tentu mampir juga di kantor sini karena kami sudah jadi kabupaten baru,” kata Decy di Ratahan, kota Kabupaten Minahasa Tenggara.

Rayu Pemilik Ulayat

Meski ditolak, Pemkab Lembata melalui pihak-pihak tertentu terus berusaha merayu dan pemilik ulayat untuk menyerahkan tanahnya. Pemilik ulayat dijanjikan anak-anak mereka diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Ada orang suruhan bupati menyerahkan uang Rp. 1 juta kepada Abu Samah di rumahnya. “Saya sedang mencari pengacara untuk menggugat mereka,” kata Abu Samah berang. Bahkan di hadapan Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri yang bertandang ke rumahnya, Abu bicara tegas. “Saya bilang sama Wakil, saya ini bukan pisang yang dijual di pasar. Apa maksud kamu kasih uang sama saya dan diselipkan dengan kartu nama bupati,” tanya Abu kepada Wakil Bupati.

Abu juga mengaku dirayu seorang wartawan sebuah mingguan yang terbit di Kupang. Wartawan itu melakukan negisiasi harga tanah ulayat sampai harga Rp. 10 miliar. Wartawan itu, konon mendapat fee Rp. 2.5 juta dari guna melobi Abu (Flores Pos, 31/10-7/11 2007).

Praktisi hukum asal Leragere, Lembata, Gabriel Suku Kotan, SH, M.Si meminta warga selalu waspada dengan berbagai siasat Pemkab Lembata mengadu domba warga yang telah sehati menolak. Apalagi, membuat seremoni adat guna menjaga lewotana, leu awuq (lewotana) dari kehancuran. Saat melakukan kunjungan pada Desember dan Januari lalu, warga tetap bertahan pada sikap penolakan atas rencana itu. “Nampaknya yang terjadi adalah pemutarbalikan informasi bahwa sebagian warga sudah menyetujui rencana tambang. Mereka (masyarakat) sudah melakukan sumpah adat menolak. Jadi, siapa yang berani mengambil resiko?” ujar Suku Kotan retoris.

FX Namang dari Keluarga Mahasiswa Lembata Jakarta menegaskan, sejak awal, rencana itu ditolak dan mestinya dipahami dengan bijak. Ia mempertanyakan, apa yang mau dicari. Rencana pertambangan yang konon bisa memakmurkan daerah menunjukkan kegagalan pemimpin selama Lembata jadi daerah otonomi enam tahun lebih. Rencana tambang hanya mengalihkan isu kegagalan pembangunan selama ini.

“Wajah Lewoleba saja tak pernah berubah. Belum lagi prasarana jalan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi ternyata tak tertangani dengan baik. Padahal, dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat nilainya sangat besar. Sedang di lain sisi korupsi merajalela. Ini situasi yang sangat membahayakan bagi kemajuan Lembata ke depan,” tandas Frans Namang. (Ansel Deri)
Sumber: Majalah Tombokilo, Maret 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger