Ia masih muda, 31 tahun. Pemikirannya tentang pluralisme dan toleransi luas. Perjumpaan dengan filsuf dan ulama mengetuk nuraninya membumikan toleransi lintas agama. “Saya kaget saat Bapak Uskup Youhanna Qaltah mempersilahkan kami shalat di Istana Keuskupan, Kompleks Gereja al-Sujud, Mesir,” kata Zuhairi Misrawi.
PENGALAMAN perjumpaan itu, kata Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society (MMS) Zuhairi Misrawi akan selalu dikenang selama hidupnya. Peristiwa itu terjadi pada 1999. Saat itu, Zuhairi dan rekan-rekan sesama mahasiswa asal Indonesia yang sedang belajar di Universitas al-Alzhar Kairo bertemu dengan Mgr Qaltah di istana keuskupan, kompleks Gereja al-Sujud, kawasan Shubra, Mesir. Pertemuan dalam rangka wawancara itu sedianya akan dimuat di sebuah jurnal anak muda Nahdlatul Ulama (NU) di Mesir. Mengapa Mgr Qaltah yang dikejar? Maklum. Beliau pakar di bidang pemikiran Ibnu Rushd, filsuf Muslim tersohor di Cordova. Uskup pemegang gelar dalam bidang Islamic Studies jebolan Universitas Sorbonne, Prancis itu, biasanya menjadi langganan jika bicara khazanah pemikiran toleransi Ibnu Rushd.
“Setelah beberapa saat kami mewawancarainya, tiba-tiba suara adzan Ashar berkumandang. Bapak Uskup menghentikan wawancara. Ia mengatakan, ‘Akhi Zuhair, adzan telah berkumandang. Silahkan ambil wudhu di sebelah kanan gereja. Silahkan laksanakan shalat. Ini sajadahnya. Arah kiblat agak miring ke kanan.’ Saya dan teman-teman kaget dengan perlakuan yang kami terima. Kami tak pernah membayangkan sebelumnya,” ujar Zuhairi kepada kontributor HIDUP di kantor Jaringan Islam Liberal (JIL), Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu (23/2).
Pertemuan itu akhirnya berlanjut terus. Dialog terus terjadi. Bahkan, menurut Zuhairi, Uskup Qaltah selalu meminta agar rasionalitas, dialog, dan toleransi menjadi basis pemahaman. Di mata uskup yang fasih mengucapkan ayat-ayat suci al-Quran, hadis, dan fikih ini, lanjut Zuhairi, Ibnu Rushd merupakan sosok filsuf Muslim yang telah membuka cakrawala umat agama lain mengedepankan rasionalitas dan toleransi. Bahkan umat Kristiani banyak mengambil pelajaran dari pemikiran Ibnu Rushd.
Selain Uskup Qaltah, jelas Zuhairi, ada sosok pemikir lain yang menginspirasinya dalam hidup. Sosok itu adalah Dr Milad Hanna, seorang Guru Besar Ilmu Teknik dan penggiat dialog antaragama di Mesir. Hanna lahir dari sebuah keluarga Kristen Koptik. Ada dua bukunya yang sangat fenomenal: Tujuh Pilah Kepribadian Mesir dan Menyongsong Yang Lain: Upaya Melanjutkan Dialog-peradaban. “Sosok Milad Hanna telah memberikan pengalaman dan pelajaran berharga. Bahwa tidak semua orang yang menganut agama Kristen mempunyai niat buruk terhadap kalangan Muslim,” kata Zuhairi. Berangkat dari perjuangan Hanna dalam dialog antaragama dan membangun inklusivisme di Mesir, bukunya Qabul al-Akhar: Min Ajli Tawashul Hiwar al-Hadlarat mendapat penghargaan Presiden Husni Mubarakh. Buku itu terpilih sebagai buku terbaik kategori perdamaian dan toleransi.
Sedang, dua sosok lain adalah Pastor Prof Dr Franz Magnis-Suseno, SJ dan Pendeta Martin Lukito Sinaga. Romo Magnis, sapaan akrab Pastor Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, adalah filsuf kelahiran Jerman yang kini menjadi staf pengajar STF Driyarkara Jakarta. Ia adalah penulis dan nara sumber dalam berbagai kegiatan baik dalam maupun luar negeri dan konsisten menyuarakan pentingnya hidup damai. Pendeta Martin diakui Zuhairi sebagai guru sekaligus sahabat yang punya pergaulan luas dengan kalangan NU maupun Muhammadiyah. Di mata Zuhairi, Martin memahami tradisi dan khazanah Islam sebagais esuatu yang konstruktif.
Khazanah Membangun Pluralisme
Menurut pria lulusan Departemen Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir tahun 2000 ini, Indonesia sebagai bangsa merupkan khazanah yang baik untuk membangun pluralisme. Yaitu kehendak untuk hidup bersama di tengah keragaman dan perbedaan. Keragaman itu tak sekadar kekuatan kultural. Ia juga menjadi kekuatan politik. “Ini keistimewaan Indonesia yang tidak dimiliki negara-negara lain. Baik di Timur Tengah dan mungkin juga di negara-negara Arab. Bangsa ini lahir dari sebuah kehendak dan kesepakatan bersama menjadikan pluralisme sebagai energi positif, bukan negatif. Khazanah yang dimiliki bangsa ini harus digunakan seoptimal mungkin untuk upaya-upaya transformasi sosial,” kata Zuhairi
Misalnya, munculnya inisiatif-inisiatif menjadikan pluralisme sebagai starting point, titik tolak melakukan perubahan. Bahwa masalah kemiskinan, keterbelakangan bahkan kebodohan tidak mungkin diselesaikan oleh satu kelompok. Masalah-masalah itu merupakan common sense, yang dirasakan bersama semua umat. Karena itu, tidak benar jika yang paling kaya orang Katolik atau Protestan, sedangkan yang miskin orang Islam. Kemiskinan, keterbelakangan bahkan kebodohan merupakan musibah semua umat beragama.
Menurut Zuhairi, ada sejumlah tantangan agama-agama guna memecehkan masalah-masalah tersebut. Namun, paling tidak dua langkah. Pertama, agama-agama harus membangun solidaritas guna menggali nilai-nilai profetis yang ada dalam agamanya. Ini dimaksudkan menjadi siprit membangun kehidupan yang lebih damai, toleran, dan mendorong kepada kesejahteraan masyarakat. Tanpa solidaritas beban yang dihadapi oleh bangsa ini, tentu akan sangat sulit. Kedua, pemerintah atau negara merupakan bagian terpenting dari proses perubahan. Artinya, tanpa keterlibatan negara secara lebih serius, konsisten, dan komitmen yang kuat maka perubahan hampir bisa dikatakan gagal. “Solidaritas yang ada di antara agama-agama harus menyentuh wilayah kebijakan publik. Saya setuju dengan pluralisme pembebasan yaitu solidaritas agama-agama yang didorong untuk menyampaikan keberpihakan kepada kelompok-kelompok lemah atau miskin,” kata peserta Program Religious Multiculturalism in Democratic Society di Amerika Serikat tahun 2005.
Pluralisme saat ini, kata Zuhairi, belum menjawab masalah-masalah riil. Belakangan, muncul kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap membawa kecenderungan baru. Kecenderungan itu tidak hadir dalam konteks kultur Indonesia, tetapi merupakan kecenderungan kultur global seperti munculnya gerakan-gerakan yang mengusung kekerasan itu. Gerakan-gerakan ini mulai mendominasi dan memainkan peran baru dalam konteks kebangsaan yaitu menghendaki kekuasan monistik. Artinya, hanya ada kebenaran tunggal. Di luar dirinya tidak ada kebenaran. Gerakan-gerakan itu mengusung pandangan monisme karena menganggap bahwa sekularisasi, pluralisme gagal mengemban amanat keadilan dan kesejahteraan.
Dari sana mereka mengusung gagasan monisme. Oleh karena itu, sekarang setiap agama harus menghadirkan gagasan-gagasan yang di dalamnya menyimpan kazanah keberagaman hidup toleran. Ini penting karena kelompok-kelompok monistik itu mencoba menghilangkan ajaran agama dengan ajaran kekerasan. Jadi, pluralisme di satu sisi merupakan khazanah terbaik yang dimiliki bangsa. Namun, di sisi lain pluralisme betul-betul sedang dalam ancaman. “Ini disebabkan karena adanya kelompok-kelompok yang membawa gagasan monistik yang tidak hanya menguasai ruang privat tetapi juga ruang publik dengan munculnya fatwa-fatwa keagamaan yang cenderung otoriter, tidak humanis. Juga munculnya kelompok-kelompok keagamaan yang mengusung gagasan keagamaan yang bernuansa kekerasan,” urai Zuhairi.
Perda Syariat
Zuhairi juga mengeritik munculnya sejumlah peraturan daerah (Perda) Syariat di Indonesia. Menurutnya, hal itu menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam mengampanyekan dan menegaskan bahwa toleransi menjadi bagian terpenting dalam negara ini. Jika toleransi dan pluralisme tidak dirawat dengan baik, bisa muncul kasus sebagaimana menimpah Serbia. Pecahnya Kosovo dari Serbia karena negara itu tidak cukup punya sejarah, kepercayaan diri, dan keinginan yang kuat guna menjadikan pluralisme dan toleransi sebagai basis negara-bangsa. “Saya punya tesis. Negara-bangsa tidak akan dibangun di atas monisme, tetapi negara-bangsa harus dibangun di atas prinsip pluralisme dan toleransi. Kalau pluralisme dan toleransi hilang dalam bangsa kita maka bangsa ini akan melahirkan pula Perda Syariat Hindu, Budha, Konghuchu, dan lain sebagainya. Akhirnya akan hilang Pancasila dan UUD 45 yang telah menyepakati dan menyemangati pluralisme dan toleransi,” tegasnya.
Pluralisme dan toleransi sebagai value and virtue harus didukung oleh pluralisme dan toleransi sebagai virtue and vivendy. Sebaliknya, pluralisme dan toleransi sebagai virtue and vivendy tidak cukup tetapi didukung oleh pluralisme dan toleransi sebagai value and virtue. Karena itu, perda-perda Syariat yang berbasis agama itu memang harus dihindari dan harus kembali kepada prinsip semula. Bahwa apa yang dipikirkan dalam konteks kebangsaan adalah hal-hal yang menjadi titik temu dan common platform bagi bangsa. Bangsa kita seharusnya segera beranjak untuk berpikir tentang pentingnya pendidikan atau memerangi kemiskinan. Atau masalah bencana banjir, longsor, pencemaran udara dan lain-lain. Dalam konteks keislaman, sebenarnya Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat untuk bagaimana agar wacana toleransi ini bisa digali serius dalam konteks menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
“Kegagalan bangsa ini sesungguhnya juga kegagalan umat Islam dalam memberikan sumbangsih pemikirannya. Masa depan bisa dilihat sejauhmana toleransi dan pluralisme ini menjadi bagian terpenting. Termasuk fatwa MUI tentang pluralisme. Itu juga menjadi hambatan karena fatwa itu mencederai toleransi dan pluralisme as a modus vivendus. Di sisi lain, fatwa itu juga mencederai pluralisme dan toleransi as a value and virtue,” kata Zuhairi.
Oleh karena itu, ia mengusulkan perlunya melakukan dekonstruksi makna Syariat. Pasalnya, selama ini Syariat hanya dipahami sebagai hukum. Pemahaman Syariat sebagai hukum malah menyempitkan hakekat dan esensi Syariat. Syariat adalah totalitas dari kehidupan itu sendiri. Kalau bicara Syariat dalam konteks Islam, justru yang tertinggi bukan dimensi hukum Syariat tetapi dimensi etisnya. Dimensi etis bersifat universal. Sementara dimensi hukum bersifat parsial atau partikular. “Oleh karena itu perlu melakukan dekonstruksi makna Syariat. Ini penting karena jika Syariat hanya dipahami secara parsial atau partikular, hal itu akan melahirkan fanatisme, ekstrimisme, sektarianisme bahkan terorisme. Karena, ada anggapan bahwa hanya Syariatlah yang terbaik. Klaim ini saya pikir terjadi pada semua agama. Kecuali, terakhir pihak Vatikan mengatakan bahwa ada kebenaran di luar Katolik. Bagi saya, itu merupakan sebuah langkah maju,” katanya.
Lahir : Desa Kapedi, Sumenep, Pulau Madura, 5 Februari 1977
Istri : Nurul Jazimah
Anak : Kecia Albina
Orangtua : Misrawi (ayah) dan Ruqayyah (ibu)
Pendidikan : - SDN Kapedi I Bluto, Sumenep, Madura 1985 – 1990
- Ponpes TMI al-Amien Prenduan, Sumenep 1990 – 1995
- Ponpes Jam’iyyah Tahfidzil Quran, Sumenep 1989 – 1990
- Departemen Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar Kairo, Mesir 1995 – 2000
Organisasi : - Koordinator Kajian dan Penelitian
Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) 2000 – 2002
- Koordinator Program Islam Emansipatoris P3M 2002 – sekarang
- Ketua Bidang Hubungan Antar-Agama
PP Baitul Muslimin Indonesia DPP PDI-P 2007 – sekarang
- Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society
- Aktif di Lingkar Muda Indonesia
Buku-bukunya :
- Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat 2003
- Doktrin Islam Progresif 2004
- Islam Melawan Terorisme 2004
- Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU 2004
- Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme,
dan Multikulturalisme 2007
- Paradigma Muslim Moderat, Nabi Muhammad Saw:
Teladan bagi Humanisme-Religius, dan Jejak-jejak Pemikiran
Ibnu Rushd.(segera terbit)
Ia juga menjadi pembicara dalam dan luar negeri. Menulis opini di sejumlah media massa seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, TEMPO, GATRA, dan lain-lain.
“Setelah beberapa saat kami mewawancarainya, tiba-tiba suara adzan Ashar berkumandang. Bapak Uskup menghentikan wawancara. Ia mengatakan, ‘Akhi Zuhair, adzan telah berkumandang. Silahkan ambil wudhu di sebelah kanan gereja. Silahkan laksanakan shalat. Ini sajadahnya. Arah kiblat agak miring ke kanan.’ Saya dan teman-teman kaget dengan perlakuan yang kami terima. Kami tak pernah membayangkan sebelumnya,” ujar Zuhairi kepada kontributor HIDUP di kantor Jaringan Islam Liberal (JIL), Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu (23/2).
Pertemuan itu akhirnya berlanjut terus. Dialog terus terjadi. Bahkan, menurut Zuhairi, Uskup Qaltah selalu meminta agar rasionalitas, dialog, dan toleransi menjadi basis pemahaman. Di mata uskup yang fasih mengucapkan ayat-ayat suci al-Quran, hadis, dan fikih ini, lanjut Zuhairi, Ibnu Rushd merupakan sosok filsuf Muslim yang telah membuka cakrawala umat agama lain mengedepankan rasionalitas dan toleransi. Bahkan umat Kristiani banyak mengambil pelajaran dari pemikiran Ibnu Rushd.
Selain Uskup Qaltah, jelas Zuhairi, ada sosok pemikir lain yang menginspirasinya dalam hidup. Sosok itu adalah Dr Milad Hanna, seorang Guru Besar Ilmu Teknik dan penggiat dialog antaragama di Mesir. Hanna lahir dari sebuah keluarga Kristen Koptik. Ada dua bukunya yang sangat fenomenal: Tujuh Pilah Kepribadian Mesir dan Menyongsong Yang Lain: Upaya Melanjutkan Dialog-peradaban. “Sosok Milad Hanna telah memberikan pengalaman dan pelajaran berharga. Bahwa tidak semua orang yang menganut agama Kristen mempunyai niat buruk terhadap kalangan Muslim,” kata Zuhairi. Berangkat dari perjuangan Hanna dalam dialog antaragama dan membangun inklusivisme di Mesir, bukunya Qabul al-Akhar: Min Ajli Tawashul Hiwar al-Hadlarat mendapat penghargaan Presiden Husni Mubarakh. Buku itu terpilih sebagai buku terbaik kategori perdamaian dan toleransi.
Sedang, dua sosok lain adalah Pastor Prof Dr Franz Magnis-Suseno, SJ dan Pendeta Martin Lukito Sinaga. Romo Magnis, sapaan akrab Pastor Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, adalah filsuf kelahiran Jerman yang kini menjadi staf pengajar STF Driyarkara Jakarta. Ia adalah penulis dan nara sumber dalam berbagai kegiatan baik dalam maupun luar negeri dan konsisten menyuarakan pentingnya hidup damai. Pendeta Martin diakui Zuhairi sebagai guru sekaligus sahabat yang punya pergaulan luas dengan kalangan NU maupun Muhammadiyah. Di mata Zuhairi, Martin memahami tradisi dan khazanah Islam sebagais esuatu yang konstruktif.
Khazanah Membangun Pluralisme
Menurut pria lulusan Departemen Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir tahun 2000 ini, Indonesia sebagai bangsa merupkan khazanah yang baik untuk membangun pluralisme. Yaitu kehendak untuk hidup bersama di tengah keragaman dan perbedaan. Keragaman itu tak sekadar kekuatan kultural. Ia juga menjadi kekuatan politik. “Ini keistimewaan Indonesia yang tidak dimiliki negara-negara lain. Baik di Timur Tengah dan mungkin juga di negara-negara Arab. Bangsa ini lahir dari sebuah kehendak dan kesepakatan bersama menjadikan pluralisme sebagai energi positif, bukan negatif. Khazanah yang dimiliki bangsa ini harus digunakan seoptimal mungkin untuk upaya-upaya transformasi sosial,” kata Zuhairi
Misalnya, munculnya inisiatif-inisiatif menjadikan pluralisme sebagai starting point, titik tolak melakukan perubahan. Bahwa masalah kemiskinan, keterbelakangan bahkan kebodohan tidak mungkin diselesaikan oleh satu kelompok. Masalah-masalah itu merupakan common sense, yang dirasakan bersama semua umat. Karena itu, tidak benar jika yang paling kaya orang Katolik atau Protestan, sedangkan yang miskin orang Islam. Kemiskinan, keterbelakangan bahkan kebodohan merupakan musibah semua umat beragama.
Menurut Zuhairi, ada sejumlah tantangan agama-agama guna memecehkan masalah-masalah tersebut. Namun, paling tidak dua langkah. Pertama, agama-agama harus membangun solidaritas guna menggali nilai-nilai profetis yang ada dalam agamanya. Ini dimaksudkan menjadi siprit membangun kehidupan yang lebih damai, toleran, dan mendorong kepada kesejahteraan masyarakat. Tanpa solidaritas beban yang dihadapi oleh bangsa ini, tentu akan sangat sulit. Kedua, pemerintah atau negara merupakan bagian terpenting dari proses perubahan. Artinya, tanpa keterlibatan negara secara lebih serius, konsisten, dan komitmen yang kuat maka perubahan hampir bisa dikatakan gagal. “Solidaritas yang ada di antara agama-agama harus menyentuh wilayah kebijakan publik. Saya setuju dengan pluralisme pembebasan yaitu solidaritas agama-agama yang didorong untuk menyampaikan keberpihakan kepada kelompok-kelompok lemah atau miskin,” kata peserta Program Religious Multiculturalism in Democratic Society di Amerika Serikat tahun 2005.
Pluralisme saat ini, kata Zuhairi, belum menjawab masalah-masalah riil. Belakangan, muncul kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap membawa kecenderungan baru. Kecenderungan itu tidak hadir dalam konteks kultur Indonesia, tetapi merupakan kecenderungan kultur global seperti munculnya gerakan-gerakan yang mengusung kekerasan itu. Gerakan-gerakan ini mulai mendominasi dan memainkan peran baru dalam konteks kebangsaan yaitu menghendaki kekuasan monistik. Artinya, hanya ada kebenaran tunggal. Di luar dirinya tidak ada kebenaran. Gerakan-gerakan itu mengusung pandangan monisme karena menganggap bahwa sekularisasi, pluralisme gagal mengemban amanat keadilan dan kesejahteraan.
Dari sana mereka mengusung gagasan monisme. Oleh karena itu, sekarang setiap agama harus menghadirkan gagasan-gagasan yang di dalamnya menyimpan kazanah keberagaman hidup toleran. Ini penting karena kelompok-kelompok monistik itu mencoba menghilangkan ajaran agama dengan ajaran kekerasan. Jadi, pluralisme di satu sisi merupakan khazanah terbaik yang dimiliki bangsa. Namun, di sisi lain pluralisme betul-betul sedang dalam ancaman. “Ini disebabkan karena adanya kelompok-kelompok yang membawa gagasan monistik yang tidak hanya menguasai ruang privat tetapi juga ruang publik dengan munculnya fatwa-fatwa keagamaan yang cenderung otoriter, tidak humanis. Juga munculnya kelompok-kelompok keagamaan yang mengusung gagasan keagamaan yang bernuansa kekerasan,” urai Zuhairi.
Perda Syariat
Zuhairi juga mengeritik munculnya sejumlah peraturan daerah (Perda) Syariat di Indonesia. Menurutnya, hal itu menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam mengampanyekan dan menegaskan bahwa toleransi menjadi bagian terpenting dalam negara ini. Jika toleransi dan pluralisme tidak dirawat dengan baik, bisa muncul kasus sebagaimana menimpah Serbia. Pecahnya Kosovo dari Serbia karena negara itu tidak cukup punya sejarah, kepercayaan diri, dan keinginan yang kuat guna menjadikan pluralisme dan toleransi sebagai basis negara-bangsa. “Saya punya tesis. Negara-bangsa tidak akan dibangun di atas monisme, tetapi negara-bangsa harus dibangun di atas prinsip pluralisme dan toleransi. Kalau pluralisme dan toleransi hilang dalam bangsa kita maka bangsa ini akan melahirkan pula Perda Syariat Hindu, Budha, Konghuchu, dan lain sebagainya. Akhirnya akan hilang Pancasila dan UUD 45 yang telah menyepakati dan menyemangati pluralisme dan toleransi,” tegasnya.
Pluralisme dan toleransi sebagai value and virtue harus didukung oleh pluralisme dan toleransi sebagai virtue and vivendy. Sebaliknya, pluralisme dan toleransi sebagai virtue and vivendy tidak cukup tetapi didukung oleh pluralisme dan toleransi sebagai value and virtue. Karena itu, perda-perda Syariat yang berbasis agama itu memang harus dihindari dan harus kembali kepada prinsip semula. Bahwa apa yang dipikirkan dalam konteks kebangsaan adalah hal-hal yang menjadi titik temu dan common platform bagi bangsa. Bangsa kita seharusnya segera beranjak untuk berpikir tentang pentingnya pendidikan atau memerangi kemiskinan. Atau masalah bencana banjir, longsor, pencemaran udara dan lain-lain. Dalam konteks keislaman, sebenarnya Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat untuk bagaimana agar wacana toleransi ini bisa digali serius dalam konteks menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
“Kegagalan bangsa ini sesungguhnya juga kegagalan umat Islam dalam memberikan sumbangsih pemikirannya. Masa depan bisa dilihat sejauhmana toleransi dan pluralisme ini menjadi bagian terpenting. Termasuk fatwa MUI tentang pluralisme. Itu juga menjadi hambatan karena fatwa itu mencederai toleransi dan pluralisme as a modus vivendus. Di sisi lain, fatwa itu juga mencederai pluralisme dan toleransi as a value and virtue,” kata Zuhairi.
Oleh karena itu, ia mengusulkan perlunya melakukan dekonstruksi makna Syariat. Pasalnya, selama ini Syariat hanya dipahami sebagai hukum. Pemahaman Syariat sebagai hukum malah menyempitkan hakekat dan esensi Syariat. Syariat adalah totalitas dari kehidupan itu sendiri. Kalau bicara Syariat dalam konteks Islam, justru yang tertinggi bukan dimensi hukum Syariat tetapi dimensi etisnya. Dimensi etis bersifat universal. Sementara dimensi hukum bersifat parsial atau partikular. “Oleh karena itu perlu melakukan dekonstruksi makna Syariat. Ini penting karena jika Syariat hanya dipahami secara parsial atau partikular, hal itu akan melahirkan fanatisme, ekstrimisme, sektarianisme bahkan terorisme. Karena, ada anggapan bahwa hanya Syariatlah yang terbaik. Klaim ini saya pikir terjadi pada semua agama. Kecuali, terakhir pihak Vatikan mengatakan bahwa ada kebenaran di luar Katolik. Bagi saya, itu merupakan sebuah langkah maju,” katanya.
Ansel Deri
Zuhairi Misrawi
Istri : Nurul Jazimah
Anak : Kecia Albina
Orangtua : Misrawi (ayah) dan Ruqayyah (ibu)
Pendidikan : - SDN Kapedi I Bluto, Sumenep, Madura 1985 – 1990
- Ponpes TMI al-Amien Prenduan, Sumenep 1990 – 1995
- Ponpes Jam’iyyah Tahfidzil Quran, Sumenep 1989 – 1990
- Departemen Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar Kairo, Mesir 1995 – 2000
Organisasi : - Koordinator Kajian dan Penelitian
Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) 2000 – 2002
- Koordinator Program Islam Emansipatoris P3M 2002 – sekarang
- Ketua Bidang Hubungan Antar-Agama
PP Baitul Muslimin Indonesia DPP PDI-P 2007 – sekarang
- Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society
- Aktif di Lingkar Muda Indonesia
Buku-bukunya :
- Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat 2003
- Doktrin Islam Progresif 2004
- Islam Melawan Terorisme 2004
- Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU 2004
- Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme,
dan Multikulturalisme 2007
- Paradigma Muslim Moderat, Nabi Muhammad Saw:
Teladan bagi Humanisme-Religius, dan Jejak-jejak Pemikiran
Ibnu Rushd.(segera terbit)
Ia juga menjadi pembicara dalam dan luar negeri. Menulis opini di sejumlah media massa seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, TEMPO, GATRA, dan lain-lain.
Sumber: Hidup, 16 Maret 2008
saya memang mengikuti laporan dan tulisan2mu, terutama di Mingguan HIdup dan Flores Pos (almarhum). Semoga masih mengingat saya. Jeremias Jena. Kalau sempat, akses juga blog saya. http://jeremiasjena.wordpress.com atau http://pewartasabda.blogspot.com
ReplyDeleteaku juga baca buku tulisan mas zuhairi, isinya menarik dan menantang he he..bagus tu tuk pengembangan berfikir...
ReplyDeletesalam kenal aja...
ReplyDeletetirmidzi08.blogspot.com
zuhairi seorang intelektual muda Muslim masa depan bangsa. Pemikirannya tentang toleransi dan pluralisme sangat luas. Saya berkesempatan ngobrol dua soal itu di Utan Kayu beberapa waktu lalu. Terima kasih juga telah mengunjungi blog saya. Salam
ReplyDelete