Headlines News :
Home » » Terobosan Penghematan dalam Upacara Kematian di Bajawa

Terobosan Penghematan dalam Upacara Kematian di Bajawa

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, March 31, 2008 | 1:59 PM

Alam Bajawa dan sekitarnya di pedalaman Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Selasa (18/3) lalu, tiba-tiba cerah sejak pagi. Suasana itu sangat berbeda dengan hari-hari sepekan sebelumnya yang terus diguyur hujan sejak pagi hingga malam.

Suasana cerah memang sangat ditunggu, terutama bagi keluarga suku Jawa di Bajawa karena mereka hari itu akan menguburkan jenazah salah seorang keluarganya, Regina Tenggi. Almarhumah yang meninggal Minggu (16/3) pagi dalam usia 76 tahun diketahui adalah keluarga bangsawan di Bajawa. Ia adalah istri Leo Pea Mole, turunan langsung Raja Bajawa pada waktu lampau. Leo sendiri meninggal tanggal 9 Mei 2002.

”Tidak perlu cemas, saya yakin hari ini hujan baru turun setelah penguburan. Saya sudah menghubungi para leluhur di segala penjuru,” tutur Johanes Djawa (62), tetua keluarga duka itu. Entah kebetulan atau memang kekuatan daya magis, hari itu hujan mengguyur lebat menjelang petang hanya sesaat setelah upacara penguburan usai. Sesuai dengan tradisi, penguburan jenazah, apalagi keluarga bangsawan, selalu diawali dengan ritual adat yang lazim disebut sewo benu. Ritual itu ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi besar. Sejak lama lingkungan masyarakat setempat berpandangan bahwa jumlah hewan (babi) yang dikurbankan saat penguburan menjadi simbol ”kebesaran” seseorang.

Rumah duka

Pagi itu keluarga besar berkumpul di rumah duka di Bajawa, kota Kabupaten Ngada. Di depan pintu rumah duka, sejumlah pemuda sibuk mengikat babi kurban. Hewan itu diatur dalam posisi merayap. Kakinya diikat, bagian perut babi menyentuh tanah, dan kepala menghadap pintu rumah duka. Sementara wakil keluarga yang dibenarkan secara adat, dengan parang tajam siap memenggal bagian kepala hewan kurban itu.

Saat itu suasana berubah hening. Petugas pemenggal dalam posisi siap mengeksekusi. Tetua Johanes Djawa tampil di depan hewan kurban. Dengan nada lantang dan berirama magis, ia melantunkan doa adat. Doa itu intinya memohon penyertaan dan restu Wujud Tertinggi, leluhur, serta arwah keluarga yang telah meninggal atas ritual sewo benu penguburan almarhumah Mama Gin, panggilan akrab Regina Tenggi.

Doa khas dalam bahasa setempat yang berirama melankolis terucap sebagai berikut: ria ulu ngana ngana, uge ema, ebu nusi mea ka ata mami. Tii kami ngeta bo koko mole nee nitu rura dhia maki ana, ana ebu, ra baimu, wai fea tolo nee lengi jawa, raba go loka wi lowa, wesi wi dhesi. Terjemahan bebasnya lebih kurang: Inilah kepala babi yang kami persembahkan bagi Wujud Tertinggi, para leluhur, arwah bapa, mama, serta segenap arwah keluarga yang telah meninggal. Datanglah dan makanlah dagingnya yang telah kami masak. Sebaliknya, berilah kami rezeki yang masih mentah dan hidup agar kami bisa memanfaatkan sebagai modal mengembangkan usaha pada hari- hari mendatang.Begitu usai berdoa, parang tajam yang sudah terhunus langsung diayunkan ke kepala babi. Sejumlah hewan kurban itu pun serentak mengerang disertai muncratan darah segar.

Bagian hati salah seekor babi yang dibunuh itu kemudian diambil dan diantar kepada Johanes dan Martinus Djawa. Kedua tetua ini diyakini berkemampuan membaca isyarat tersirat dari balik garis-garis halus pada permukaan gumpalan daging hati hewan kurban itu. Katanya, dari gumpalan daging itu samar-samar menggambarkan sambungan garis hingga mirip kuburan. ”Ini isyarat, dalam waktu tidak terlalu lama akan ada yang (mati) menyusul Mama Gin. Orangnya dari keluarga jauh, bukan keluarga inti,” ujar Johanes Djawa. Khusus acara penguburan anggota keluarga terpandang, jumlah babi kurban biasanya puluhan bahkan bisa mencapai seratusan.

Sebagai contoh, acara sewo benu bagi almarhum Leo Pea Mole (suami almarhumah Regina Tenggi), yang meninggal enam tahun lalu, hewan kurbannya 40 babi. Contoh lainnya, sewo benu untuk Nikolaus Nono Wara, yang meninggal 4 Maret lalu, sebanyak 58 babi.
Dengan demikian, terlihat ada pemandangan berbeda dari sewo benu bagi almarhumah Regina Tenggi. Perbedaan itu terutama dari jumlah hewan kurban yang hanya tiga babi. Namun, keterbatasan jumlah hewan kurban ini, sebagaimana dijelaskan Johanes dan Martinus Djawa (62), bukan pertanda penghormatan bagi almarhumah berkurang. ”Ini semata-mata sebuah langkah terobosan demi penghematan hingga keluarga inti, terutama anak-anak yang ditinggalkan, tidak terjebak dalam beban utang yang terlalu memberatkan,” kata Johanes.

”Terobosan ini diambil setelah dibicarakan secara adat dan disetujui keluarga inti, terutama anak-anak almarhumah,” lanjut Martinus.

Tradisi ”sua”
Semua hewan (babi) yang dikurbankan saat sewo benu berasal dari sua, yakni tradisi berisi barang bawaan berupa babi dan beras saat melayat ke rumah duka. Barang bawaan itu tujuannya meringankan beban keluarga yang dilanda kedukaan. Hewan kurban kemudian dibunuh semua sebelum penguburan jenazah. Hanya sebagian daging babi yang disantap untuk makan bersama di rumah duka. Sementara sebagian daging lainnya dikembalikan karena tetap menjadi hak pengantar.

Meski bertujuan meringankan beban keluarga yang dilanda kedukaan, tradisi sua sejatinya adalah utang. Keluarga penerima wajib menebus kembali babi dan juga beras sua saat keluarga pemberi tertimpa kedukaan serupa. Tradisi sua mengenal dua kategori. Ada yang disebut sua olo, yakni barang bawaan bermakna tebusan atas sua yang telah diterima. Ada pula yang disebut sua muji, bermakna mirip simpanan atau saham yang pada saatnya akan dikembalikan oleh penerima.

Di Bajawa dan sekitarnya, ritual sewo benu dengan barang bawaan (sua) berupa babi beras adalah tradisi kuno yang dianut kelompok masyarakat yang disebut Ulu Eko Nua Limajua. Kelompok masyarakat itu terutama tersebar di tujuh anak kampung, yakni kampung tua Bajawa, Pigasina, Bo Kua, Bo Seka, Bo Ripo, Wako Menge, dan Bo Ngiso.Keterangan yang diperoleh menyebutkan, babi standar sua di Bajawa dan sekitarnya dewasa ini paling murah Rp 2,5 juta, bahkan tidak jarang harga naik hingga Rp 5 juta. Sebagai contoh, jika dalam satu kematian dengan babi sua mencapai 50 ekor, keluarga inti dibebani utang Rp 125 juta hingga Rp 250 juta, yang pada saatnya wajib ditebus atau dikembalikan.
Terobosan
Tetua Johanes dan Martinus Djawa menggambarkan terobosan perdana yang bertujuan untuk penghematan melalui ritual sewo benu Mama Gin sama sekali tidak membatasi barang bawaan berupa babi dan beras dalam sua. ”Dari kematian Mama Gin, jumlah babi sua yang diterima keluarga tergolong banyak, di atas 10 ekor, namun diputuskan hanya tiga yang dikurbankan dalam sewo benu. Ini kesepakatan keluarga demi penghematan itu,” kata Johanes Djawa.

Teddy dan Korsin –dua dari tujuh anak pasangan Leo Pea Mole dan Regina Tenggi– mengakui, babi sua yang tidak dikurbankan dalam sewo benu semuanya ”dikandangkan” dan menjadi milik keluarga duka. Dengan demikian, beban keluarga ketika harus menebus sua menjadi lebih ringan karena masih memiliki sejumlah babi sua yang dikandangkan itu. ”Kami setuju dengan terobosan ini karena dengan demikian beban kami, anak-anak, menjadi lebih ringan. Terobosan ini juga sekaligus menjadi contoh bagi keluarga besar kelompok warga Ulu Eko Nua Limajua agar memulai langkah penghematan tanpa mengurangi makna tradisi itu,” tutur Teddy.

Seperti diakui Johanes dan Martinus Djawa, sudah banyak contoh keluarga yang jatuh akibat utang karena beban adat dalam ritual kematian. ”Bahkan, ada keluarga yang sampai menggadaikan kebun kopi hanya demi melunasi utang dari beban adat urusan kematian itu,” papar Martinus Djawa.
Sumber:Kompas, 31 Maret 2008
Ket foto: batu megalitikum
Foto: dok. www.anton.nawalapatra.com
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger