KETIKA George Walker Bush menjabat Presiden Amerika Serikat (AS), berbagai kebijakan luar negeri AS dikritik Loch K Johnson dalam bukunya, Seven Sins of American Foreign Policy (2007). Guru besar University of Georgia itu menyebut Presiden Bush melakukan tujuh dosa politik dalam kebijakan luar negeri.
Tujuh dosa politik rezim Bush yang dimaksud Johnson, editor senior jurnal Intelligence and National Security, adalah (1) tidak peduli dengan sekitar (ignorance), (2) dominasi eksekutif (executive branch dominance), (3) terlalu mengedepankan pendekatan militer (excessive emphasis on the military), (4) unilateralisme (unilateralism), (5) mengucilkan diri (isolationism), (6) minim empati (lack of empathy), dan (7) sombong (arrogance).
Meski menguak tujuh dosa politik Bush, sang profesor juga menawarkan “intensi” sebagai bentuk “indulgensi” atas dosa-dosa dimaksud dengan (1) ketidakpedulian dapat dikurangi dengan sharing informasi antara eksekutif dan legislatif. Pengetahuan seluruh kalangan –masyarakat awam sampai dengan pejabat tinggi– tentang negara lain juga perlu ditingkatkan, (2) kerjasama antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan kebijakan luar negeri, (3) kepercayaan terhadap informasi dari lembaga intelijen dan diplomat ditingkatkan, sehingga dapat dirumuskan solusi selain tindakan militer, (4) bekerjasama dengan negara lain dengan semangat tanggung jawab bersama, (5) kerjasama dengan PBB dan organisasi internasional lainnya ditingkatkan, (6), peduli dengan situasi dan kondisi yang dihadapi negara-negara miskin dan berkembang, serta berupaya menipiskan kesenjangan antara mereka dan negara maju, dan (7) belajar bersikap rendah hati di hadapan negara lain.
Begitu pula saat fungsionaris Partai Golkar Fahmi Idris dkk mendukung pembentukan Koalisi Kebangsaan dan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua September 2004, Ketua Umum Partai Golkar (kala itu) Akbar Tanjung menyebut Fahmi dkk telah melakukan dosa politik. Mereka dianggap merongrong, membangkang, dan merusak citra partai karena melanggar hasil Rapat Pimpinan (Rapim) IX Partai Golkar. Termasuk juga melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Golkar dengan membentuk Forum Pembaruan Partai Golkar (FPPG) sebagai forum tandingan yang liar (Tempo Interaktif, 18/10 2004).
Kini, term “dosa politik” muncul lagi dalam Trilogi Dosa Politik: Memahami Dosa-Dosa Politik Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Pengkianatan Kaum Intelektual. Buku karya Boni Hargens, pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, itu baru saja diluncurkan dan dibedah bersama di Galeri Café, Taman Izmail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (22/12 2008) dengan menghadirkan tokoh, calon presiden, politisi, peneliti, pengamat, dan wartawan. Nampak antara lain, mantan Menteri Koordinator Perekonomian RI Dr Rizal Ramli, pakar pertanian Dr HS Dillon, mantan Menteri Riset dan Teknologi Dr Muhammad AS Hikam, pengamat politik Bondan Gunawan, calon presiden independen Fadjroel Rachman, Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, Direktur Parrhesia Institute (penerbit buku Trilogi Dosa Politik) Max Regus, Boni Hargens dengan moderator Ali Ramadhan.
Memahami dosa
Dalam agama, konsep dosa barangkali bukan hal baru. Tatkala melanggar perintah Tuhan/Allah maka manusia sesungguhnya telah berbuat dosa. Dalam jagad politik dan pemerintahan, ada dosa politik. Apa yang dimaksud Boni dengan dosa politik? Dosa politik merupakan segala bentuk kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara negara Indonesia secara sengaja, baik terencana maupun tidak terencana, yang secara hakiki merupakan pengkianatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa sekaligus berdampak pada terganggu dan/atau tidak berfungsinya sistem politik Indonesia, sentar secara parsial ataupun secara total, dalam kaitannya dengan penciptaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan kepentingan negara sebagai sebuah sistem (hal. 32).
Bagaimana dengan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono–Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (selanjutnya disingkat: SBY-JK)? Apakah SBY-JK juga telah melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan negara? Boni menyebut rezim SBY-JK telah melakukan tiga (akar) dosa politik yang secara terang-terangan dipraktikkan yaitu nafsu kekuasaan, kekayaan, dan popularitas.
Bila dirunut lebih jauh, nafsu kekuasaan terlihat jelas di mana SBY-JK berusaha keras menyelamatkan kekuasaannya. Hal ini, konon terlihat jelas dengan melarang orang melakukan demonstrasi dan memanipulasi data, memanipulasi kemiskinan melalui pidato kenegaraan. Sedangkan nafsu kekayaan terlihat dengan sikap tidak tegas terhadap kasus Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, PT Freeport Indonesia di Papua, atau masalah tender Blok Cepu dalam kaitannya dengan Exxon Mobil yang berbuntut penguasa mendapat untung. Begitu pula nafsu ketenaran atau popularitas nampak dalam iklan yang diluncurkan sejumlah departemen dan kementrian, yang ujung-ujungnya bertujuan mendongkrak popularitas SBY–JK sebagai pengendali utama pemerintahan.
Tentu kita sepakat, muara politik adalah pengabdian kepada bangsa dan negara dalam arti sesungguhnya. Atau dalam bahasa Eddy Kristiyanto, politik perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas, (largo sensu) yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling jelas terbaca bukan pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh masing-masing pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human), seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan hidup diutamakan.
Maka dari itu, pembicaraan tentang politik dan memoria menyangkut harkat hidup kita semua sebagai manusia. Inilah salah satu makna terdalam manusia di hadapan Hyang Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat agama, ras, golongan etnis, tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita, melainkan “apa nilai manusia“ di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat relatif jika diperhadapkan pada Sang Absolut Sejati (Sakramen Politik, 2008).
Kinerja SBY–JK
Selama tiga tahun berkuasa sejak 2004, SBY-JK juga sudah menampakkan kinerja ke arah yang positif. Paling kurang itu yang terbaca dalam Optimisme Menyambut 2008: Kinerja Tiga Tahun Pemerintahan SBY-JK, (2008), di mana angka kemiskinan secara nasional dalam berbagai parameter terus menurun. Jika menggunakan parameter 2 US$ (PPP), menurun sangat cepat: hampir 9 persen dari 1996 ke 2007. Fakta ini membuktikan bahwa perekonomian Indonesia semakin membaik, sehingga berhasil menekan tingkat kemiskinan.
Tak hanya itu. Di bidang penegakan hukum, sebanyak 9.419 laporan pengaduan (sampai dengan Juni 2007) terdapat 2.134 indikasi tindak pidana korupsi terungkap. Sebanyak 221 kasus ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan 1.054 pengaduan dikoordinasi dengan instansi lain. Dari 221 kasus yang ditindaklanjuti KPK, 99 kasus telah dilakukan penyelidikan, penyidikan sebanyak 47 perkara, dan 50 kasus penuntutan.
SBY tidak melakukan intervensi terhadap keputusan peradilan. Ia telah menunjukkan komitmen dengan menerbitkan ijin pemeriksaan bagi sejumlah pejabat pusat dan daerah yang terjerat kasus korupsi untuk diproses lebih lanjut. Penahanan sejumlah petinggi Bank Indonesia (BI), termasuk Aulia Pohan –besan SBY– dalam kasus aliran dana likuiditas Bank Indonesia adalah komitmen SBY untuk ikut menegakkan hukum.
Max Regus dalam prolog buku itu membedahnya dengan pendekatan sosiologi pembangunan, terutama dalam kerangka relasi triangulasi: negara, korporasi, dan masyarakat. Kata Max, Trilogi Dosa Politik merupakan sebuah “koreksi moral” yang akan menyeret rezim ini pada “pengadilan nurani”, bukan “pengadilan negara”. Pada puncak ketidakberdayaan, negara yang seharusnya memberikan garansi bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi, dan politik rakyat kehilangan momentum untuk menunjukkan kesungguhan membela rakyat. Pada tepian yang lain, para penguasa ekonomi bisa “mendiamkan” sebuah ketidakadilan. Mereka “memborgol” negara pada sudut-sudut kepentingannya (hal. viii).
Siapa sesungguhnya Boni Hargens? Di kalangan analis politik dan demokrasi, nama ini tentu tak asing. Sehari-hari, pria kelahiran 22 Februari 1981 mengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, almamaternya. Sejumlah buku dengan referensi yang memadai sudah ia hasilkan. Sebut saja Kebangkrutan Agama dan Politik (2005), Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern (2006), Menata Ulang Sistem Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru (bersama Saurip Kadi, 2007), dan 10 Dosa Politik SBY-JK (2008). Juga menjadi editor Tjahjo Kumolo Menjawab Kepemimpinan Nasional (2007) dan Panjangnya Jalan Politik karya Cosmas Batubara (2008). Boni juga menulis kurang lebih 200 analisa politik di sejumlah surat kabar nasional dan lokal.
Dalam Trilogi Dosa Politik, Boni mengusulkan empat langkah dalam rangka memperkuat triangle demokratisasi. Pertama, memperkuat peran negara dalam mengawasi pasar melalui pembuatan regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Kedua, intervensi negara di bidang ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak karena itulah substansi dari ekonomi kerakyatan Pancasila. Ketiga, memperkuat masyarakat sipil melalui pencerdasan politik (civic education), fasilitas sarana dan prasarana oleh negara. Keempat, pengambilan kebijakan melibatkan ketiga stakeholder (negara, pasar, dan masyarakat) secara proporsional, setara, dan tanpa tekanan.
Boleh jadi, buku itu mampu menggedor (dan atau mengusik?) kesadaran politik, terutama politisi dan partai-partai pendukung duet SBY-JK 2004. Mungkin tepat dilakukan cross check dengan menghadirkan penulis buku dalam forum diskusi ilmiah. Melalui forum itu, tentu “dosa politik” yang diajukan diklirkan bersama. Bisa juga menagih sang penulis apa parameter yang digunakan dalam menentukan dosa politik versinya atas rezim SBY-JK. Sesungguhnya, buku itu sangat menarik tatkala di hadapan kita ada dua hajatan politik: Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Maka bukan tidak mungkin, buku itu akan menguras rasa ingin tahu kita karena sedang berada dua hajatan politik di atas. Siapa tahu?
Ansel Deri
penulis lepas, tinggal di Jakarta
Judul : Trilogi Dosa Politik: Memahami Dosa-Dosa Politik Pemerintahan penulis lepas, tinggal di Jakarta
Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla dan Pengkianatan Kaum Intelektual
Penulis : Boni Hargens
Penerbit : Parrhesia Institute Jakarta
Terbit : Desember 2008
Pengantar : Max Regus
Harga : xxx
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!