Kawasan perkebunan Kopi, Jambu Mete dan Vanili di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, terancam aktivitas pertambangan. Sekitar 20 Kuasa Pertambangan kini tengah membongkar lahan di kabupaten itu.
Kabupaten Manggarai adalah salah satu kabupaten di Provinsi NTT. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sekitar 126.638 hektar dengan penduduk mencapai 98.114 jiwa. Mata pencaharian penduduknya rata-rata adalah petani.
Dengan kondisi curah hujan yang lebih baik, wilayah Kabupaten Manggarai umumnya lebih subur dibanding wilayah-wilayah lain di NTT. Sehingga tak berlebihan jika sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor unggulan di kabupaten ini. Menurut data BPS 2004, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Manggarai sebesar 53,71%.
Hasil perkebunan Kabupaten Manggarai yaitu Kopi, Jambu Mete dan Vanili telah diekspor. Namun sayang, masa depan masyarakat yang sebetulnya makmur karena hasil kebun ini terancam. Pasalnya, di kabupaten itu kini ada 20 Kuasa Pertambangan yang tengah membongkar tanah mencari mineral mangan yang cadangannya tersebar di seluruh wilayah.
Akibatnya, kata tokoh masyarakat Manggarai, Mikael Peruhe, masyarakat kehilangan tanah dan kebun mereka. Lubang-lubang tambang menganga lebar digenangi lumpur pekat. Ancaman banjir dan longsor selalu mengintai. Bahkan tanah pertanian di Luwuk dan Lengko Lolok telah tercemar limbah tambang.
Selama ini, lanjutnya, masyarakat diiming-imingi oleh perusahaan tambang. ”Janji untuk mensejahterakan masyarakat apabila masyarakat mau menyerahkan tanah pertaniannya ternyata hanyalah akal busuk investor tambang. Karena yang terjadi di lapangan saat ini tidak ada penggantian lahan. Justru masyarakat yang menyerahkan tanahnya, kini malah menjadi buruh tambang,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (19/11).
Tak hanya dari sisi ekonomi dan sosial, kehadiran sejumlah perusahaan tambang juga berakibat buruk terhadap lingkungan sekitar.
Menurut Direktur Justice, Peace of Integration for Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia, Peter C Aman, pencemaran lingkungan di sekitar area tambang begitu buruk dampaknya. Selain debunya masuk kerumah-rumah, saat ini masyarakat di sana banyak mengidap penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut). “Bahkan banyak warga yang tadinya bekerja sebagai buruh tambang ketika diperiksa darahnya terkontaminasi oleh mangan. Tak usah heran jika darahnya menjadi berwarna kehitaman.”
Peruhe mengaku, masyarakat di sekitar area tambang sangat dirugikan. “Namun kami tidak tahu harus berbuat apa dan harus bicara kemana. Selama ini kami hanya diam walau sebenarnya menyadari bahwa kehadiran tambang tidak memberikaan manfaat apapun bagi masyarakat.”
Corporate Social Responsibility (CSR) yang seharusnya menjadi kewajiban, sambungnya, tidak pernah dilakukan oleh perusahaan. ”Janji-janji perusahan untuk mensejahterakan masyarakat tidak pernah dilakukan perusahaan tambang. Selama ini masyarakat harus mengemis-ngemis ke perusahaan untuk perbaikan jalan yang rusak.”
Terhadap masalah ini, ujar Peter, saat ini terjadi saling lempar tanggung jawab antara instansi Pemkab, yaitu Dinas Pertambangan dan Dinas Kehutanan terkait pemberian ijin penambangan.
Menanggapi permasalahan tersebut, Aktivis LSM dan Penggerak Critical Mass, Chalid Muhamad mengatakan, pemerintah pusat harus segera melakukan evaluasi dan mencabut ijin perusahaan yang merusak lingkungan dan mengabaikan masyarakat sekitarnya. ”Selama ini pemerintah daerah hanya berorientasi mengejar PAD tanpa memperhitungkan resiko kegiatan pertambangan terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan.”
Terhadap perusahaan yang terbukti melakukan kerusakan lingkungan dan menelantarkan masyarakat sekitarnya, Chalid mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk segera melakukan moratorium (penghentian sementara) kegiatan perusahaan. (PME-07)
Sumber: www.pme-indonesia.com, 19 November 2008.
Foto: dok. Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!