Pemerhati Politik Timur Tengah
SAMPAI tiga hari serangan militer Israel ke jalur Gaza telah tewas 350 orang lebih dan 1.000 orang luka-luka. Tak hanya penduduk Palestina yang banyak mati syahid, serangan militer Israel yang membabi buta itu juga menghancurkan fasilitas-fasilitas publik: universitas, masjid, rumah sakit, dan lain-lain. Dunia internasional mengecam dan mengutuk tindakan brutal militer Israel itu.
Konflik antara Hamas dan Israel ini lahir akibat dari kebuntuan politik dalam mencari solusi ke depan. Gagalnya perpanjangan gencatan senjata dua pekan sebelum ini antara Israel dan Hamas menjadi pemantik konflik ini. Kedua belah pihak saling tuding pihak mana yang mengawali konflik ini. Bagi Israel, Hamas-lah yang telah mengirimkan roket-roket yang menyerang permukiman sipil Israel. Namun, bagi Hamas, Israel-lah yang telah melanggar kesepakatan genjatan senjata sehingga Hamas tidak ingin memperpanjang kesepakatan itu.
Apa pun persoalannya, tindakan Israel yang menyerang Gaza kali ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Apa yang disebut sebagai ”tindakan membela diri” hanyalah dalih bagi pihak militer Israel untuk menyerang Palestina yang tujuannya meruntuhkan rezim Hamas di Gaza. Cara ini hanya didukung oleh kelompok elite konservatif dan militer di Israel yang masih percaya bahwa dengan pencaplokan dan serangan militer, keamanan bagi rakyatnya bisa dijaga.
Masih segar dalam ingatan kita, pada medio 2006, ketika ditengarai ada delapan serdadu Israel terbunuh dan dua serdadu ditawan di perbatasan Lebanon selatan oleh tentara Hizbullah, Israel malah melancarkan se- rangan membabi buta, meng- hancurkan kota-kota di Lebanon, khususnya Beirut, dan mene- waskan 1.000 orang lebih.
Pihak militer Israel dalam posisi sewenang-wenang merasa di atas hukum nurani kemanusiaan dan hukum-hukum internasional. Setiap kali Israel terdesak oleh kesepakatan damai, salah satu strategi yang ia lancarkan adalah melakukan penyerangan dan kekerasan sehingga pihak Palestina lupa akan tuntutan-tuntutan terhadap Israel tersebut dan terpaksa berhenti pada genjatan senjata saja.
Semakin lemah
Menyikapi hal ini, rakyat Palestina membutuhkan hukum internasional yang terbaru untuk menekan pihak Israel. Hukum tersebut harus berbeda dari hukum-hukum internasional sebelum ini yang tidak bisa efektif dan koersif terhadap Israel. Tentu saja hukum internasional ini belum tentu langsung berhasil, tetapi kalau tidak dilakukan, itu hanya akan terus memperkuat apatisme. Kegagalan sebelum ini tak bisa dijadikan alasan untuk terus apatis, tetapi dijadikan sebagai pelajaran agar tidak kembali gagal.
Pada konteks yang lain, rakyat Palestina saat ini, baik yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, seperti dalam tawanan pihak-pihak yang berkuasa, baik Fatah maupun Hamas. Adanya perpecahan antara Fatah dan Hamas sejak tahun 2007 membuat posisi Palestina semakin lemah di hadapan Israel.
Menyikapi serangan Israel terhadap Gaza kali ini pun, pihak PLO dan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan menyalahkan Hamas. PLO dan Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang korup sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas.
Adanya persaingan Ismail Haniyah, perdana menteri versi Hamas, dengan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang berujung pada penggusuran posisi Ismail Haniyah dan meng- gantinya dengan Salam Fayyad—meskipun dari pihak independen dan profesional—tetap tidak bisa mengendalikan situasi di Palestina.
Hal yang mendesak dilakukan adalah kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami, segera berkumpul dan berunding. Perpecahan di antara mereka hanya memperlemah posisi Palestina dan menguatkan posisi lawan. Lembaga Otoritas Palestina dan PLO juga perlu di- kembalikan pada fungsinya dan dihormati keberadaannya. Fatah tidak bisa secara otoriter ingin menguasai dua lembaga ini yang bisa berkomunikasi dengan dunia internasional. Menutup akses ini pada Hamas—yang telah lama diboikot dunia internasional—akan membuat Hamas bertindak sendiri dan merugikan pihak Palestina.
Jihad diplomatik
Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.
Sikap Hamas yang semakin keras justru akan membuat posisinya semakin terkucil meskipun mengucilkan Hamas adalah tindakan pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk menekan Israel yang lebih kuat dan brutal. Sikap pengucilan ini akan semakin membuat pendukung Hamas kehilangan diri dan harapan sehingga konflik di sana akan semakin berkepanjangan. Jika hal ini terus terjadi, berarti kita telah membiarkan kekuatan rasional dan diplomatik kalah di hadapan kekuatan emosional yang destruktif.
Oleh karena itu, menyikapi konflik yang ada di Jalur Gaza sekarang ini, rakyat Palestina memerlukan selain bantuan-bantuan kemanusiaan, yang lebih penting adalah dukungan publik dunia internasional untuk menekan Israel. Bukan bantuan ”relawan jihad” karena para pejuang Palestina sangat tangguh, berani, dan berpengalaman. Sembari memberikan dukungan itu, kita perlu membantu dan mendorong agar pihak-pihak yang pecah di Palestina—dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami—berkumpul, berunding, dan mencari kesepakatan agar barisan rakyat Palestina kukuh dan tidak mudah tercerai-berai menghadapi serangan kaum konservatif Israel.
Konflik antara Hamas dan Israel ini lahir akibat dari kebuntuan politik dalam mencari solusi ke depan. Gagalnya perpanjangan gencatan senjata dua pekan sebelum ini antara Israel dan Hamas menjadi pemantik konflik ini. Kedua belah pihak saling tuding pihak mana yang mengawali konflik ini. Bagi Israel, Hamas-lah yang telah mengirimkan roket-roket yang menyerang permukiman sipil Israel. Namun, bagi Hamas, Israel-lah yang telah melanggar kesepakatan genjatan senjata sehingga Hamas tidak ingin memperpanjang kesepakatan itu.
Apa pun persoalannya, tindakan Israel yang menyerang Gaza kali ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Apa yang disebut sebagai ”tindakan membela diri” hanyalah dalih bagi pihak militer Israel untuk menyerang Palestina yang tujuannya meruntuhkan rezim Hamas di Gaza. Cara ini hanya didukung oleh kelompok elite konservatif dan militer di Israel yang masih percaya bahwa dengan pencaplokan dan serangan militer, keamanan bagi rakyatnya bisa dijaga.
Masih segar dalam ingatan kita, pada medio 2006, ketika ditengarai ada delapan serdadu Israel terbunuh dan dua serdadu ditawan di perbatasan Lebanon selatan oleh tentara Hizbullah, Israel malah melancarkan se- rangan membabi buta, meng- hancurkan kota-kota di Lebanon, khususnya Beirut, dan mene- waskan 1.000 orang lebih.
Pihak militer Israel dalam posisi sewenang-wenang merasa di atas hukum nurani kemanusiaan dan hukum-hukum internasional. Setiap kali Israel terdesak oleh kesepakatan damai, salah satu strategi yang ia lancarkan adalah melakukan penyerangan dan kekerasan sehingga pihak Palestina lupa akan tuntutan-tuntutan terhadap Israel tersebut dan terpaksa berhenti pada genjatan senjata saja.
Semakin lemah
Menyikapi hal ini, rakyat Palestina membutuhkan hukum internasional yang terbaru untuk menekan pihak Israel. Hukum tersebut harus berbeda dari hukum-hukum internasional sebelum ini yang tidak bisa efektif dan koersif terhadap Israel. Tentu saja hukum internasional ini belum tentu langsung berhasil, tetapi kalau tidak dilakukan, itu hanya akan terus memperkuat apatisme. Kegagalan sebelum ini tak bisa dijadikan alasan untuk terus apatis, tetapi dijadikan sebagai pelajaran agar tidak kembali gagal.
Pada konteks yang lain, rakyat Palestina saat ini, baik yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, seperti dalam tawanan pihak-pihak yang berkuasa, baik Fatah maupun Hamas. Adanya perpecahan antara Fatah dan Hamas sejak tahun 2007 membuat posisi Palestina semakin lemah di hadapan Israel.
Menyikapi serangan Israel terhadap Gaza kali ini pun, pihak PLO dan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan menyalahkan Hamas. PLO dan Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang korup sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas.
Adanya persaingan Ismail Haniyah, perdana menteri versi Hamas, dengan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang berujung pada penggusuran posisi Ismail Haniyah dan meng- gantinya dengan Salam Fayyad—meskipun dari pihak independen dan profesional—tetap tidak bisa mengendalikan situasi di Palestina.
Hal yang mendesak dilakukan adalah kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami, segera berkumpul dan berunding. Perpecahan di antara mereka hanya memperlemah posisi Palestina dan menguatkan posisi lawan. Lembaga Otoritas Palestina dan PLO juga perlu di- kembalikan pada fungsinya dan dihormati keberadaannya. Fatah tidak bisa secara otoriter ingin menguasai dua lembaga ini yang bisa berkomunikasi dengan dunia internasional. Menutup akses ini pada Hamas—yang telah lama diboikot dunia internasional—akan membuat Hamas bertindak sendiri dan merugikan pihak Palestina.
Jihad diplomatik
Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional.
Sikap Hamas yang semakin keras justru akan membuat posisinya semakin terkucil meskipun mengucilkan Hamas adalah tindakan pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk menekan Israel yang lebih kuat dan brutal. Sikap pengucilan ini akan semakin membuat pendukung Hamas kehilangan diri dan harapan sehingga konflik di sana akan semakin berkepanjangan. Jika hal ini terus terjadi, berarti kita telah membiarkan kekuatan rasional dan diplomatik kalah di hadapan kekuatan emosional yang destruktif.
Oleh karena itu, menyikapi konflik yang ada di Jalur Gaza sekarang ini, rakyat Palestina memerlukan selain bantuan-bantuan kemanusiaan, yang lebih penting adalah dukungan publik dunia internasional untuk menekan Israel. Bukan bantuan ”relawan jihad” karena para pejuang Palestina sangat tangguh, berani, dan berpengalaman. Sembari memberikan dukungan itu, kita perlu membantu dan mendorong agar pihak-pihak yang pecah di Palestina—dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami—berkumpul, berunding, dan mencari kesepakatan agar barisan rakyat Palestina kukuh dan tidak mudah tercerai-berai menghadapi serangan kaum konservatif Israel.
Sumber: Kompas, 31 Desember 2008
Ket foto: Guntur Romli. Foto: dok Ansel Deri
Kepada Anak Kampung NTT anda sangat Cerdas tp Tolong anda Kunjungi blog saya anak Sulawesi Bugis di alamat http://kahar-mustain.blogspot.com
ReplyDeleteberikan komentar dan sampaikan ke Pak.SBY
Yth.Anak Kampung NTT anda cukup Cerdas akan lebis cerdas dan Radikal jurnalis bila diberi komentar blog saya di alamat http://kahar-mustain.blogspot.com
ReplyDeletekiranya anak kampung dapat menyebar luaskan isi blog saya dan menyampaikan ke Pak.SBY