pengajar filsafat UI
Hari ini, 31 Desember, negeri ini menunggu putusan pengadilan kasus Munir. Setelah hampir lima tahun dililit benang kusut kasus itu, kini kita menunggu simpul- simpulnya diurai satu per satu.
Pertanyaan utama kita adalah jenis keadilan semacam apakah yang akan kita saksikan di ruang pengadilan besok? Apakah putusan majelis hakim akan melegakan pernapasan demokrasi? Akankah putusan ini tercatat dalam dokumen hak asasi manusia sebagai tanda komitmen bangsa ini terhadap perjuangan kebebasan politik?
Lebih dari itu, apakah putusan itu merupakan akhir dari pengusutan panjang atau justru awal untuk suatu pengusutan yang lebih kompleks terhadap motif dan jaringan politik antidemokrasi yang sangat mungkin masih menumpang dalam sistem demokrasi kita hari-hari ini?
Transisi yang tidak tuntas
Untuk menoleh sejenak ke belakang, pada hari-hari awal reformasi, kita sekarang seperti merasakan ada yang tak tuntas dalam proses ”transisi menuju demokrasi” yang kita sebut gerakan reformasi itu. Secara material kita memang telah memiliki berbagai perlengkapan politik demokrasi: partai, parlemen, pemilu, Mahkamah Konstitusi, pers bebas, dan seterusnya. Namun, secara mental kita justru khawatir bahwa perlengkapan politik itu setiap saat dapat dipergunakan oleh para ”pemain tersembunyi” yang berupaya memanfaatkan ”layar demokrasi” sebagai tempat berlindung bagi latihan politik yang antidemokrasi. Artinya, keterbukaan politik yang kita nikmati sekarang ini sesungguhnya juga dinikmati kalangan yang sebetulnya memelihara motif politik antidemokrasi.
Dalam banyak studi tentang ”transisi demokrasi” di berbagai negara, kegagalan menegakkan hak asasi manusia akan menjadi hambatan struktural bagi semua upaya memperoleh keadilan sosial-ekonomi. Artinya, sebuah bangsa yang tak tuntas menyelesaikan perkara-perkara pembunuhan politik akan terus terjebak dalam keragu-raguan menjalankan demokrasi. Dan, dalam kondisi di mana demokrasi tak menjadi dasar kebudayaan politik, sangat sukar bagi masyarakat mengajukan berbagai tuntutan keadilan sosial-ekonomi yang lebih luas. Demokrasi adalah kondisi yang diperlukan untuk mewadahi keadilan sosial. Demokrasi adalah suasana yang akan menjamin setiap orang bebas memperjuangkan hak-hak hukum dan sosial-ekonominya.
Dalam konteks itu kedudukan lembaga peradilan menjadi sangat menentukan dalam memelopori upaya mewujudkan suasana demokrasi. Pengadilan dalam masyarakat transisi adalah mercusuar yang akan memandu masyarakat untuk berani berlabuh di pelabuhan demokrasi. Terlebih, dalam kondisi politik kita hari-hari ini, ketika demokrasi semakin ditekan oleh kapital dan komunalisme, kita membutuhkan penguatan hak asasi manusia sebagai tiang pokok membangun demokrasi. Memang halangan utama dalam membongkar kejahatan politik adalah keragu-raguan sebagian penyelenggara negara kita tentang manfaat demokrasi. Konteks inilah yang sering dimanfaatkan kepentingan dan lobi politik untuk mengganggu psikologi pengadilan.
Khusus dalam hal kejahatan politik, faktor konspirasi adalah praduga yang sah dalam pengadilan. Kejahatan politik bukan kejahatan personal. Di sinilah halangan itu bisa berawal karena kejahatan itu sering kali justru bernama ”rahasia negara”. Karena itu, pengadilan kejahatan politik sangat rawan dipengaruhi berbagai ”pertimbangan strategis”: stabilitas nasional, agenda pemilu, dan lain-lain.
Peradaban politik baru
Munir adalah tiang pokok perjuangan demokrasi. Pengadilan kasus Munir adalah pertaruhan keadilan yang sangat menentukan peradaban demokrasi kita selanjutnya. Kita harus selesaikan kasus ini agar ia tak terus jadi ”duri dalam daging” bagi sejarah demokrasi kita. Penghormatan kita pada independensi pengadilan adalah juga penghormatan kita pada martabat setiap orang yang teraniaya, entah dia korban, entah sebagai terdakwa.
Keadilan adalah menerangkan apa yang tersembunyi oleh kekuasaan. Keadilan adalah penyatuan kembali relasi kemanusiaan yang dipisahkan oleh kejahatan. Karena itu, keadilan seharusnya menimbulkan kelegaan batin, yaitu dengan melepaskan beban dendam dan kepentingan politik. Seluruh dorongan negara dan advokasi publik terhadap pengungkapan kasus Munir sudah cukup dikerjakan. Sistem internasional juga telah bekerja di dalam semangat yang sama. Karena itu, urgensi dari kasus ini tak lagi sekadar demi memenuhi ”agenda reformasi”, tetapi lebih dari itu adalah meyakinkan setiap orang bahwa jalan demokrasi yang sedang kita tempuh adalah jalan peradaban yang memuliakan martabat manusia. Kini kita menunggu majelis hakim mengucapkan sebuah putusan yang melegakan kemanusiaan dan menciptakan peradaban politik baru.
Sumber: Kompas, 31 Desember 2008.
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
ReplyDeletePutusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675