Headlines News :
Home » » Penuhi Hak Warga Negara

Penuhi Hak Warga Negara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, June 07, 2009 | 6:37 PM

Negara mau tidak mau harus memenuhi hak-hak warga negara terutama hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lainnya.

Hal itu dikemukakan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Yosep Adi Prasetyo ketika tampil sebagai pembicara saat peluncuran dan bedah buku Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal di Function Room Lt 2 Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta Timur, Sabtu, 23/5.

“Kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dari negara dalam bentuk menghormati, to respect, melindungi, to protect, dan memenuhi, to fullfil,” ujar Prasetyo. Selain Prasetyo, tampil juga penulis buku Marianus Kleden, Dr Adhi Santhika dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM RI, dan pakar masyarakat adat Dr Saafroedin Bahar. Bertindak selaku moderator Pastor Charles Beraf, SVD.

Persoalan lain yang perlu dilihat adalah sejauhmana negara memenuhi hak asasi manusia warganya. Misalnya, pada Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 lalu di mana jutaan orang tidak menggunakan hak pilih. Padahal itu hak sipil yang dijamin konstitusi yakni hak memilih, hak dipilih, dan hak untuk tidak memilih.

Prasetyo pernah memantau sebuah rumah sakit jiwa, di mana diputuskan oleh KPU bahwa pasien rumah sakit jiwa seluruhnya kehilangan hak. Mereka tidak boleh memilih karena mereka semua gila. Padahal, saat bertemu dengan Departemen Psikiatri UI dan pihak Departemen Kesehatan ia menanyakan apakah seluruh penghuni rumah sakit jiwa kehilangan haknya.

“Mereka mengatakan, hanya sekitar lima persen yang kehilangan haknya. Sisanya boleh memilih dan harus dianjurkan untuk memilih. Mengapa, karena batas antara orang gila dengan caleg yang masuk rumah sakit jiwa sangat tipis,” tandas Prasetyo.

Dalam kasus lain. Misalnya, warga masyarakat di lembah Baliem, Papua di mana sebagian warga belum bisa baca dan tulis. Saat datang ke TPS dan ditanya mencontreng siapa, maka yang mereka sebut adalah caleg di kabupaten. Itupun dicontreng petugas setelah mereka disuruh pulang. “DPRD I, DPR RI, dan DPD RI dipilih petugas. Nah, untuk memilih tergantung petugasnya apakah kepada caleg partai A, B, C dan sebagainya,” lanjutnya.

Begitu pula pengikut aliran Jemaah Ahmadiyah di pengungsian. Ternyata, mereka juga tidak didaftar. Atau warga masyarakat di daerah konflik seperti Poso, Ambon, eks pengungsi Timor Timur atau para TKI di Nunukan, Kalimantan Timur. Banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya. “Ini adalah efek panjang dari ketidakmengertian jajaran pelaksana pemerintahan bahwa ini adalah hak yang dijamin oleh negara. Saya berharap agar pada pilpres mendatang kondisinya lebih baik,” tandas Prasetyo.

Pengalaman

Dr Adhi Santika menceritakan sebuah pengalaman menarik tatkala melakukan perjalanan dari Soe, kota Kabupaten Timor Tengah Selatan menuju Kefamenanu di Timor Tengah Utara, NTT tahun 2008. Saat itu ia mendengar dua ungkapan menarik yang tak pernah ia lupakan.

“Di Kefamenanu, ada seorang rekan mengatakan, ini masih bagian Indonesia. Kalimat itu begitu menyentuh hati saya karena ketika melihat kondisi di sana, itu sangat beda,” cerita Adhi. Masih di Kefamenanu, dalam sebuah diskusi masalah hukum dan HAM, seorang teman yang mencari tahu Perda TTU terkait hukum dan HAM ia tak menemukan karena mendapat jawaban bahwa perda itu adalah milik negara sehingga tidak boleh mengakses.

Dalam perspektif HAM, menurut Saafroedin Bahar, masyarakat hukum adat –dengan berbagai nama– termasuk dalam kategori kelompok rentan, vulnerable group, yang memerlukan perlindungan khusus dari negara. Secara formal, perlindungan khusus tercantum dalam beberapa pasal UUD 1945 dan beberapa UU lain.

“Jauh lebih penting adalah dari sekadar jaminan di atas kertas adalah pelaksanaannya secara in concreto, di mana keadaannya masih belum banyak berubah. Mengapa, karena undang-undang sektoral yang masih berlaku saat ini bukan saja tidak bersahabat dengan masyarakat hukum adat, tetapi juga telah memberi peluang pelanggaran hak masyarakat hukum adat,” kata Saafroedin.

Peluncuran dan bedah buku yang dibuka Sekjen Komnas HAM Soedibyo dihadiri sejumlah undangan. Buku itu diterbitkan atas kerja sama Penerbit Lamalera, Yogyakarta dan Komnas HAM RI. “Kegiatan ini merupakan kehormatan bagi Komnas HAM untuk terlibat dalam diskusi dan bedah buku Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal,” kata Soedibyo.
Ansel Deri
Ket Foto– Para nara sumber (dari kiri) Marianus Kleden, Adi Prasetyo, Adhi Santhika, dan Saafroedin Bahar serta moderator Pastor Charles Beraf, SVD saat peluncuran dan bedah buku di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur, Sabtu, 23/5.Sumber: HIDUP 7 Juni 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger