Headlines News :
Home » » Mengintip Tradisi Pengambilan Nale di Mingar, Pulau Lembata

Mengintip Tradisi Pengambilan Nale di Mingar, Pulau Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 03, 2009 | 12:46 PM

 
Anda mungkin sudah merasakan nikmatnya aneka santapan hidangan laut, tapi pernahkan Anda menyantap "see food" dari Mingar?  

Boleh jadi Anda sudah mendengar nama makanan laut dari wilayah Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur itu, tapi belum menyantapnya. Atau barangkali Anda sudah pernah mencobanya, tapi mungkin Anda belum tahu bahwa makanan itu memiliki cita rasa magis. Tidak percaya?

Masyarakat Mingar (Desa Pasir Putih), Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata menyebut ikan sehalus benang itu dengan sebutan Nale (Nyale). Koloni ikan ini yang mirip cacing ini selalu muncul setiap tahun di pesisir pantai Watan Raja. Mereka membuat bentangan yang luas hampir menutupi seluruh permukaan laut di pesisir pantai Mingar.

Selain di Pantai Mingar, Ikan Nale —Ada juga yang menamakannya Cacing Wawo, Puteri Mandalika atau Ikan Raja— terdapat di beberapa daerah lain, seperti di Pulau Lombok dan Sumbawa, selatan Pulau Halmahera dan di utara Benua Australia. Di Pulau Lombok, orang menyebutnya dengan nama Nyale.

Konon, di masa lalu —entah kapan persisnya— leluhur orang Mingar ketika pertama kali melihatnya, tidak berani mengganggu bentangan ikan-ikan halus berwarna hijau tua itu, apalagi memakannya. Tetapi karena selalu muncul setiap tahun, mereka menjadi penasaran untuk mencobanya.
Mula-mula mereka memberikan ikan itu kepada anjing sebagai ujicoba, jika anjing tersebut mati, maka ikan itu bukanlah makanan yang pantas dimakan. Ternyata, anjing yang memakan ikan tersebut tidak mati.

Ujicoba tahap kedua pun dilakukan. Kali ini beberapa orang tua menjadi relawan. Ternyata mereka yang memakannya tidak merasakan dampak negatif. Karena itu para leluhur orang Mingar mengambil kesimpulan bahwa ikan ini merupakan makanan yang layak dimakan.

Sejak ujicoba itu, orang Mingar mulai mendapatkan sumber makanan laut yang cukup berlimpah. Tetapi dalam lubuk hati mereka, ada pertanyaan besar yang mengganggu. Mengapa ikan ini sepertinya tidak pernah berkurang? Ada apa di balik kehadiran koloni ikan yang seolah enggan bergerak meninggalkan pantai Mingar?

Menurut Andreas Puri Papang (76), ikan Nale itu bukan sembarang ikan. Dia adalah jelmaan dari Wujud Tertinggi, karena itu ikan Nale disebut juga sebagai Ikan Raja. Kehadiran koloni ikan ini menjadi pertanda baik, bahwa Yang Maha Kuasa berkenan memberi kesejahteraan bagi semua orang yang mengalami kesulitan hidup, juga memberkati hasil ladang orang Mingar.

Karena keyakinan ini, maka sejak zaman dulu, orang Mingar memberi penghormatan yang pantas kepada ikan Nale. Wujud penghormatan itu dilakukan melalui ritus adat dan sudah menjadi tradisi yang dipegang semua anak suku di Mingar.

Sayangnya, kata Andreas, tradisi pengambilan Nale itu sudah mulai dilupakan sejak tahun 1997 silam. “Orang Mingar sudah mulai melupakan salah satu tradisi yang penting dalam hidup mereka,” kata Andreas, prihatin.

Keprihatinan Andreas ini bukan lantaran sukunya—Suku Ketupapa—tidak lagi mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan ritus pengambilan Nale. Lebih dari itu, dia prihatin karena masyarakat sudah tidak peduli lagi untuk hidup selaras dengan alam dan berpegang pada nilai-nilai yang diwariskan para leluhur.

Andreas mengatakan, ritus adat yang sudah menjadi tradisi orang Mingar ini bukan rekaan semata. Ada sejarahnya. “Upacara pengambilan Nale itu ada sejarahnya. Dan sejarah itu diwariskan secara turun-temurun, terutama di kalangan suku Ketupapa sebagai pemegang hak adat pengambilan Nale. Saya sendiri mendengar kisah itu dari bapak saya (alm) Ama Paleng Ketupapa, yang semasa hidupnya rutin menjalankan adat pengambilan Nale,” tutur Andreas yang ditemui di Mingar belum lama ini.

Sejumlah sesepuh masyarakat Mingar seperti Yustinus Letu Sura (78), Theodorus Ratu Punang (79), Yoseph Pati Punang (67), Theodorus Kia Sura (75), Gerardus Gelabor Lele (80), dan Bernardus Bala Muda (84) mengiyakan penuturan Andeas Papang.

Para tetua yang ditemui secara terpisah di kediamannya masing-masing ini menuturkan kisah yang tidak jauh berbeda.

Alkisah, pada suatu ketika dua bersaudara Suku Ketupapa, Belake dan Geroda hendak melaut. Sebelum pergi mereka mengajak Ama Belawa Ata Kebeleng agar menyusul mereka sambil tuak (nira pohon lontar).

Ketika Belake dan Geroda sampai di pantai Watan Raja, keduanya tidak segera melaut karena dari kejauhan terlihat dua orang sedang berenang menuju pantai. Kedua orang yang berbadan tegap itu nampak sangat kelelahan.

Ketika telah sampai di darat, Belake dan Geroda yang penasaran langsung bertanya siapa mereka, dari mana mereka berasal dan apa tujuan mereka berenang ke pantai Mingar.

Kedua pendatang itu, walau masih kelelahan mengaku bernama Srona dan Srani. Mereka masing-masing membawa sebuah batu—yang diakui sebagai jelamaan isteri mereka yang bernama Srupu dan Srepe.

Mereka mengaku berasal dari kampung Duli. Sementara tujuan kedatangan mereka ke Mingar yakni mengikuti Ikan Nale yang sudah bertahun-tahun ada di pantai tersebut.

Belake dan Geroda meminta Srona dan Srani agar menunggu dengan cara bersembunyi di atas pohon pandan karena mereka hendak mencari ikan. Srona dan Srani pun menaati permintaan tersebut.

Namun tak lama berselang, munculah Ama Belawa Ata Kabeleng memenuhi ajakan Belake dan Geroda sambil membawa tuak. Tapi dia tidak datang sendirian. Ia datang bersama anjingnya. Persembunyian Srona dan Srani akhirnya diketahui oleh Ama Belawa berkat penciuman anjingnya yang terlatih.

Ama Belawa meminta kedua orang asing itu turun dari pohon pandan dan mereka pun bercakap-cakap sambil menunggu kedatangan Belake dan Geroda. Tak lama berselang, Belake dan Geroda pun datang sambil membawa ikan. Mereka kemudian makan ikan dan minum tuak bersama.

Kedua pendatang itu kemudian diajak ke kampung untuk diperkenalkan kepada semua warga. Di hadapan masyarakat Mingar, kedua pendatang itu memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Kedua pendatang itu mengatakan, mereka datang ke Mingar mengikuti ikan Nale yang telah bergerak meninggalkan kampung mereka sejak beberapa tahun silam. Keduanya kemudian mengisahkan bahwa Ikan Nale ini adalah jelmaan Wujud Tertinggi.

Karena itu untuk mengambilnya ada tata caranya, juga ada pantangan-pantangannya. Waktu untuk mengambilnya pun tidak sembarangan. Ikan ini hanya boleh diambil pada purnama ketujuh atau pada musim Weten Kewaru Olot.

Kedua pendatang itu kemudian diterima dan tinggal bersama Suku Ketupapa di wilayah yang disebut Baohinga. Dan sejak itu, setiap tahun pada purnama ketujuh, Srona dan Srani memimpin upacara adat pengambilan Nale. Hak adat itu kemudian diserahkan kepada Suku Ketupapa.

Sebelum meninggal, Srona dan Srani berpesan agar tengkorak kepala mereka ditempatkan di lokasi yang disebut Duli Ulu (di bagian timur lapangan sepak bola Mingar).

Sayangnya, tengkorak Srona dan Srani sejak beberapa dekade yang lalu tidak pernah dirawat lagi dan pada tahun 1998 diketahui telah hilang. Hilangnya tengkorak Srona dan Srani ini seolah mempertegas lunturnya tradisi pengambilan Nale di Mingar yang kental dengan nuansa magis-religius.

Menurut Andreas Puri Papang, prosesi adat pengambilan Nale sebagaimana diajarkan Srona dan Srani tidak terlalu rumit. Intinya, semua pihak yang terlibat harus bersih secara lahir dan batin.

Jika waktunya telah tiba, kata Andreas, kepala Suku Ketupapa dan beberapa anak sukunya akan menjalankan ritual tersebut di Batu Koker Nale. Dan warga Mingar yang hadir boleh membawa sesajian sebagai bentuk penghormatan kepada Wujud Tertinggi, yang berkenan memberikan berkat bagi orang-orang yang berkesusahan.

Setelah ritual telah dilakukan, barulah warga bersama-sama boleh mengambil Nale selama kurun waktu yang telah ditentukan. Jika waktunya telah selesai, maka Kepala Suku Ketupapa kembali mengadakan ritual penutup di Batu Koker Nale.

Pada kesempatan ini, warga diberi kesempatan untuk menyatakan syukur atas kemurahan Wujud Tertinggi.

Pada upacara penutup itu, Kepala Suku Ketupapa biasanya melantun mantra: Enem lau pito jae, pito jae buto lau tune mu besol, mo akaju para boi ribu ratu moa ia duli pali epak rea, waike ake da malu mai.

Artinya “Selalu saja ada pengharapan yang penuh kepada alam, agar pada waktu yang sama juga diinginkan adanya kehadiran kembali guna memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.”

Kini, ritual itu tinggal kenangan. Sejarah Nale pun sepertinya telah dilupakan. Padahal, di masa lalu, tradisi pengambilan Nale pernah menjadi salah satu tonggak penting dalam kehidupan dan budaya orang Mingar. Duh Mingar…!
Sumber: simpuldemokrasi.org, 17 Juni 2009
Ket foto: Keindahan Pantai Mingar yang kaya akan Nale (gbr 1) dan salah satu sudut pemandangan panorama pantai dengan ombak yang menawan. Gambar diabadikan penulis pada pada 1 April 2010 dalam perjalanan dari Lamaleran menuju Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur di Pulau Flores. Foto: dok. Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger