Masih energik pula. Ia hadir dalam sebuah acara penting yang diikuti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI dan bekas Sekjen dan Presiden OPEC Purnomo Yusgiantoro dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.
Pria itu tak lain Prof Dr Subroto, (84), mantan menteri di jaman Orde Baru dan mantan Sekjen OPEC yang berkedudukan di Wina, Austria. “Dulu, yang dicita-citakan ayah dan ibu saya saat saya besar adalah supaya saya dapat berdharma. Berdharma artinya, berbuat sesuatu bagi orang lain. Setelah kita sudah berbuat sesuatu bagi orang lain maka hidup kita baru ada artinya. Itu yang disampaikan ayah dan ibu saya,” kata Pak Broto kepada saya.
Meski Pak Broto sudah memasuki usia senja, ia nampak sehat dan bugar. Ia pun buka rahasianya. Paling utama yakni bersyukur kepada Allah karena sudah diberi umur panjang, kesehatan dan tetap bermanfaat bagi banyak orang. Untuk membuat badannya tetap sehat ia juga berenang, rutin jalan kaki dan bermain tenis secara teratur.
Nah, di usianya yang kian uzur muncul ide menuangkan jejak pengabdian Subroto melalui Subroto Tak Kenal Lelah yang diarsiteki dua wartawan senior: Parni Hadi dan Mustofa Kamil. Meski sudah terbit beberapa tahun silam, buku itu inspiratif kapanpun.
Sejumlah kolega dan bekas mahasiswa juga ikut menulis sisi lain Subroto. Sebut saja Widjoyo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim dan Sri Edi Swasono. Tujuan penulisannya, sejauh saya baca, tak lain untuk mengenal sosok Subroto dan rekam jejaknya sejak kecil, masa pergerakan, dan menduduki jabatan penting di tingkat nasional maupun internasiona hingga memanfaatkan sisa pengabdian meski sudah pensiun.
Jejak inspiratif
Siapa Subroto? Pria ramah dan murah senyum ini lahir di Kampung Sewu, Solo, 19 September 1923. Ia terlahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Martosuwignyo Ibu Sindurejo.
Saat kecil ia dipanggil dengan nama kesayangan Ndoro Menggung oleh orangtua dan saudara-saudaranya. Pemilihan nama Subroto pun punya makna khusus. Bahwa kelak diharapkan menjadi seseorang yang mau melakukan pengabdian demi memayu-ayuning bawono atau kemaslahatan banyak orang.
Meski anak priyai, ia tak memperoleh hak istimewa, termasuk mengenyam pendidikan di HIS maupun pendidikan luar sekolah seperti Gerakan Kepanduan.
Selepas HIS, Subroto melanjutkan sekolah di MULO dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Situasi pada saat itu memaksa Subroto mendaftarkan diri masuk PETA. Sayangnya, ia harus ditolak karena terlalu kurus. Pada 1 November 1945, ia diterima sebagai kadet (taruna) di Militer Academie (MA) di Yogya. Ada kebanggaan karena dari 197 angkatan pertama ia adalah lululusan Terbaik II dan menyandang pangkat Letnan II.
Sebagai tentara Subroto bersama rekan-rekannya seperti Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Soedarman, Himawan Sutanto, Ali Sadikin, Yogi Supardi, dan Sayidiman Suryohadiprodjo ikut bertempur melawan penjajah hingga tahun 1950.
Selepas medan pertempuran, Subroto kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) hingga meraih gelar Sarjana Muda tahun 1952. Kesempatan terbuka lebar. Subroto melanjutkan kuliah di Mc Gill University, Montreal, Canada. Pada 1958 meraih gelar doktor ekonomi di UI. Gelar guru besar segera diperoleh.
Berbagai kepercayaan terus diberikan. Pernah menjabat Dirjen Penelitian dan Pengembangan Departemen Perdagangan RI. Tahun 1971–1973 menjabat Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Kabinet Pembangunan II. Tahun 1978 menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Program Listrik Masuk Desa adalah program yang ia rintis kala itu.
Tahun 1988, Subroto mendapat kepercayaan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berkedudukan di Wina, Austria. Dari Wina, Austria ini ia masih sempat memikirkan nasib anak bangsa yang masih terbelit kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan.
Kondisi ini mendorong Subroto dan sekretarisnya, Rizal Sikumbang mendirikan Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) yang concern di bidang pendidikan. Di usia senja ia terus berkarya dan mengabdi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengaku buku ini lahir dari sebuah inspirasi waktu Subroto menyampaikan pidatonya di Lengkong Wetan, pilot project YBAI di bidang pendidikan.
Ada teladan yang bisa dipetik dari buku ini yaitu bagaimana anak-anak dan remaja belajar, berpikir, bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Ke depan bangsa ini harus bangkit mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan teknologi dan sosial ekonomi, dengan fokus perubahan di desa-desa di seluruh pelosok Tanah Air.
Buku ini bisa menjadi insiprasi bagi siapa saja, terutama anak-anak sekolah, yang menjadi generasi pewaris masa depan bangsa. Sebagaimana inspirasi yang ditunjukkan Ndoro Menggung, anak kampung Sewu, Solo sejak kecil hingga memasuki usia senja.
Ansel Deri
Peresensi adalah penulis lepas, tinggal di Jakarta
Judul : Subroto Tak Kenal Lelah
Penulis : Tim
Prakata : Dr Rizal Sikumbang
Pengantar : Parni Hadi
Prolog : Prof Dr Widjojo dan Prof Dr M Sadli
Editor :Parni Hadi dan Mustofa Kamil Ridwan
Penerbit : Yayasan Bina Anak Indonesia
Pencetak : PT Penebar Swadaya Jakarta
Terbit : I, Mei 2004
Tebal : 434
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!