Oleh Linus Lusi
Ketua Forum Ilmiah Guru SD (FIGUR)/MK2S SD Kota Kupang
KETERPURUKAN mutu Pendidikan NTT dalam pentas nasional, menggugah Harian Umum Pos Kupang menggelar diskusi terbatas tentang permasalahan pendidikan di NTT di redaksi Pos Kupang, Kamis, 12 Maret 2009 silam. Tepat sekali diskusi tersebut dilakukan mengingat banyak hal yang perlu dibedah untuk menemukan berbagai solusi sesuai topik yang diberikan oleh panitia.
Narasumber yang diundang antara lain Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurekmaking, pakar kurikulum dari Undana Prof. Elyas Kopong, mantan Kadis P&K NTT, Drs. Jhon Manulangga, Ketua Yaswari Keuskupan Agung Kupang, Perwakilan siswa SMKN 6, SMAK Giovani. Diskusi berlangsung dinamis. Tidak hanya dihadiri oleh Kadis PPO NTT, Ir. Thobias Ully, hadir juga Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan beberapa kepala sekolah pilihan dari jenjang SMP hingga SMA Kota Kupang.
Diawali sekapur sirih dari Pemimpin Umum Harian Umum Pos Kupang, Damyan Godho, dengan retorika retoris, apakah benar manusia NTT bodoh? Menghilangkan stigma demikian, salah satu akar masalahnya terletak pada guru. Karena itu, sebagai narasumber yang mengkaji permasalahan guru dalam kelas, setidaknya ada empat masalah yang menghantui guru dan solusi dalam meretas pernyataan tersebut. Diperkaya berbagai tambahan gagasan pasca diskusi sesuai realitas pembelajaran dituangkan kembali dalam tulisan ini untuk didiskusikan lebih lanjut.
Terperangkap Rutinitas
Bahaya terbesar sebuah organisasi apabila organisasi itu berjalan statis. Out pout-nya sebagai landasan dalam menentukan suatu keberhasilan. Begitupun dialami sekolah dalam aras pendidikan. Masalah pertama, pada umumnya para guru terperangkap dalam rutinitas pembelajaran yang berjalan secara statis. Padahal sebagai salah satu komponen utama pembelajaran dengan dwifungsi sebagai pendidik dan pengajar, para guru perlu melakukan dinamika pembelajaran yang progresif.
Ciri pembelajaran yang progresif pada aspek guru adalah tidak cepat puas terhadap hasil pencapaian siswa. Kenapa? Karena selama ini ilmu sekadar dipelajari, diketahui, diuji dan diberi nilai. Tetapi ilmu digunakan untuk memecahkan masalah tampaknya masih jauh dari harapan bersama. Hal ini dapat terlihat dari raut kepuasan para guru ataupun siswanya ketika secara teoretis memperoleh nilai yang sangat fantastis. Namun dalam praktek gagal menggunakan konsep ilmu tersebut.
Di sisi lain para guru juga sangat 'kikir' memberi ruang kebebasan akademik berciri sekolah kepada peserta didik. Padahal terdapat sejumlah hasrat yang terpendam dalam diri anak untuk mengubah sebuah kenyataan yang dialami dengan cara berpikirnya.
Secara yuridis formal, kepekaan dan tanggung jawab sosial guru telah diatur dalam UU Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005. Dinyatakan dalam UU itu bahwa guru sebagai pendidik profesional ditugaskan untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Terperangkapnya rutinitas pembelajaran secara spesifik diamati dalam aspek mendidik, mengajar, melatih. Kecenderungan guru mengulang ritme kerja yang mestinya dalam poin-poin tertentu tidak perlu terjadi. Karena irama tersebut cenderung tidak inovatif dan gagal mendongrak mutu pembelajaran dalam jangka panjang.
Teori Belajar Kurang
Masalah kedua, para guru belum maksimal menerapkan berbagai teori belajar yang relevan dalam proses pembelajaran. Padahal mendalami teori belajar secara sistimatis dapat mengarahkan siswa belajar bagaimana belajar. Oleh Trianto (2007) dikatakan bahwa teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa.
Berdasarkan sebuah teori belajar para guru seyogianya perlu menyeleksi setiap kompetensi dasar pembelajaran dan mendesain skenario pembelajaran untuk peserta didik. Akan lebih tepat guna, apabila ada kesadaran pedagogik dari para gurunya mengajak siswa bersama merancang model pembelajaran versi sebuah teori belajar. Sebagai gambaran, teori belajar behaviorisme memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon. Teori konstruktivisme secara filosofis memandang belajar sebagai upaya membangun makna pengetahuan secara bertahap dengan cara pandang peserta didik yang kemudian hasilnya diperdebatkan antarsiswa sebagai bahan pengembangan pembelajaran (Don, 2004).
Pernyataan tersebut, pada tataran implementasi pembelajaran di kelas bertolak belakang. Lain halnya di kampus pasca sarjana pendidikan Undana Kupang, para mahasiswanya dilatih mendesain model pembelajaran sesuai teori-teori pembelajaran dalam mata kuliah pembelajaran inovatif yang kemudian dipresentasikan. Salah satunya model pembelajaran 5 W 1 H berbasis konstruktivisme yang selama ini dilakukan. Sebulan berjalan dalam diskusi curah pendapat antarmahasiswa implementasi di kelas, ternyata membawa perubahan sikap dan mental para siswa yang terukur dalam perubahan hasil belajar siswa. Dan yang lebih istimewa lagi sebagian skenario pembelajaran tersebut ditingkatkan menjadi topik kajian dalam proposal penelitian tesis.
Komitmen guru
Akar masalah ketiga ialah lemahnya komitmen guru terhadap paradigma pembelajaran. Akibatnya, berbagai perubahan pembelajaran yang perlu diadaptasi, dinovasi diabaikan. Padahal tidak sedikit para guru telah meluangkan waktu dan tenaga berjam-jam di ruangan workshop mendengar praktek pembelajaran. Kondisi ini turut berperan dalam perubahan cara belajar siswa di kelas. Krisis komitmen guru oleh Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek, dalam pertemuan diskusi di Pos Kupang, disentil dengan pernytaan "menjadi guru yang terpanggil atau ...."
Pernyataan tersebut merupakan suatu refleksi guru dalam memahami dirinya sebagai seorang guru dalam mengajar, membimbing. Dalam pandangan guru berpestasi nasional asal SDN Kuanino Kota Kupang tahun 2006, HJ Mintarningsih, dalam mengajar guru hanya sebagai penunjuk rambu-rambu dan mentaati rambu-rambu, bukan menciptakan rambu-rambu. Tujuannya agar pembelajaran selalu diingat seumur oleh siswa sekaligus mengembangkan konsistensi diri. Penekanannya perlu dibangun komitmen pembelajaran antara siswa dan guru.
Lainnya Agus Gias, guru berprestasi tingkat nasional asal SDK Ruteng V, Manggarai tahun 2007. Mengajar baginya, tidak cukup memindahkan ilmu ke siswa. Lebih dari itu bagaimana membuat siswa tahu atau memahami ilmu yang dipelajari, sehingga konteks pembelajaran siswa adalah bagaimana siswa menemukan sesuatu dari apa yang dilihat, didengar, dialami sendiri pada proses belajar yang dibangunnya sehingga ada pergeseran paradigma dari mengajar ke membelajarkan. Sebaliknya mengajar berarti mempengaruhi siswa untuk melakukan sesuatu dan harus lebih bisa dari orang lain.
Pernyataan dari para guru berpestasi di atas menempatkan guru sebagai seniman pembelajaran dan memiliki kepekaan terhadap apa yang dibutuhkan oleh siswa sesuai paradigma pembelajaran terkini. Dan komitmen terhadap tugas menjadi kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas.
Kontak Akademik
Idealnya agar proses pemahaman para guru terhadap pembelajaran memadai, maka kontak akademik berciri ilmiah perlu ditingkatkan. Kontak akademik ini belum optimal dilakukan. Inilah yang menjadi bagian permasalahan guru. Kontak akademik sebagai pertemuan antarguru atau dengan narasumber bersifat keilmiahan untuk membahas berbagai persoalan pendidikan lintas mata pelajaran atau antarmata pelajaran untuk dicari jalan keluar (Linus Lusi, Pos Kupang, 12/9/2008).
Berbagai wadah organisasi profesi guru perlu dioptimalkan untuk penguatan akademik guru. Di sinilah akan ada pertemuan ide untuk melakukan berbagai perbaikan pembelajaran. Dalam pemahaman tersebut, maka kehadiran para guru sebagai solusi persoalan pembelajaran.
Terhadap berbagai permasalahan di atas, maka yang perlu dibangun adalah memperkuat kemampuan profesional guru melalui pendidikan dan pelatihan, pengembangan berbagai metode dan media pembelajaran. Komitmen guru perlu dilihat dari kepuasan kerja yang mutlak diperhatikan oleh pemangku pendidikan. Disamping itu juga perlu diadakan supervisi pembelajaran terhadap para guru maupun siswa. Dan kala penting adanya keberpihakan pemerintah terhadap perbaikan mutu pendidikan dengan sebuah aksi nyata yang legal formal.
Diawali sekapur sirih dari Pemimpin Umum Harian Umum Pos Kupang, Damyan Godho, dengan retorika retoris, apakah benar manusia NTT bodoh? Menghilangkan stigma demikian, salah satu akar masalahnya terletak pada guru. Karena itu, sebagai narasumber yang mengkaji permasalahan guru dalam kelas, setidaknya ada empat masalah yang menghantui guru dan solusi dalam meretas pernyataan tersebut. Diperkaya berbagai tambahan gagasan pasca diskusi sesuai realitas pembelajaran dituangkan kembali dalam tulisan ini untuk didiskusikan lebih lanjut.
Terperangkap Rutinitas
Bahaya terbesar sebuah organisasi apabila organisasi itu berjalan statis. Out pout-nya sebagai landasan dalam menentukan suatu keberhasilan. Begitupun dialami sekolah dalam aras pendidikan. Masalah pertama, pada umumnya para guru terperangkap dalam rutinitas pembelajaran yang berjalan secara statis. Padahal sebagai salah satu komponen utama pembelajaran dengan dwifungsi sebagai pendidik dan pengajar, para guru perlu melakukan dinamika pembelajaran yang progresif.
Ciri pembelajaran yang progresif pada aspek guru adalah tidak cepat puas terhadap hasil pencapaian siswa. Kenapa? Karena selama ini ilmu sekadar dipelajari, diketahui, diuji dan diberi nilai. Tetapi ilmu digunakan untuk memecahkan masalah tampaknya masih jauh dari harapan bersama. Hal ini dapat terlihat dari raut kepuasan para guru ataupun siswanya ketika secara teoretis memperoleh nilai yang sangat fantastis. Namun dalam praktek gagal menggunakan konsep ilmu tersebut.
Di sisi lain para guru juga sangat 'kikir' memberi ruang kebebasan akademik berciri sekolah kepada peserta didik. Padahal terdapat sejumlah hasrat yang terpendam dalam diri anak untuk mengubah sebuah kenyataan yang dialami dengan cara berpikirnya.
Secara yuridis formal, kepekaan dan tanggung jawab sosial guru telah diatur dalam UU Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005. Dinyatakan dalam UU itu bahwa guru sebagai pendidik profesional ditugaskan untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Terperangkapnya rutinitas pembelajaran secara spesifik diamati dalam aspek mendidik, mengajar, melatih. Kecenderungan guru mengulang ritme kerja yang mestinya dalam poin-poin tertentu tidak perlu terjadi. Karena irama tersebut cenderung tidak inovatif dan gagal mendongrak mutu pembelajaran dalam jangka panjang.
Teori Belajar Kurang
Masalah kedua, para guru belum maksimal menerapkan berbagai teori belajar yang relevan dalam proses pembelajaran. Padahal mendalami teori belajar secara sistimatis dapat mengarahkan siswa belajar bagaimana belajar. Oleh Trianto (2007) dikatakan bahwa teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa.
Berdasarkan sebuah teori belajar para guru seyogianya perlu menyeleksi setiap kompetensi dasar pembelajaran dan mendesain skenario pembelajaran untuk peserta didik. Akan lebih tepat guna, apabila ada kesadaran pedagogik dari para gurunya mengajak siswa bersama merancang model pembelajaran versi sebuah teori belajar. Sebagai gambaran, teori belajar behaviorisme memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon. Teori konstruktivisme secara filosofis memandang belajar sebagai upaya membangun makna pengetahuan secara bertahap dengan cara pandang peserta didik yang kemudian hasilnya diperdebatkan antarsiswa sebagai bahan pengembangan pembelajaran (Don, 2004).
Pernyataan tersebut, pada tataran implementasi pembelajaran di kelas bertolak belakang. Lain halnya di kampus pasca sarjana pendidikan Undana Kupang, para mahasiswanya dilatih mendesain model pembelajaran sesuai teori-teori pembelajaran dalam mata kuliah pembelajaran inovatif yang kemudian dipresentasikan. Salah satunya model pembelajaran 5 W 1 H berbasis konstruktivisme yang selama ini dilakukan. Sebulan berjalan dalam diskusi curah pendapat antarmahasiswa implementasi di kelas, ternyata membawa perubahan sikap dan mental para siswa yang terukur dalam perubahan hasil belajar siswa. Dan yang lebih istimewa lagi sebagian skenario pembelajaran tersebut ditingkatkan menjadi topik kajian dalam proposal penelitian tesis.
Komitmen guru
Akar masalah ketiga ialah lemahnya komitmen guru terhadap paradigma pembelajaran. Akibatnya, berbagai perubahan pembelajaran yang perlu diadaptasi, dinovasi diabaikan. Padahal tidak sedikit para guru telah meluangkan waktu dan tenaga berjam-jam di ruangan workshop mendengar praktek pembelajaran. Kondisi ini turut berperan dalam perubahan cara belajar siswa di kelas. Krisis komitmen guru oleh Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek, dalam pertemuan diskusi di Pos Kupang, disentil dengan pernytaan "menjadi guru yang terpanggil atau ...."
Pernyataan tersebut merupakan suatu refleksi guru dalam memahami dirinya sebagai seorang guru dalam mengajar, membimbing. Dalam pandangan guru berpestasi nasional asal SDN Kuanino Kota Kupang tahun 2006, HJ Mintarningsih, dalam mengajar guru hanya sebagai penunjuk rambu-rambu dan mentaati rambu-rambu, bukan menciptakan rambu-rambu. Tujuannya agar pembelajaran selalu diingat seumur oleh siswa sekaligus mengembangkan konsistensi diri. Penekanannya perlu dibangun komitmen pembelajaran antara siswa dan guru.
Lainnya Agus Gias, guru berprestasi tingkat nasional asal SDK Ruteng V, Manggarai tahun 2007. Mengajar baginya, tidak cukup memindahkan ilmu ke siswa. Lebih dari itu bagaimana membuat siswa tahu atau memahami ilmu yang dipelajari, sehingga konteks pembelajaran siswa adalah bagaimana siswa menemukan sesuatu dari apa yang dilihat, didengar, dialami sendiri pada proses belajar yang dibangunnya sehingga ada pergeseran paradigma dari mengajar ke membelajarkan. Sebaliknya mengajar berarti mempengaruhi siswa untuk melakukan sesuatu dan harus lebih bisa dari orang lain.
Pernyataan dari para guru berpestasi di atas menempatkan guru sebagai seniman pembelajaran dan memiliki kepekaan terhadap apa yang dibutuhkan oleh siswa sesuai paradigma pembelajaran terkini. Dan komitmen terhadap tugas menjadi kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas.
Kontak Akademik
Idealnya agar proses pemahaman para guru terhadap pembelajaran memadai, maka kontak akademik berciri ilmiah perlu ditingkatkan. Kontak akademik ini belum optimal dilakukan. Inilah yang menjadi bagian permasalahan guru. Kontak akademik sebagai pertemuan antarguru atau dengan narasumber bersifat keilmiahan untuk membahas berbagai persoalan pendidikan lintas mata pelajaran atau antarmata pelajaran untuk dicari jalan keluar (Linus Lusi, Pos Kupang, 12/9/2008).
Berbagai wadah organisasi profesi guru perlu dioptimalkan untuk penguatan akademik guru. Di sinilah akan ada pertemuan ide untuk melakukan berbagai perbaikan pembelajaran. Dalam pemahaman tersebut, maka kehadiran para guru sebagai solusi persoalan pembelajaran.
Terhadap berbagai permasalahan di atas, maka yang perlu dibangun adalah memperkuat kemampuan profesional guru melalui pendidikan dan pelatihan, pengembangan berbagai metode dan media pembelajaran. Komitmen guru perlu dilihat dari kepuasan kerja yang mutlak diperhatikan oleh pemangku pendidikan. Disamping itu juga perlu diadakan supervisi pembelajaran terhadap para guru maupun siswa. Dan kala penting adanya keberpihakan pemerintah terhadap perbaikan mutu pendidikan dengan sebuah aksi nyata yang legal formal.
Sumber:Pos Kupang, 23 September 2009
ok...teman, bagaimana kalau kita lakukan saja penelitian evaluatif setiap satu TP.
ReplyDeletekita gandeng instansi terkait... salam