Suatu hari di rembang malam di tahun 2005. Tanggal dan bulan saya lupa. Pertemuan itu sungguh mengesankan, meski cuma beberapa saat. Seorang tetua. Namanya Bapak Andereas Ua Asan. Pria yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini masih terlihat segar bugar. Tubuhnya masih gempal. Berotot.
Wajahnya lebih muda dari usianya. Mungkin karena aktivitasnya sebagai petani di kampung, menjaga kesehatan jiwa dan raga serta menikmati kehidupan apa adanya.
Pertemuan itu mengesankan karena sudah lama kami tak jumpa. Meski kampung kami bertetangga, antarkami saling mengenal secara baik. Di masa kecil itu Pak Ande sering ke kampung karena ia seorang tukang kayu. Dari sanalah saya mengenalnya secara baik.
Awal pertemuan kami, Pak Ande bercerita banyak tentang kondisi di kampung. Ia mengatakan bahwa apa yang disebut perubahan itu sudah merambah ke kampungnya dan kampung saya.
"No, sekarang sudah banyak perubahan. Tiap hari oto (truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang) dari Lewoleba masuk (mengambil trayek) ke kampung. Orang sudah tak jalan kaki lagi ke Lewoleba," kisah Pak Ande Asan dengan antusias. Kisah "jalan kaki" ini sungguh mengingatkan saya dan siapa pun dari wilayah itu. Di masa itu mau tidak mau kami harus berjalan kaki sehari penuh ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Jaraknya cuma 35 kilometer, namun terkendala topografi wilayah berbukit-bukit dan medan yang curam. Belum lagi terkendala hujan dan banjir sepanjang jalan yang masih rintisan itu. Ada beberapa kali besar seperti Paugwali dan Waikomo yang harus kami lewati. Bila banjir datang, maka kami harus menunggu berjam-jam hingga reda. Tak ada pilihan memang. Kalaupun ada mobil, muatannya terbatas karena cuma satu atau dua unit yang mengambil trayek beberapa hari sekali.
Lelaki ini dalam perjalanan dari kampungnya Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, menuju salah satu kota propinsi di Pulau Sumatera. Pak Ande bukan jalan sendirian. Ia diundang khusus LSM LAP Timoris untuk memberikan testimoni-nya seputar cara melestarikan alam yang selama ini ia lakukan. Hampir sepuluh tahun, LSM ini menaruh minat tak kecil seputar kelestarian alam di Lembata.
Di Sumatera ia akan bercerita seputar upaya Kelompok Tarulaga menjaga hutan dari gempuran api. Pak Ande pun berjanji setelah kembali akan menceritakan pengalaman unik nan menarik itu. Tapi, kami tak jumpa lagi hingga kini.
Sudah sekitar 30 tahun ini Pak Ande bersama anggota kelompok Tarulaga menyelamatkan ratusan bahkan ribuan hektar hutan di sekitar kaki Gunung Labalekan itu.
Kelompok ini dibentuk atas inisiatif sendiri. Bukan pula atas pesan sponsor. Bukan pula upaya mencari popularitas murahan untuk meraih sesuatu. Bukan pula ingin mendapat kucuran dana dari donatur atau pemerintah. Rasanya jauh dari spekulasi ini!
Yang ada adalah rasa cinta terhadap kampung halamannya.Yang ada adalah bagaimana ia membangun Kampung Belabaja dengan caranya.
Sehari-hari Pak Ande me-manage anggota kelompoknya ini untuk terus memantau "serbuan" api. Bila ada titik api, maka mereka segera ke lokasi untuk memadamkan api (rot ap). Atau membuat ilaran api agar tak merambah lebih luas lagi.
Ada begitu banyak kesulitan yang dialami Kelompok Tarulaga ini. Lahan yang luas itu tentu membuat mereka kesulitan dari segi personel dan kendala-kendala teknis lapangan lainnya. Dengan kondisi ini Pak Ande sudah tentu berkoordinasi dengan aparat desa dan masyarakat lain. Tapi belum banyak warga yang terpanggil. Ini soal keikhlasan hati meluangkan waktu.
Pak Ande bercerita bahwa orang-orang di kampung itu sering membakar lahan karena beberapa alasan. Pertama, untuk mendapat pakan ternak. Kedua, faktor kesengajaan, dan ketiga, karena maniak api.
Menurut Pak Ande, hal terakhir ini menjadi kebiasaan hampir semua penduduk di tanah Lembata yang merasa gembira tatkala melihat api "menjilat-jilat" lahan. Ketika api mulai merambah hutan, warga menunjukkan ekspresinya dengan berloncat-loncat kegirangan.
Sebuah ekspresi kegembiraan yang aneh. Menjadi sebuah ironi zaman. Sesuatu yang tak berbudaya ketika isu pemanasan global (global warming) menjadi topik bahasan di semua level kehidupan. Mudah-mudahan perilaku nyeleneh ini sudah perlahan berkurang.
Pak Ande mengatakan bahwa perlahan masyarakat mulai menyadari ikhwal pelestarian alam.
Kini sudah sekitar tiga dekade ini Pak Ande dan Kelompok Tarulaga "memproklamirkan" diri sebagai relawan alam. Sudah tiga puluh tahun ini, ketika isu pemanasan global masih menjadi topik diskusi pada kalangan terbatas, Pak Ande bersama anggota kelompoknya menunjukkan keberpihakan pada kelestarian alam secara serius.
Karena itu, kita patut menyampaikan penghargaan yang tinggi atas perjuangan, keuletan, kegigihan, dedikasi serta keberpihakan kelompok ini terhadap kelestarian alam di kaki gunung tertinggi di Lembata itu. Pak Ande dan Kelompok Tarulaga patut menjadi ikon isu pemanasan global. (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 19 September 2009
Ket foto: Andreas Ua Asan, salah seorang petani yang memimpin petani lainnya memadamkan api saat musim kemarau (gbr 1). Rekan Cahyo Adji dari Yogyakarta foto bareng anak-anak kecil di rumah guru Andreas Bera Klobor di desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, NTT. Foto diambil pada 29 Maret 2010: Foto: dok. Ansel Deri & Cahyo Adji
Ket foto: Andreas Ua Asan, salah seorang petani yang memimpin petani lainnya memadamkan api saat musim kemarau (gbr 1). Rekan Cahyo Adji dari Yogyakarta foto bareng anak-anak kecil di rumah guru Andreas Bera Klobor di desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, NTT. Foto diambil pada 29 Maret 2010: Foto: dok. Ansel Deri & Cahyo Adji
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!