Headlines News :
Home » » Parasit Demokrasi

Parasit Demokrasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 08, 2009 | 11:48 AM

Boni Hargens
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia;
Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Indonesia Muda

Kemajuan demokrasi Indonesia diakui dunia internasional (Freedom House, 2009). Namun, demokrasi yang kuat ternyata tak didukung sistem kepartaian yang kuat.

Secara positif, guru besar Universitas Nasional Singapura, Merle Calvin Ricklefs, membaca keanehan ini sebagai sistem baru yang khas Indonesia (Kompas, 2/12/2009). Sistem barukah ini?

Tidak ada tolok ukur tunggal dalam menghitung kemajuan demokrasi. Para ahli ilmu politik pun berbeda pendapat soal ini. Kaum proseduralis akan mengukur berdasar ketersediaan pranata-pranata politik serta keterlaksanaan pemilu yang rutin dan transparan. Dalam hal penjaminan hak politik dan kebebasan sipil, mereka melihat apakah pers bebas atau tidak dan apakah tiap orang bebas atau tidak dalam menyatakan pendapat dan dalam mengikuti pemilu.

Sebaliknya, kaum substansialis melihat kualitas hidup personal dan komunal suatu masyarakat politik. Tolok ukur antara lain skala kemiskinan, pengangguran, disparitas sosial, buta huruf, kematian ibu dan bayi, atau indeks pembangunan manusia secara menyeluruh. Mereka tidak berhenti pada ada-tidaknya aturan, gedung, dan aktor simbol demokrasi. Yang dilihat, apakah tiap orang hidup merdeka atau tidak sebagai warga demokrasi.

Kuantitatif-liberal

Dengan segala hormat kepada lembaga dunia seperti Freedom House di Washington, ukuran yang mereka pakai dalam menghitung laju demokratisasi di berbagai negara kental nuansa kuantitatif-liberal. ”Kuantitatif-liberal” di sini bermaksud ganda.

Pertama, bobot demokrasi dikuantifikasi dalam angka (biasanya memakai rentang skor 1.0-7.0). Kedua, demokrasi diihat dari perspektif liberal semata. Keduanya baik, tetapi tidak sepenuhnya menerangkan realitas. Alasannya, bagaimana kita bisa menerangkan kemiskinan yang masih signifikan di Indonesia saat skor kemajuan demokrasi, menurut Freedom House, sudah di bawah 5.0 sejak 2004 hingga 2009? Atau bagaimana Amartya Zen (2007) dan pengikutnya dapat mempertahankan tesis development as freedom dalam konteks Indonesia yang kian bebas tetapi juga kian melarat?

Bagi kaum kualitatif, penilaian ini membingungkan. Apa yang disebut ”kemajuan” perlu diperdebatkan, benarkah Indonesia membangun sistem demokrasi baru atau sama sekali belum berdemokrasi secara kualitatif.

Berbicara demokrasi kualitatif adalah berbicara soal kita. Menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan politik menggambarkan demokrasi yang krisis kualitas. Sejak 2004, kita percaya, pemilihan langsung akan memperbaiki mutu demokrasi. Kenyataannya, demokrasi kian kehilangan roh karena penentu kemenangan adalah uang dan jaringan.

Adanya komisi antikorupsi setelah amandemen UUD 1945 tahun 2002 tak mengurangi korupsi, bahkan mendorong ”modernisasi” pola korupsi politik. Artinya, dulu orang menilap uang dengan tangan dari laci, kini orang merampok dengan kebijakan dan atas nama institusi. Modusnya halus dan tertib, tetapi hakikatnya sama, yakni korupsi.

Tiga parasit

Pada iklim seperti ini, demokrasi kian keropos. Dikeroposkan kaum parasit, yakni para perusak yang menumpang pada demokrasi untuk kelangsungan hidup sambil membunuh demokrasi secara pasti dan perlahan.

Ada tiga kelompok parasit, yakni parpol, politisi korup, dan penegak hukum yang curang.

Parpol kita absen dalam melakukan tugas pendidikan politik, sosialisasi politik, serta agregasi dan artikulasi kepentingan. Partai seolah berperan hanya sebagai petarung dalam pemilu, merekrut calon pejabat, dan merebut suara rakyat. Itulah sebabnya sistem kepartaian kita lemah.

Kerapuhan partai berdampak munculnya politisi yang korup di berbagai lembaga negara. Politisi tipe ini tak bisa diharapkan sebagai wakil rakyat karena orientasi politiknya bersifat parsial dan pragmatis. Mereka inilah benalu demokrasi kita. Hidup dari demokrasi, tetapi tidak bekerja, bahkan membunuh demokrasi.

Kemerosotan mutu demokrasi juga diakibatkan ulah penegak hukum yang curang. Mereka bekerja dalam sistem hukum untuk menghukum orang yang tidak menguntungkan dari aspek ekonomi, kekuasaan, dan memelihara mereka yang memberi keuntungan ekonomi dan politik.

Para mafia hukum, yang belakangan sering disebut, hanya ”perusak antara” yang hidup karena adanya penegak hukum yang curang di satu sisi dan politisi yang korup di lain sisi. Mereka bukan parasit langsung dari demokrasi, tetapi penumpang gelap dari kelompok parasit.

Karena itu, memberantas mafia hukum harus diawali dengan memberantas politisi korup dan penegak hukum curang. Dengan catatan dasar, parpol sebagai lembaga formal yang menentukan calon pemimpin harus berbenah diri. Setidaknya, ada ideologi jelas dan komit dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagai agen demokrasi.
Sumber: Kompas, 8 Desember 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger