Pater John, demikian ia disapa, bertutur pelan setelah menerima kabar bahwa ia dipilih Dewan Juri Anugerah Yap Thiam Hien 2009 sebagai penerima penghargaan penting di bidang hak asasi manusia di Indonesia itu.
Pater John, kini dekan pada Dekanat Keerom Keuskupan Jayapura, tak pernah membayangkan penghargaan. Ia bahkan tidak tahu tentang Anugerah Yap Thiam Hien meski ikut menghadiri syukuran Mama Yosepha Alomang di Timika, yang menerima anugerah itu pada tahun 1999.
Ia bekerja semata-mata karena rasa cinta yang mendalam kepada orang asli Papua yang didampinginya sejak 23 tahun lalu, dalam berbagai situasi yang amat berisiko.
Papua selama hampir empat dekade adalah lokasi pelanggaran hak asasi manusia yang ”paling sempurna”, baik dari negara, melalui aparat militer, maupun dari aparat pelindung korporasi ekstraksi yang menguras sumber daya alam Papua.
Kekerasan tersebut dialami berlapis oleh perempuan. Hasil dokumentasi bersama Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan kelompok masyarakat Papua menemukan pola kekerasan terhadap perempuan, yang mencakup kekerasan oleh aparat, kekerasan akibat perampasan sumber daya alam, dan kekerasan dalam rumah tangga yang diperparah oleh masuknya minuman keras serta pengelolaan dana otonomi khusus yang tidak tepat sasaran.
Ketakutan mempertanyakan hak-hak warga negara itu ada hubungannya dengan stigma politik karena dikaitkan dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka, yang membuat Papua menjadi daerah operasi militer (DOM) selama puluhan tahun.
Transenden
Keberanian Pater John menghadapi berbagai ancaman demi hak-hak asasi orang asli Papua mengingatkan kepada perjuangan para padri di banyak negara di Amerika Latin pada masa pemerintahan otoriter.
Keterlibatannya menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia kerap menempatkannya dalam posisi berbahaya, bahkan ancaman kematian. Seperti ditulis media lokal, seorang oknum militer pernah mengancam akan mengubur Pater John hidup-hidup 700 meter di bawah tanah.
Rentetan ancaman itu tak menyurutkan langkah Pater John. ”Prinsip saya, siapa pun manusia, kalau nyawanya terancam, kita wajib melindungi dan memberi bantuan, tanpa memandang ideologi, ras, dan keyakinan,” ujarnya.
Pater John menginjakkan kaki ke Lembah Baliem, Papua, ketika berusia 28 tahun dan memulai karyanya sebagai katekis. Saat turun di Lapangan Terbang Wamena, ia melihat orang-orang asli Pegunungan Tengah yang mengenakan koteka berjajar di pinggir lapangan terbang menawarkan bantuan sebagai pembawa barang. Sesosok lelaki tua mendekatinya dan menawarkan tenaga untuk membawakan barangnya ke pastoran, tanpa imbalan.
Pelajaran dari lelaki tua tersebut mengisi pergumulan spiritual John selama empat tahun pertama tugasnya sebagai katekis. Di Wamena itulah ia mulai kerap mendapatkan pengaduan warga tentang sikap dan tindakan oknum aparat. Teror dan intimidasi mulai menderanya.
”Gerak sedikit sudah dianggap mendukung Papua merdeka,” ujarnya.
Stigma
Sejak bertugas di Keerom—wilayah yang dicap aparat sebagai salah satu basis kekuatan Tentara Pembebasan Nasional OPM—tahun 2000, Pater John harus terlibat dalam mediasi konflik antara warga dan aparat. Ia bahkan sempat dicap sebagai pastor OPM saat bertugas di Waris Keerom, garis depan perbatasan Papua-Papua Niugini (PNG).
Stigma itu semakin pekat saat ia dengan gigih mendampingi Isak Psakor (13), korban penembakan yang diduga dilakukan oknum aparat di perbatasan. Anak itu baru kembali dari perbatasan, mengikuti keluarganya yang hendak menyelesaikan urusan tanah adat. Ia dikejar anjing tentara, naik pohon, dan ditembak dari jarak jauh. Satu parunya dirobek peluru. Kondisinya kritis.
Pater John membantu advokasi kasus itu bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papua, Aliansi Demokrasi untuk Papua, serta Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura setelah melaporkan peristiwa itu ke Lembaga Bantuan Hukum Papua. Identitas pelakunya kemudian terkuak, tetapi sampai sekarang tidak diadili.
Altar di lapangan
Pater John menjadi Ketua Delegasi Masyarakat Kabupaten Keerom—yang terdiri dari tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pemangku adat—untuk berangkat ke Jakarta, menemui Menteri Agama Maftuh Basyuni, menyampaikan penolakan hasil tes calon pegawai negeri sipil di Kantor Wilayah Departemen Agama Papua tahun 2008. Hasil tes dinilai tidak mengakomodasi sumber daya manusia Keerom yang siap dan mampu bekerja.
Berbagai isu pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan berbasis jender, dan kesetaraan hak keberwargaan menarik Pater John untuk terlibat secara penuh. Ia memaknai penahbisannya sebagai imam dalam gereja Katolik sebagai panggilan untuk berkarya bagi semua orang, tanpa sekat imajiner yang diciptakan oleh berbagai kepentingan.
Persoalan sosial harus menjadi yang terdepan dalam perjuangan itu. ”Karya pastoral tidak terbatas pada perayaan ekaristi,” ungkapnya, ”Lebih dari itu, harus turut terlibat dalam keprihatinan dasar manusia.”
Pater John menghidupi pilihan itu seperti menapaki perjalanan terjal dipenuhi onak. Pembelaan terhadap kemanusiaan dan hak asasi manusia tak jarang dituduh sebagai bagian jaringan atau gerakan untuk menjatuhkan Indonesia di mata internasional.
”Susah melihat persoalan kemanusiaan dalam situasi seperti di Papua. Semua kehendak baik senantiasa dicurigai, sementara rakyat terus-menerus hidup dalam ketakutan dan ancaman,” lanjutnya.
Ia mengatakan, apa yang dia lakukan hanyalah bagian dari upaya merawat kehidupan di tengah situasi sosial yang kacau-balau, korup, dan penuh ketidakpastian. Dengan demikian, kehadiran Pater John di Papua bisa dimaknai sebagai kehadiran sesama warga bangsa untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak keberwargaan.
Anak keenam dari delapan bersaudara keluarga petani di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, itu telah mengingatkan bahwa altar tak lagi berada di dalam gedung-gedung gereja.
Altar tersebut kini berada di tengah medan kehidupan manusia, berhadapan dengan para korban, untuk senantiasa menghadirkan harapan. (B Josie Susilo Hardianto dan Ichwan Susanto)
YOHANNES JONGA Pr
•Lahir: Manggarai, Flores, 4 November 1958
• Orangtua: Arnoldus Lete (almarhum) dan Yuliana Malon
• Pendidikan: Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Fajar Timur, Abepura, Papua
• Ditahbiskan menjadi Imam Projo tanggal 14 Oktober 2001 di APO oleh Uskup
Jayapura Dr Leo Laba Ladjar OFM, setelah menjadi katekis sejak tahun 1986 dan kerja pastoral sejak 1991. Ia mendirikan Forum Perempuan Asmat pada 1999
Ket foto: Pater Yohanes Jonga Pr
Sumber: Kompas, 10 Desember 2009. Foto: dok. Ansel Deri dan Kompas
Sumber: Kompas, 10 Desember 2009. Foto: dok. Ansel Deri dan Kompas
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!