Headlines News :
Home » » Penghujung Ramadan dan Keberpihakan

Penghujung Ramadan dan Keberpihakan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, September 03, 2010 | 11:23 AM

Oleh JM Muslimin
dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di antara tawaran Islam yang unik bagi pembinaan mental-spiritual manusia adalah integrasi antara ibadah dan muamalah. Ibadah sering dipahami sebagai aneka ritual dengan aksentuasi pada interaksi vertikal antara Sang Khalik dan makhluk, sementara muamalah adalah tindakan sehari-hari dengan fokus kegiatan pada interaksi di antara sesama makhluk.

Dalam puasa, manifestasi integrasi tersebut terlihat; puasa adalah olah fisik, mental, dan spiritual sekaligus yang menggabungkan antara dimensi ibadah dan muamalah. Di dalam puasa, fisik kita dituntut untuk mengubah pola dan frekuensi makan, mental kita dituntut untuk tetap dalam kesabaran, dan spiritual kita dituntut untuk melakukan puasa dengan tulus, jujur, dan hanya berharap rida dan karunia-Nya.

Perubahan pola konsumsi dan frekuensi makan tidaklah mudah. Banyak orang dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi sangat bergantung dengan selera, rasa, dan frekuensi serta jenis makanan tertentu. Memisahkan orang dari makanan yang ia suka, selera yang ia gandrungi, rasa yang ia gemari, memerlukan upaya dan latihan serta pembiasaan (habit formation).

Itu hanya menyangkut makanan. Bagaimana jika menyangkut sesuatu yang lebih besar daripada makanan? Banyak orang yang secara fisik harus membela, mempertahankan dengan cara apa pun dan sekuat mungkin, karena merasa ada yang mengganggu dan mengancam kepentingan mereka. Misal di dalam konflik pertanahan dalam kehidupan sehari-hari yang kita lihat, biasanya orang tidak segan untuk mengerahkan sekelompok orang kekar dan bila perlu, bersenjata tajam, untuk mengusir atau manduduki lahan tanah tertentu.

Sering juga kita saksikan, konflik-konflik fisik yang keras, tajam, dan membara dalam partai politik tertentu disebabkan kekhawatiran dan ketakutan akan terpisahnya orang tersebut dengan hobi, kesenangan, dan kepentingannya. Dalam konflik hukum, banyak orang sanggup untuk membayar pengacara semahal apa pun, untuk memenangi perkara dan menjaga kepentingan mereka. Tidak peduli apakah pembelaan itu benar sesuai dengan hukum atau pembelaan yang setali tiga uang dengan suap dan sogok. Bahkan, tidak jarang pembelaan juga disertai dengan kehadiran para demonstran dan pengunjung sidang pengadilan bayaran untuk mengeraskan gema tuntutan, keangkeran, dan kekokohan sosok yang dibela.

Pendek kata, keterpisahan fisik kita dengan semua yang kita cintai dan gemari bukanlah hal sederhana. Benda-benda fisik di sekitar kita sudah sering menjadi perangkap baru. Ia menggantung kita dan membuat kita tergantung. Manusia sering di hadapan benda tersebut bukan lagi independent being, tapi sudah berubah menjadi dependent being. Ternyata, menjadi tergantung dan ketergantungan adalah soal yang tidak mudah dipecahkan.

Memutus mata rantai ketergantungan (sekali lagi) membutuhkan latihan dan pembiasaan. Maka, jelas dari sisi fisik, puasa juga berat. Puasa mengharuskan orang menahan haus dan dahaga. Menghindar dari selera dan kesenangan, mengendalikan fisik dari kecenderungan yang membatalkan.

Transformasi pesan

Dari sisi spiritual, puasa adalah ritual yang mirip dengan riset partisipatoris. Pelaku penelitian diharuskan untuk mengalami, merasakan, terlibat, dan menghayati. Kemiskinan adalah pemandangan sehari-hari di sekitar kita. Tetapi, merasakan sebagai orang miskin belum tentu semua orang dapat mengalaminya. Kesempatan berpuasa adalah momen partisipatoris untuk merasakan dan menghayati secara riil, personal, langsung, dan nyata kesengsaraan orang lemah. Kelemahan fisik, perasaan serbakekurangan, ketidakmampuan untuk memenuhi semua hasrat dan kebutuhan, adalah kehidupan sehari-hari orang kecil, miskin, dan terpinggirkan.

Seorang periset partisipatoris akan gagal dan tidak dapat mendeskripsikan serta menganalisis dengan baik, jika ia masih tidak berjarak dengan ego personal dan subjektifnya. Periset partisipatoris tidak menghasilkan apa-apa jika ia tidak merasa terlibat, terpanggil, dan bergumul dengan isu dan tema yang ditekuninya secara objektif.

Periset partisipatoris yang baik tidak mungkin melakukan aktivitasnya tanpa tahu makna dan tujuan dari yang ia lakukan. Demikian juga, perumpamaan orang yang berpuasa; menahan diri, menghilangkan egoisme, menyebar empati, memupuk solidaritas, dan memperkuat tali dan simpul kemanusiaan. Seorang mukmin yang berpuasa merasakan, mengalami, terlibat, dan bergumul.

Begitu luhur makna puasa. Begitu indah arti Ramadan. Pertanyaan logisnya adalah seberapa jauh output puasa akan melahirkan outcome dengan indikator-indikator konkret dalam kehidupan nyata kita sebagai bangsa dan individu. Dalam bahasa manajemen, perlu kita renungkan ulang; input-proses-output-outcome-indikator.

Puasa sebagai input berarti latihan mengendalikan diri dari semua hal yang membatalkannya. Mulai dari yang bersifat fisik, seperti makan dan minum, sampai hal-hal yang bersifat nonfisik, seperti gibah, iri, dengki, dan syahwat biologis. Sebagai proses berarti upaya latihan yang terus-menerus yang harus dijalankan secara rutin setiap hari di bulan Ramadan.

Sebagai output berarti latihan dengan bentuk puasa tersebut diharapkan dapat mencapai dan meninggikan derajat takwa seseorang. Sebagai outcome berarti takwa akan menyebabkan perubahan persepsi, pemahaman, perilaku, dan respons dalam aktivitas sehari-hari. Indikator perubahan tersebut tentunya harus dilihat pascaselesainya bulan Ramadan; semakin proporsionalkah persepsi, pemahaman, perilaku, dan respons kita terhadap semua bentuk ketidakadilan? Semakin sensitifkah kita terhadap problem kemiskinan? Semakin nyatakah keberpihakan kita kepada kemaslahatan dan kepentingan umum jika dibandingkan dengan kepentingan pribadi? Begitu seterusnya.

Dus, inilah pertanyaan yang sulit dijawab. Apakah orang-orang yang berpuasa masih berhenti pada menjalankan puasa semata sebagai proses ritual atau lebih dari itu, puasa dimaknai sebagai kristalisasi proses katarsis untuk penyucian jiwa yang mendorong terjadinya perubahan perilaku?

Jika puasa ditutup dan diakhiri dengan zakat fitrah, sudah seharusnya puasa kita dapat menyucikan/menghilangkan kecenderungan mementingkan kepentingan individu kita daripada kepentingan umum. Tapi, sudahkah demikian? Jika hanya jatuh pada makna ritual rutin semata, tidak banyak yang dapat kita harapkan. Bisa dikatakan integrasi ibadah dan muamalah gagal. Tetapi, ketika puasa dan zakat fitrah dapat dimaknai dengan sepenuh jiwa dan penuh harap serta komitmen akan perubahan nyata dan kita realisasikan, masih ada yang boleh kita harap sebagai salah satu titik pendorong perbaikan kolektif dan individual kita.

Hati kecil kita yang paling tahu mana jawaban yang tepat untuk setiap diri kita. Yang pasti, penghujung Ramadan akan segera tiba. Momen pelatihan akan segera usai. Mudah-mudahan awal Ramadan kita rahmah, tengah-tengahnya ampunan (maghfirah), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka (neraka di dunia dan akhirat). Wallahu a'lamu bil-shawab.
Sumber: Media Indonesia, 3 September 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger