Jejak Serikat Sabda Allah atau dalam istilah kata bahasa Latin
Societas Verbi Divini (SVD) di kampung saya, Boto, Kecamatan Nagawutun,
Kabupaten Lembata, nyaris seabad lalu hingga kini masih terlihat.
RASA syukur kepada
Tuhan, pasti. Begitu juga kepada Pastor Arnoldus Jansen SVD. Bapa tuan Janssen,
yang mendirikan SVD di Steyl, Belanda tahun 1875, dan oleh kasih-Nya, imam-imam
SVD masuk Boto.
Kerja keras umat
dan imam serta biarawan-biarawati dan karya sosial di bidang kesehatan,
pendidikan, dan pengembangan iman umat sejak di Boto, pantas saya apresiasi.
Mengingat-ingat kembali sosok para imam SVD perdana dan jejak karya Misi mereka
sebelum tahun 1925 adalah pekerjaan yang sulit-sulit gampang.
Bukan sekadar jauh
dari sentuhan buku-buku atau dokumen tertulis Gereja baik di Dekanat Lembata
atau di Keuskupan Larantuka, ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Namun, kisah karya Misi para imam SVD maupun para Suster Misi Abdi Roh Kudus
atau dalam bahasa Latin: Servae Spiritus Sanctus (SSpS), lebih sering saya
peroleh melalui cerita lisan orangtua di kampung.
Pastor Paroki St
Joseph Boto Bernardus Bode SVD dan Pastor Johanes Knoor SVD adalah dua dari
beberapa imam SVD "perdana" di Paroki Boto sebelum dan sesudah tahun
1925. Entah apa, nama baptis dua imam ini jarang saya dengar tatkala masih
kecil.
Kalau bukan
"Bapa tuan" "Tuan", paling juga dilanjutkan dengan nama
kampung. Semisal Bapa tuan Bode atau Bapa tuan Knoor. Bapa tuan Bode adalah
Pastor Paroki Boto sebelum tahun 1925. Sedangkan Bapa tuan Knoor adalah imam
SVD yang menggantikan posisi Bapa tuan Bode sebagai Pastor Paroki Boto.
Bapa tuan Bode
adalah misionaris asal Belanda. Sedang Bapa tuan Knoor adalah imam dari Jerman.
Dan dua nama biarawati Katolik tahun 1925: Sr Amaria SSpS dan Sr Dorotildis
SSpS tak akan terhapus dari memori saya sebagai orang udik yang tumbuh dan
besar di Boto, di lereng Gunung Labalekan.
Sr Amaria dan
koleganya, Sr Dorotildis SSpS (sedikit lebih tua) adalah biarawati dari Jerman,
negeri bertabur filsuf seperti mantan Pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus
Emeritus Benediktus XVI (Kardinal Joseph Ratzinger).
Karya besar SVD di
Boto sejak dulu sudah saya tahu. Paling kurang adalah Poliklinik Santo Rafael
Stasi Boto. Poliklinik ini awalnya dinamakan Rumah Sakit Lembata Barat
(Rusalemba). Sosok di balik kehadiran rumah sakit ini tak lain adalah Bapa tuan
Knoor. Rumah sakit ini berdiri tahun 1925 hampir bersamaan dengan kehadiran
gedung Gereja St Joseph Boto.
Gedung Rusalemba
ini dikerjakan umat di bawah pimpinan dua tukang yang piawai: Bapa Jakobus Tela
Mudaj dan Bruno Tena Papang. Bapa Kobus Tela berasal dari Kluang. Sedang tukang
Bruno Tena berasal dari kampung Mingar, Desa Pasir Putih. Bruno, tukang yang
"dibon" dari Misi Lewoleba, akhirnya memilih menetap di Kluang
setelah menemui gadis pilihannya dari Kluang. Karena termakan usia, gedung
gereja lama ini sudah rubuh. Pihak SVD juga merintus kebun Gereja, baik di
kampung lama, Klua Lef Molu di bagian timur Dusun Kluang, Desa Belabaja dan di
Bunga Folor, arah barat dusun Boto, Desa Labalimut.
Selain jejak
perjalanan Misi SVD baik kebun Gereja maupun kolam ikan antara gedung
Poliklinik St Rafael dan halaman gedung lama Gereja Boto, satu warisan yang
masih tersimpan hingga saat ini yaitu lonceng Gereja. Lonceng ini berbentuk
tabung gas. Saya membayangkan, tabung ini dipakai para imam untuk membantu para
pekerja di pastoran di Lewoleba kala itu memasak.
Bisa juga tabung
ini berisi oksigen, pernah dipakai membantu pasien di Rumah Sakit Bukit
Lewoleba yang memerlukan tambahan pernapasan saat opname. Lonceng berbentuk
tabung gas ini menggantikan lonceng sebelumnya berbentuk toa, di jaman Tuan
Bode jadi pastor paroki. Lonceng berbentuk toa ini digantung di atas atap
emperan Gereja lama.
Hampir setiap kali
liburan, saya selalu tergoda menyambangi lonceng Gereja warisan tuan Knoor
tahun 1925 itu. Beberapa waktu lalu, saya meminta bantuan adik Wilhelmus Wasa
Wuwur, seorang aktivis OMK Stasi Boto. Saya meminta tolong ia mengabadikan
warisan berharga karya Misi bapa tuan Bode dan bapa tuan Knoor. Lonceng itu
diamankan di beranda rumah bapa guru Yohanes Pati de Ona.
Bapa gur Yan Pati
adalah salah seorang aktivis sosial dan setia mengurus serikat Gerejani di
kampung kami. Orangtua ini berasal dari Kluang. Lama mengabdikan waktu dan
tenaganya sebagai pendidik, guru di Lewuka. Setelah pensiun ia bersama isteri
dan anak-anak pulang kampung. Lama ia aktif sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat
Paroki St Joseph Boto.
Pun masih menerima
tugas tambahan sebagai Ketua Dewan Stasi Boto setelah "pensiun" dari
Ketua DPP Paroki Boto. Saya ingat baik tatkala pulang kampung untuk menambah
koleksi sakramen, urusan administrasi dan pengakuan hingga menikah di Gereja
Stasi Belang, bapa Yan adalah sosok yang saya samparin untuk kelancaran prosesi
pernikahan saya dan calon isteri.
Sejak gedung lama
Gereja stasi Boto kian uzur di makan, lonceng itu masih bertahan di samping
kiri pintu masuk Gereja Boto. Di sampaing lonceng itu ada juga besi pendek
seukuran kira-kira 10 sentimeter. Besi itu semacam pipa yang di satu ujung
tanpa lobang; seperti dilas tutup. Ujung lainnya berlobang. Di ujung yang
dilas, ada lobang kecil sebesar lobang seruling.
Saya ingat, kalau
kami anak-anak antar kayu bakar untuk Sr Amaria atau Dorotildis, suka
bermain-main di samping lonceng. Kadang kami saling dongko kemudian meniup
lobang lonceng sekuat tenaga. Sesaat mulut dilepaskan dari ujung lonceng
kemudian lobang kecil besi untuk pukul lonceng ditempel.
Apa tujuannya?
Sekadar mendengar suara angin yang keluar dari lonceng itu melewati lobang
potongan besi itu dalam durasi sekitar lima menit. Saya pikir ini adalah
hiburan paling asyik bagi kami anak-anak usia masih ingusan. Meski sangat
berbahaya jika lonceng itu jatuh dan menimpah kaki. Kalau itu terjadi saya
pastikan kaki bisa remuk.
Dari mana lonceng
gereja itu datang? Pertanyaan itu tak pernah terlintas dalam pikiran saya saat
itu. Pasti bapa tuan Bode atau bapa tuan Knoor bawa dari Eropa lewat kapal. Apa
begitu? Kalau saat itu ditanya, jawaban saya: tentu bisa saja. Muat pake Kapal
Ama, Thresi atau Siti Namun, armada laut (kalau tak salah) milik Keuskupan
Larantuka kala itu.
Tapi cerita
beberapa orangtua, lonceng itu dipikul dari Belame, stasi Bata, kurang lebih 5
kilometer dari Boto. Lonceng itu konon dibawa dari Lewoleba dengan oto Misi dan
diturunkan di Belame. Mengapa tak dibawa terus ke Boto karena tak ada akses
jalan oto.
Konon, beberapa
anak muda kekar Boto berdiskusi dengan tuan Knoor dan beberapa orang, termasuk
bapa guru Petrus Atalema Bataona. Bapa guru Atalema ini saat itu menjabat
Kepala SDK Boto. Maka ramai-ramailah mereka berjalan kaki dari
Boto-Lamalewar-Bata hingga Belame. Dari Belame, lonceng itu diikat dan dipikul
bergantian hingga Boto.
Perjalanan karya
Misi Gereja Katolik di Lembata via SVD dan SSpS di Boto adalah perjalanan penuh
syukur tak sekadar bagi umat stasi maupun paroki Boto. Namun, lebih dari itu
adalah kisah perjalanan pengabdian para imam, biarawan & biarawati, suster,
bruder, termasuk para guru agama Katolik yang hingga kini dialami dan dirasakan
umat.
Para imam dan
biarawan serta biarawati dari Benua Amerika dan Eropa, adalah kisah bagaimana
Tuhan mengutus mereka untuk menunaikan tugas-tugas perutusan untuk mengajar
atau mengenalkan banyak umat yang masih bertahan di gunung dan lembah hidup dan
tumbuh seturut kehendak Tuhan, Sang Sabda yang hidup. Selain tentu juga para
imam dan biarawan serta biarawati dalam negeri yang tak sekadar mempertaruhkan
nyawa akibat akses ke setiap stasi masih sangat sulit, terutama di wilayah
selatan Lembata kala itu.
Jejak Misi Gereja
di stasi maupun Paroki Boto tak sekadar Rusalemba, kebun gereja atau lonceng
yang kini masih terjaga dan terawat baik. Lebih dari itu benih panggilan imamat
pun melimpah; paling kurang dari stasi Boto. Sr Vinsensia SSpS (Almr), Sr
Erenbertha SSpS, dan Sr Maria Bernadeth SSpS (Almr) adalah tiga biarawati
generasi pertama.
Berikut beberapa
suster lain yang mendedikasikan dirinya untuk melayani Tuhan. Sr Vinsensia lama
menjadi misionaris di Roma, Italy, sebelum akhirnya menghabiskan sekitar 30
tahun lebih di Ghana, benua Afrika dan kembali ke Komunitas SSps Ruteng. Di
tanah Congkasae, ia mengakhiri sisa waktu ziarahnya di bumi dan kembali ke
rumah-Nya belum lama berselang.
Sekadar tambahan.
Ada tiga imam yang lama mengabdi di Paroki Boto dan sangat berkesan. Pater
Lambertus Paji Seran SVD asal Adonara dan Pastor Nicholas Strawn SVD, asal
Ilinoi, negara bagian USA. Selama 17 tahun bapa tuan Niko melayani kami. Sedang
bapa tuan Lamber, tatkala beberapa saudaranya libur di Boto, mereka selalu
memperkuat POL, tim bola kaki Boto.
Satu lagi yaitu
Romo Tarsisius Tupeng Pr. Dari bapa tuan Tarsi, saya suka melihat sampul
majalah GATRA & TIME yang bagus meski tak sempat baca. Bapa tuan Tarsi
kerap menjadi wasit bola atau memperkuat tim bola volley di stasi.
Tak hanya itu.
Banyak putra-putri kampung kecil ini juga mengikuti jejak misionaris perdana
kampung kami totaly mempersembahkan hidup dan karya mereka untuk menjadi
pelayan Sabda. Entah sebagai imam, bruder, suster maupun frater. Paling kurang
belasan orang. Jumlah ini belum lagi ditambah dengan stasi-stasi lain di
wilayah Paroki Boto.
Para pelayan Sabda
ini, terutama dari Boto, menyebar tak hanya dalam negeri namun juga di manca
negara. Di Eropa terutama Roma ada empat misionaris asal stasi Boto yang
berkarya Roma, kota Abadi. Ada juga yang tengah menunaikan Misi di Filipina,
negeri pimpinan Presiden Rodrigo Duterte.
Bagi saya, semua
ini buah dari jejak pengabdian Misi Gereja Katolik melalui SVD dan SSpS di
stasi bahkan Paroki St Joseph Boto yang dirahmati Tuhan yang adalah Jalan, Kebenaran,
dan Hidup. Boto, kata seorang pucuk pimpinan di Lembata, seperti Taman Eden,
Firdaus. Meski hingga kini menuju Boto seperti masih melewati jalan yang sulit.
Jalan sengsara.
Tapi lepas dari itu
satu yang tak pernah saya lupa: lonceng Gereja. Ya, loceng atau
"kening" dalam dialek kami orang Boto. Setiap pukul 06.00 pagi,
12.00, dan 18.00 WITA, lonceng biasa diketuk (dane dalam dialek kami) entah oleh
Sr Amaria atau Dotothildis. Ada pemandangan menarik. Setiap lonceng dibunyikan
selalu diiringin lolongan Boto, anjing kesayangan di Susteran SSpS Boto.
Begitu pula tatkala
lonceng berdentang seisi Boto (dusun Boto, Kluang & Belabaja) bagai kota
tak berpenghuni. Senyap. Suara orang titi jagung atau nyanyi seketika senyap.
"Mlekaten alanga", bunyi Malaikat, pertanda setiap orang sembahyang
Angelus, Malaikat Allah. Tatkala umat yang mayoritas petani yang pigi kebun
lewat di jalan tak jauh dari beranda Gereja lama, akan meletakkan barang-barang
di atas tanah. Dorang berdoa Angelus sampai suster selesai ketuk itu lonceng.
Saat saya sekolah
di SDK Boto setiap jam 12.00 aktivitas belajar mengajar berhenti sejenak. Kami
khusuk dalam doa Angelus dan satu lagu rohani. Paling sering lagu: Santo Joseph
yang Menjaga atau Malaikat Tolong Adikmu. Nah, lonceng, kening adalah kisah
hidup kami anak kampung kala itu. Kening warisan sejak bapa tuan Bode &
bapa tuan Knoor, dua (kata bapa saya) turis dari luar negeri, dekat Sran
(Larantuka) atau Sagu di Adonara.
Jakarta, 19 Juni
2020
Ansel Deri
Orang udik dari
Stasi Boto
Pewarta foto:
Wiliam Wasa Wuwur
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!