Headlines News :
Home » » Bonefasius Gandur: Bangkit dari Ketidakberdayaan

Bonefasius Gandur: Bangkit dari Ketidakberdayaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, September 03, 2010 | 11:24 AM

Ia meminta agar ibunya segera ke Jakarta. Penting sekali. Ibunya cemas, takut terjadi sesuatu.

Maria Fatimah Lues sempat kaget mendengar permintaan Bonefasius Gandur. Permintaan Bone –sapaan Bonefasius Gandur– melalui telepon interlokal dari Jakarta itu mengundang tanda tanya. Termasuk ibu kandungnya, Monika Ibut.

Apalagi, sejak merantau ke Jakarta awal Juli 2000, kakak Fatimah itu jarang berkomunikasi dengan ibunya. Bahkan saudara-saudarinya di Pagal, Paroki Kristus Raja Pagal, Keuskupan Ruteng, Manggarai, NTT.

Adik Bone pun segera melanjutkan informasi itu kepada ibu dan kakak-kakanya di Pagal. Sesegera mungkin Monika Ibut, langsung meluncur ke Ruteng, kota Kabupaten Manggarai. Sendirian. Tanpa suaminya, Mikael Jerahun. Maklum. Suami Monika sudah meninggal tahun 1989.

Monika menunggu jam anak kesayangannya itu menelpon lagi. Tak lama telepon berdering. Setelah diangkat, sang Ibu langsung berteriak histeris dari balik telepon. Karena suara dari seberang itu langsung dikenalinya.

Suara Bone, putra bungsunya. Ibu Monika Ibut langsung menangis. “Anak kole beo koe ni. Mama nuk keta,” ujar Monika dalam tangis yang tertahan. Bila diterjemahkan maknanya sebagai berikut. ‘Segera pulang, Anakku. Mama sudah sangat rindu kamu.’ “Saat itu Ibu saya sangat ketakutan. Khawatir terjadi sesuatu,” cerita Bone di Jakarta.

Lama mereka diam. Suara tangis ibunya terdengar jelas. Bone pun tak kuasa menahan air mata. Ia membayangkan bagaimana ibunya harus berjuang seorang diri di kebun. Sang ibu harus bekerja untuk kelangsungan hidup anggota keluarga yang lain. Ini kian terasa setelah ayahnya meninggal dunia.

“Saya sendiri tak pernah merasakan bagaimana suasana batin saat ayah meninggal. Saat itu saya masih kecil. Baru enam tahun lebih,” lanjut Bone.

Percakapan itu terjadi pada awal Oktober 2004. Saat itu Bone hanya mau meminta kehadiran ibu tercinta untuk mendampinginya saat wisuda di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta.

Dari balik telepon, ibu Monika langsung bertanya, “Kamu sakit apa? Sekarang di rumah sakit, ya?” Yang ada dalam benak ibu ini, anaknya Bone adalah seorang pembantu. Dan kini sedang bekerja di rumah seorang majikan yang kaya. “Saya sempat diam dan jatuh air mata setelah mendengar suara ibu,” ujar Bone lagi.

Setelah menyampaikan bahwa tinggal beberapa hari lagi diwisuda, tangis suara ibu itu makin tak tertahan. “Jadi, kamu kuliah anakku? Kamu mau wisuda? Bunda Maria, Engkau mendengar doaku.”

Ibu itu seolah tak percaya berita itu. Yang ada dalam pikirannya, Bone bekerja sebagai buruh kecil. Tak pernah terlintas bahwa saat ini anaknya sudah menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE).

Di Ibu kota negara lagi. Apalagi, setelah suaminya meninggal segala harapan menyekolahkan keenam anaknya hingga bangku kuliah jauh dari mimpi. “Memang saya pernah kirim uang dua kali. Pertama tahun 2000 saya kirim lima ratus ribu. Kemudian saya kirim lagi tiga ratus ribu rupiah. Jadi yang ada dalam pikiran Ibu, ya saya bekerja sebagai buruh kasar,” cerita Bone.
Keluarga Miskin

Orangtua Bone termasuk keluarga miskin. Keluarganya hanya menyandarkan hidup dari hasil kebun yang pas-pasan. Kondisi ini membuat ia dan lima saudaranya tak berdaya. Tak bermimpi untuk sekolah.

“Saat itu tak ada bayangan untuk sekolah. Apalagi setelah baru masuk sekolah dasar di kampung, ayah dipanggil Tuhan. Peristiwa itu terjadi persis tahun 1989,” kenang Bone. Sepeninggal ayah, pria yang lahir di Pagal 17 April 1980 ini jadi bingung.

Untungnya, Hilarius Man dan Maria Man mau bersedia menanggung biaya sekolah. Padahal, guru SD ini masih menanggung biaya tiga anaknya. Ia mengaku sampai menangis ketika tahu dititipkan di rumah kepala sekolah ini untuk kelangsungan masa depannya. “Di tangan Pak Hila, saya sekolah sampai kelas 1 SMP,” imbuh Bone.

Pengabdian keluarga Hilarius dan isterinya ini membuat keluarga lain terpanggil untuk ikut membantu. Saat berada di bangku kelas 1 SMP Negeri Pagal, ada keluarga perawat yang meminta ijin kepada Hilarius Man agar mereka juga ikut membantu biaya sekolah Bone. “Pak Salmon Albert Pellondou dan Ibu Adriana Liting Haribaik minta ijin pada Pak Hila. Mereka mau biayai sekolah saya,” katanya.

Keterpanggilan keluarga perawat ini beralasan. Menurut Bone, mereka ibah karena setelah ditinggal pergi ayah, nyaris sekolahnya terancam. Dan setelah datang kemurahan hati keluarga Pak Hilarius Man, ia bisa tertolong.

Permintaan itu juga beralasan. Pak Hila juga harus membiayai sekolah anak-anaknya. “Atas restu Pak Hila, saya dibiayai Pak Salmon dan Ibu,” jelas Bone. Setelah tamat SMP, Bone tetap dibiayai keluarga Salmon dan Ny Salmon Haribaik.

Saking sayang keluarga ini, Bone diajak ke Ruteng. Jadilah Bone harus jauh dari Ibu tercinta dan kakak-kakak serta adiknya. Bahkan harus meninggalkan guru Hila dan isterinya yang sudah dianggap sebagai ayah dan ibunya. “Setelah tamat SMP, saya dimasukkan ke SMA Negeri 2 Ruteng pada tahun 1998. Saya lulus tahun 2000,” ujarnya.

Terus Bergelut

Seiring usia yang bertambah, Bone semakin menyadari diri untuk terus bergelut menghadapi hidup. Di tengah kekalutan pikiran untuk bekerja untuk ikut menopang kehidupan keluarganya, kemurahan Tuhan hadir melalui Suster Maria, SSpS.

Saat itu suster asal Yogyakarta ini sedang bekerja di Waipalo. Ia menawarkan Bonne untuk bekerja di sebuah rumah kenalannya di Jakarta. Kenalan suster ini bernama Bapak Dio. Pak Dio memiliki sebuah perusahaan yang bergerak di jasa impor daging.

Letaknya di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tak mau menyia-nyiakan waktu, Bone langsung bertolak bersama seorang teman. “Pada 2 Juli 2000 saya dan teman saya ini bersama Sr Maria langsung menuju Labuanbajo untuk selanjutnya kami menuju Jakarta. Kebetulan juga Suster Maria ada acara di Jakarta,” ceritanya.

Bone mengaku, biarawati yang mengabdikan diri di Manggarai merupakan pembawa berkat bagi dia dan keluarganya di Pagal. Pasalnya, setelah meninggalkan kampung halaman, yang ada dalam benaknya adalah bekerja membantu kelangsungan keluarganya.

“Saya selalu berdoa memuji kebesaran Tuhan yang telah Ia tunjukkan kepada keluarga saya melalui Sr Maria,” kilah Bone. Betapa tidak. Setelah sebulan bekerja, gaji pertama yang diterima langsung dikirim untuk ibunya di kampung. Ia hanya berpikir bahwa gaji pertama yang ia terima harus dinikmati ibunya. Ia memuji ketabahan ibunya dalam menghadapi masa-masa sulit setelah ditinggal suami tercinta.

Di perantauan, Bone juga selalu berdoa untuk ibu dan anggota keluarga. Baginya, doa adalah penawar rindu di kala susah dan senang. Bahkan dalam hatinya, ia memohon kepada Tuhan melalui Bunda Maria agar diberi kesempatan untuk kuliah sembari menjalankan tugas-tugas di perusahan tempat kerjanya.

Komitmen seperti ini selalu dilaksanakan kebanyakan pemuda Manggarai yang merantau di Jakarta. Atau kota-kota lain. Sebagaimana rekan sedaerahnya, Yohanes Brachman Hairudy Natong alias Rudy, karyawan Kafe Fluid Hotel Hilton Jakarta.
Rudy adalah mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta yang memilih bekerja sebagai pelayan bar di Hotel Hilton. Sayang, temannya itu keburu menghadap Tuhan setelah peluru menembus kepalanya pada 1 Januari 2005 lalu.

“Saya sempat kaget. Meski tak pernah ketemu, saya tahu almahrum itu pemuda yang rajin. Ya, maklum anak perantau,” kata Bone.

Doa Bone untuk kerja sambil kuliah pun terjawab. Pada tahun 2000, ia langsung bisa kuliah setelah menghitung gaji yang diterima dengan biaya kuliah. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Bone langsung masuk Diploma Tiga di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Swadaya Jakarta.

“Saya sangat bersyukur karena kampus itu dekat tempat kerja. Waktu kuliahnya pun sore hari sehingga tidak mengganggu kerjaan. Akhirnya saya dapat menyelesaikan studi pada tahun 2003,” lanjutnya.

Setelah selesai D-3, masih ada semangat melanjutkan ke jenjang strata satu. Ia pun mendaftarkan diri di STIE Gotong Royong Pondok Pinang Jakarta. Tak ada aral melintang.

Di atas semua itu, ia makin merasa betapa kebesaran Tuhan selalu diterimanya. “Saya selalu berdoa novena. Salib suci pun tak pernah saya lepaskan dari leher,” katanya bangga.

Meski demikian, Tuhan masih memberi cobaan. Selama lima tahun bekerja sebagai karyawan PT Indoguna Utama, ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pesangon sebanyak Rp. 750.000.

Ia menolak karena pesangon itu tak sesuai ketentuan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker). “Masalah ini sedang ditangani penasehat hukum saya dengan pihak perusahaan,” katanya.

Toh, Bone merasa bahagia. Ia telah melewati satu pergumulan hidup untuk meraih masa depannya setelah ditinggal ayah tercinta. Ia merasa Tuhan telah hadir menyertai dia untuk bergelut menggapai kebahagiaan keluarganya.

“Ketika saya telepon adik saya dan mengatakan, ‘Saya harap agar hari Sabtu ini Ibu tiba di Jakarta’, rasa haru tak tertahankan. Apalagi ingat kata-kata Ibunya, ‘Anak kole beo koe di. Mama nuk keta.’ Saya menangis karena Ibu baru tahu kalau sejak itu saya sudah meraih gelar sarjana,” tutur Bone. (Hermien Botoor/Ansel Deri)
Sumber: Majalah HATI BARU, edisi September 2010
Ket foto: Bonefasius Gandur

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger